Wawrinka yang Tak Disukai Djokovic-Murray
A
A
A
KETIKA setahun lalu ditaklukkan Guillermo Garcia Lopez dalam babak awal di stadion yang sama, tidak banyak yang terhenyak.
Bahkan, koran Prancis menulisnya sebagai kekalahan yang sangat wajar karena di sana tempat Stanilas Wawrinka sesungguhnya. Ejekan yang menyakitkan, tapi juga sekaligus menunjukkan fakta yang sesungguhnya. Sejak Roger Federer tahun 2004 memenangkan dua kali grand slam, hanya Novak Djokovic, Andy Murray, dan Rafael Nadal yang bisa menyamainya. Wawrinka dimasukkan kategori juara kebetulan bersama Martin del Potro, Marat Safin, dan Marin Cilic.
“Permainan saya memang tidak sekonstan the big four (Federer, Nadal, Djokovic, Murray). Saya jauh di bawah mereka,“ katanya, merendah. Sebelum menjungkalkan Joe Wilfied Tsonga (6-3, 6-7, 7-6, 6-4) di semifinal, pria yang masa kecilnya dihabiskan di sebuah daerah pertanian di Lausanne, Swiss Barat, ini juga sama sekali tak dianggap. Tidak terkecuali oleh panitia Roland Garros.
Pada babak kedua, ketika harus melawan petenis Serbia Dusan Lajovic, Wawrinka harus menyelesaikan laganya di Court 2. Memang tak terdengar lalu lalang suara kendaraan. Namun, court ini bukanlah tempat yang layak untuk pemain yang pernah memenangkan trofi grand slam. Betapa tidak, tribune untuk wartawan hanya muat 10 orang, itu pun harus berdesakan dengan keluarga pemain.
Magnus Norman, pelatih Wawrinka, memilih duduk di bangku khusus untuk keluarga pemain ketimbang berdesakan di boks pelatih musuhnya. Di bagian atas court 2, ada semacam tribune kosong yang menjadikan penonton bebas lalu lalang. Wawrinka bahkan sempat protes kepada panitia karena beberapa pintu ke stadion dibiarkan terbuka. Perlakuan tak enak dari panitia dirasakan sejak awal. Kisruh rumah tangganya dengan Ilham, wanita yang memberikan satu anak, tertulis dalam buku panduan resmi Roland Garros.
“Seharusnya hanya tentang tenis, tapi mengapa rumah tangga saya masuk juga dalam buku resmi Roland Garros?“ katanya, kesal. Wawrinka dan Ilham kini memang resmi memasuki proses perceraian setelah sempat rujuk beberapa bulan. “Tapi, di sinilah turnamen kesayangan saya,“ katanya, kepada wartawan yang memenuhi main press room di Phillipe Chartier, satu jam setelah mengalahkan Tsonga. Tidak peduli dukungan penuh kepada petenis tuan rumah, tidak peduli siulan ejekan akibat keributan di ruang ganti saat Turnamen Piala Davis di Lille, Wawrinka menyingkirkan harapan tuan rumah.
Wawrinka memiliki kenangan manis di Roland Garros, khususnya tahun 2003, ketika menjadi juara untuk kategori junior. Di final, Wawrinka akan menantang Djokovic yang mengalahkan Murra di semifinal, kemarin. Djokovic menang 6-3, 6-3,5-7, 5-7, 6-1. Meski secara statistik rekornya sangat negatif melawan the big four, di kalangan wartawan Swiss, Wawrinka dianggap kuda hitam yang bisa lepas dari julukan juara kebetulan.
Di Australia Terbuka setahun lalu, Wawrinka memaksa Djokovic bermain lima set, sebelum akhirnya Djokovic juara. “Permainan saya tidak disukai Djokovic dan Murray,“ katanya.
Laporan Koresponden Koran Sindo
Krisna Diantha
Prancis
Bahkan, koran Prancis menulisnya sebagai kekalahan yang sangat wajar karena di sana tempat Stanilas Wawrinka sesungguhnya. Ejekan yang menyakitkan, tapi juga sekaligus menunjukkan fakta yang sesungguhnya. Sejak Roger Federer tahun 2004 memenangkan dua kali grand slam, hanya Novak Djokovic, Andy Murray, dan Rafael Nadal yang bisa menyamainya. Wawrinka dimasukkan kategori juara kebetulan bersama Martin del Potro, Marat Safin, dan Marin Cilic.
“Permainan saya memang tidak sekonstan the big four (Federer, Nadal, Djokovic, Murray). Saya jauh di bawah mereka,“ katanya, merendah. Sebelum menjungkalkan Joe Wilfied Tsonga (6-3, 6-7, 7-6, 6-4) di semifinal, pria yang masa kecilnya dihabiskan di sebuah daerah pertanian di Lausanne, Swiss Barat, ini juga sama sekali tak dianggap. Tidak terkecuali oleh panitia Roland Garros.
Pada babak kedua, ketika harus melawan petenis Serbia Dusan Lajovic, Wawrinka harus menyelesaikan laganya di Court 2. Memang tak terdengar lalu lalang suara kendaraan. Namun, court ini bukanlah tempat yang layak untuk pemain yang pernah memenangkan trofi grand slam. Betapa tidak, tribune untuk wartawan hanya muat 10 orang, itu pun harus berdesakan dengan keluarga pemain.
Magnus Norman, pelatih Wawrinka, memilih duduk di bangku khusus untuk keluarga pemain ketimbang berdesakan di boks pelatih musuhnya. Di bagian atas court 2, ada semacam tribune kosong yang menjadikan penonton bebas lalu lalang. Wawrinka bahkan sempat protes kepada panitia karena beberapa pintu ke stadion dibiarkan terbuka. Perlakuan tak enak dari panitia dirasakan sejak awal. Kisruh rumah tangganya dengan Ilham, wanita yang memberikan satu anak, tertulis dalam buku panduan resmi Roland Garros.
“Seharusnya hanya tentang tenis, tapi mengapa rumah tangga saya masuk juga dalam buku resmi Roland Garros?“ katanya, kesal. Wawrinka dan Ilham kini memang resmi memasuki proses perceraian setelah sempat rujuk beberapa bulan. “Tapi, di sinilah turnamen kesayangan saya,“ katanya, kepada wartawan yang memenuhi main press room di Phillipe Chartier, satu jam setelah mengalahkan Tsonga. Tidak peduli dukungan penuh kepada petenis tuan rumah, tidak peduli siulan ejekan akibat keributan di ruang ganti saat Turnamen Piala Davis di Lille, Wawrinka menyingkirkan harapan tuan rumah.
Wawrinka memiliki kenangan manis di Roland Garros, khususnya tahun 2003, ketika menjadi juara untuk kategori junior. Di final, Wawrinka akan menantang Djokovic yang mengalahkan Murra di semifinal, kemarin. Djokovic menang 6-3, 6-3,5-7, 5-7, 6-1. Meski secara statistik rekornya sangat negatif melawan the big four, di kalangan wartawan Swiss, Wawrinka dianggap kuda hitam yang bisa lepas dari julukan juara kebetulan.
Di Australia Terbuka setahun lalu, Wawrinka memaksa Djokovic bermain lima set, sebelum akhirnya Djokovic juara. “Permainan saya tidak disukai Djokovic dan Murray,“ katanya.
Laporan Koresponden Koran Sindo
Krisna Diantha
Prancis
(ars)