Nasehat Legenda Bulu Tangkis Indonesia: Jangan Terlena Dengan Predikat Juara
A
A
A
PURWOKERTO - Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa selain Rudy Hartono, Liem Swie King, Christian Hadinata, atau Ivana Lie, Indonesia ternyata juga memiliki legenda bulu tangkis lainnya yang bernama Bobby Ertanto. Pria yang pernah berduet dengan Liem Swie King dan meraih predikat juara piala dunia pada 1986 itu menilai, saat ini begitu banyak atlet muda bulu tangkis yang langsung kendur usai mendapatkan juara.
"Pemain sekarang seperti itu, (begitu dapat) juara langsung kendur. Makanya enggak stabil, prestasinya (naik) turun," ujar Bobby kepada media ini seusai memberikan penilaian sebagai anggota tim pencari bakat dalam Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulu Tangkis 2016 di GOR Satria Purwokerto belum lama ini.
Menurutnya sungguh ironis bila melihat hal demikian, mengingat para atlet ini telah dimanjakan dengan fasilitas yang lengkap, maju, dan modern. Tidak seperti pada zamannya yang minim fasilitas dan pelatih. Maka dari itu, pemain harus mampu memacu semangatnya secara terus menerus supaya tidak kendur. Baik ketika meraih kemenangan maupun kekalahan.
"Kalah pasti ndak enak, biasa kalau kita lagi di atas dan dielu-elukkan ketika kalah jadi kambing hitam. Itu sudah risiko olah ragawan, (makanya) dipacu terus jangan sampai kendur. Apalagi zaman sekarang boleh dibilang serba komplet, tinggal atletnya mau dibawa kemana fasilitas ini," jelas pria kelahiran Surabaya 2 Agustus 1960 ini.
Dia mencontohkan ketika dirinya berjuang di zaman dahulu. Di tengah minimnya fasilitas, Bobby yang mulai menekuni bulu tangkis di usia delapan tahun ini mesti sering-sering mencuri latihan dengan biaya sendiri. Entah itu ketika latihan memukul hingga berkeliling mencari lapangan kosong yang bisa dipakai untuk latihan.
Belum lagi dengan fasilitas shuttlecock yang saat itu terbatas. Tak jarang dirinya pun sering membasahi bulu-bulu shuttlecock supaya bisa dipakai kembali.
Perjuangan yang gigih pun dilakukannya dengan melakoni berbagai nomor tunggal maupun ganda dalam bulu tangkis. Yang kian mengasah kemampuannya dari waktu ke waktu. Meski demikian diakuinya, bahwa secara pribadi Bobby yang pernah bergabung dengan klub PB Garuda Surabaya dan dilatih oleh Ong Tiow Djiang semasa kecil itu, merasa lebih menyukai permainan tunggal dibandingkan ganda.
"Pribadi cocok di single karena kita jadi tahu kemampuan sendiri. Kalau double ketika ada yang tidak fit misalnya lalu ada rasa nggak suka, jadi suka menjelekkan dan menyalahkan. Tapi yang melihat saya (menilai cocok) di double," kata dia.
Dan dengan kemampuan yang dimiliki, dirinya pun akhirnya dipanggil ke Jakarta dan masuk Sekolah Atlet Ragunan pada 1977. Hingga kemudian pada 1979 mengikuti kejuaraan bulu tangkis untuk pelajar di Singapura bersama Liem Swie King dan Icuk Sugiarto.
Saat itu Bobby masih bermain tunggal dan sempat mendapatkan juara. Sampai sesudahnya dia dipasangkan dengan beberapa legenda bulu tangkis lainnya dan sempat meraih juara.
Seperti Taiwan Terbuka 1980 dan 1982 dengan pasangan Hadibowo, Malaysia Terbuka 1983 dengan pasangan Christian Hadinata, Thailand Terbuka 1986 dan Hong Kong Terbuka 1986 dengan pasangan Rudi Hertanto, Malaysia Terbuka 1986 dengan Verawati Fajrin, dan Runner Up All England 1987 dengan pasangan Rudi Hertanto.
"Pemain sekarang seperti itu, (begitu dapat) juara langsung kendur. Makanya enggak stabil, prestasinya (naik) turun," ujar Bobby kepada media ini seusai memberikan penilaian sebagai anggota tim pencari bakat dalam Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulu Tangkis 2016 di GOR Satria Purwokerto belum lama ini.
Menurutnya sungguh ironis bila melihat hal demikian, mengingat para atlet ini telah dimanjakan dengan fasilitas yang lengkap, maju, dan modern. Tidak seperti pada zamannya yang minim fasilitas dan pelatih. Maka dari itu, pemain harus mampu memacu semangatnya secara terus menerus supaya tidak kendur. Baik ketika meraih kemenangan maupun kekalahan.
"Kalah pasti ndak enak, biasa kalau kita lagi di atas dan dielu-elukkan ketika kalah jadi kambing hitam. Itu sudah risiko olah ragawan, (makanya) dipacu terus jangan sampai kendur. Apalagi zaman sekarang boleh dibilang serba komplet, tinggal atletnya mau dibawa kemana fasilitas ini," jelas pria kelahiran Surabaya 2 Agustus 1960 ini.
Dia mencontohkan ketika dirinya berjuang di zaman dahulu. Di tengah minimnya fasilitas, Bobby yang mulai menekuni bulu tangkis di usia delapan tahun ini mesti sering-sering mencuri latihan dengan biaya sendiri. Entah itu ketika latihan memukul hingga berkeliling mencari lapangan kosong yang bisa dipakai untuk latihan.
Belum lagi dengan fasilitas shuttlecock yang saat itu terbatas. Tak jarang dirinya pun sering membasahi bulu-bulu shuttlecock supaya bisa dipakai kembali.
Perjuangan yang gigih pun dilakukannya dengan melakoni berbagai nomor tunggal maupun ganda dalam bulu tangkis. Yang kian mengasah kemampuannya dari waktu ke waktu. Meski demikian diakuinya, bahwa secara pribadi Bobby yang pernah bergabung dengan klub PB Garuda Surabaya dan dilatih oleh Ong Tiow Djiang semasa kecil itu, merasa lebih menyukai permainan tunggal dibandingkan ganda.
"Pribadi cocok di single karena kita jadi tahu kemampuan sendiri. Kalau double ketika ada yang tidak fit misalnya lalu ada rasa nggak suka, jadi suka menjelekkan dan menyalahkan. Tapi yang melihat saya (menilai cocok) di double," kata dia.
Dan dengan kemampuan yang dimiliki, dirinya pun akhirnya dipanggil ke Jakarta dan masuk Sekolah Atlet Ragunan pada 1977. Hingga kemudian pada 1979 mengikuti kejuaraan bulu tangkis untuk pelajar di Singapura bersama Liem Swie King dan Icuk Sugiarto.
Saat itu Bobby masih bermain tunggal dan sempat mendapatkan juara. Sampai sesudahnya dia dipasangkan dengan beberapa legenda bulu tangkis lainnya dan sempat meraih juara.
Seperti Taiwan Terbuka 1980 dan 1982 dengan pasangan Hadibowo, Malaysia Terbuka 1983 dengan pasangan Christian Hadinata, Thailand Terbuka 1986 dan Hong Kong Terbuka 1986 dengan pasangan Rudi Hertanto, Malaysia Terbuka 1986 dengan Verawati Fajrin, dan Runner Up All England 1987 dengan pasangan Rudi Hertanto.
(bbk)