Siapa Pawang Ducati yang Mesti Dikalahkan Lorenzo, Rossi, Stoner atau Capirex?
A
A
A
VALENCIA - Dengan merebut dua kemenangan via Andrea Iannone di GP Austria dan lewat Andrea Dovizioso di GP Malaysia, dua-duanya pada kalender balap MotoGP 2016. Ducati sedang menjalani musim terbaiknya sejak terakhir kali Casey Stoner mempersembahkan tiga gelar seri di kelas bergengsi musim 2010. Dan Gigi Dall’Igna sebagai General Manager tim Ducati Corse MotoGP pantas senang bukan kepalang. Karena sukses terakhir mereka pada 2010 berbeda dengan musim ini. Apanya yang berbeda?
Musim 2010 merupakan musim keempat di mana kelas bergengsi pada Kejuaraan Dunia Balap GP Motor melombakan motor berkapasitas mesin 800cc. Boleh dibilang, pada ketegori ini Ducati melakoni musim keemasannya di kelas utama.
Karena Ducati meraih gelar juara dunia pertamanya di kelas bergengsi 2007 tepat pada musim perdana aturan motor berkapasitas mesin 800cc dilombakan. Casey Stoner mendominasi edisi awal dengan 10 gelar seri dan 4 podium. Rekan setimnya waktu itu yang boleh dibilang sebagai ‘pawangnya Desmosedici’ Loris Capirossi cuma kebagian 1 gelar seri dan 3 podium.
Padahal waktu itu merupakan musim debut Stoner bersama Ducati. Capirex (julukan Capirossi) sebelum kedatangan Stoner, sudah menyumbang 6 kemenangan plus 13 podium sejak tim ini ikut lomba kelas bergengsi mulai 2003.
Mengapa Capirex dijuluki ‘pawang Desmosedici’? Itulah hebat sekaligus keunikan rider asal Italia tersebut. Karena 6 kemenangan dan 13 finis podium tadi dia persembahkan dengan menunggangi motor Ducati 1000cc. Tapi dia malah cuma kebagian 1 gelar seri saat memacu motor Ducati 800cc.
Data ini pula bisa membantah atau membandingkan anggapan orang yang menyebut kalau Stoner merupakan pembalap yang paling jago menaklukkan kegarangan tenaga besar Desmosedici. Karena rider asal Australia itu belum pernah sama sekali menunggangi motor Ducati 1000cc dalam lomba resmi MotoGP yang tentunya punya tenaga jauh lebih besar ketimbang Ducati 800cc. Juga karena dia pindah ke Repsol Honda pada 2011, yang mana musim terakhir kelas 800cc dilombakan dan mengantarnya merebut gelar juara dunia kelas premier untuk kedua kalinya.
Nah statistik di atas bisa saja jadi bantahan kalau Stoner merupakan salah satu pembalap legendaris kelas bergengsi dengan dua gelar juara dunia. Karena gelar itu dia raih saat MotoGP melombakan motor berkapasitas mesin 800cc.
Coba bandingkan prestasi Stoner ketika menunggangi motor MotoGP 4 Tak dan 4 silinder kelas 1000cc yang telah dimulai sejak 2002. Pada debutnya di kelas bergengsi musim 2006 bersama tim privateer LCR Honda, dia cuma kebagian 1 podium dan 1 pole position dan finis di ranking 8 akhir kalender.
Dan pada era 1000cc kembali dilombakan sejak 2012, pria bertinggi badan 171 cm itu hanya kebagian 5 kemenangan, 10 podium, 5 pole dan 2 fastest lap untuk finis ranking 3 akhir musim. Padahal saat itu dia memacu motor tim pabrikan utama Honda, yang musim sebelumnya dia antar jadi juara dunia era terakhir motor 800cc dengan rapor 10 gelar seri, 16 podium, 12 pole dan 7 fastest lap.
Kini kesimpulannya, benarkah Stoner dapat momen pas dan keberuntungan saat MotoGP melombakan kelas 800cc? Tentu saja dia dapat keuntungan dari satu hal, berat motor 800cc (minimum 148 kg untuk 4 silinder). Sementara berat motor 1000cc (minum 160 kg untuk 4 silinder) yang mulai 2015 turun ke angka 158 kg.
Seperti diketahui, lomba kelas bergengsi melahap lebih banyak dua lap ketimbang Moto2 dan empat putaran lebih banyak daripada Moto3. Kalau bicara jarak, maka lomba kelas bergengsi misalnya di Sirkuit Phillip Island, Australia akan melahap total jarak 120,1 km. Sedang kelas Moto2 (111,2 km = lebih sedikit 10 km) dan Moto3 (102,3 km = lebih sedikit 20 km). Dengan motor yang lebih berat dan jarak yang lebih panjang, otomatis para pembalap kelas bergengsi mesti memiliki kekuatan fisik esktra ketimbang rekan seprofesi mereka pada kelas di bawahnya.
Apakah ini membuktikan kalau bicara faktor fisik ini, maka Capirex lebih hebat dari Stoner. Karena postur Capirex cuma 163 cm. Bandingkan dengan Valentino Rossi yang tak mampu mengangkat performa Desmosedici baik di era 800cc (pada 2011: hasil 1 kali finis podium) dan 1000cc (2012: 2 kali finis podium). Atau Nicky Hayden (2011: 1 kali finis podium).
Pun dengan Dovi yang telah mempersembahkan 1 gelar seri beserta 11 podium atau Iannone dengan 1 gelar seri plus 5 podium dan Cal Crutchlow (1 podium). Nah pertanyaannya kini bagaimana dengan masa depan Jorge Lorenzo saat memacu Ducati Desmosedici mulai 2017, dan sudah bisa dilongok kemampuan awalnya dalam tes pasca musim Valencia 2016?
Bicara umur, dia baru 29 tahun. Lebih muda 2 tahun ketika Rossi hijrah dari Yamaha ke Ducati, tapi lebih tua 8 tahun saat Stoner menggila pada 2007. Artinya dari segi usia, Lorenzo masih berada di tengah-tengah keduanya.
Bagaimana bicara kemampuannya menaklukkan Desmosedici 1000cc? Kansnya dirasa cukup bagus. Karena tiga gelar juara dunia kelas bergengsi yang telah diraih Lorenzo bersama Yamaha, pada 2010 melombakan motor berkapasitas 800cc. Lalu pada 2012 sekaligus menandai kembalinya mesin 1.0 di lomba MotoGP. Kemudian sekali lagi terjadi pada 2015 masih di era 1000cc.
Lalu dari tinggi badan, postur Lorenzo 171 cm, persis seperti Stoner dan Crutchlow. Sedang Dovi 167 cm sama dengan Hayden. Iannone 178 cm dan Rossi 182 cm. Apakah dengan segala potensinya Porfuera bisa berbicara banyak di atas Desmosedici 1000cc?
Kalau bicara prestasi yang diraih Lorenzo dari empat musim berlaga di kelas 800cc (2008-2011), dia mengantungi 17 gelar seri, 44 podium, 18 pole dan 11 fastest lap. Sementara hingga MotoGP Sepang 2016, Porfuera telah meraup 26 gelar seri, 62 podium, 20 pole, 16 fastest lap dari lima musim bertarung di kelas 1000cc (2011-2016).
Artinya Lorenzo lebih banyak mengkoleksi kemenangan dengan motor 1.0 ketimbang 800cc, walau ada ekstra dua musim tambahan. Apakah ini menandakan dia lebih nyaman memacu motor lebih besar dan lebih powerfull ketimbang yang tenaganya lebih kecil dan lebih ringan?
Sepertinya menarik menunggu pembuktian Lorenzo saat memacu Desmosedici mulai 2017. Apakah dia bakal melewati raihan Stoner, Capirex, Rossi, Dovi, Iannone, Troy Bayliss (4 menang, 1 podium bersama Ducati 1000cc) hingga Hayden (total 3 podium bersama Ducati 800cc), dan Carlos Checa (2 podium bersama Ducati 1000cc)? Bagaimana tanggapan Anda?
Musim 2010 merupakan musim keempat di mana kelas bergengsi pada Kejuaraan Dunia Balap GP Motor melombakan motor berkapasitas mesin 800cc. Boleh dibilang, pada ketegori ini Ducati melakoni musim keemasannya di kelas utama.
Karena Ducati meraih gelar juara dunia pertamanya di kelas bergengsi 2007 tepat pada musim perdana aturan motor berkapasitas mesin 800cc dilombakan. Casey Stoner mendominasi edisi awal dengan 10 gelar seri dan 4 podium. Rekan setimnya waktu itu yang boleh dibilang sebagai ‘pawangnya Desmosedici’ Loris Capirossi cuma kebagian 1 gelar seri dan 3 podium.
Padahal waktu itu merupakan musim debut Stoner bersama Ducati. Capirex (julukan Capirossi) sebelum kedatangan Stoner, sudah menyumbang 6 kemenangan plus 13 podium sejak tim ini ikut lomba kelas bergengsi mulai 2003.
Mengapa Capirex dijuluki ‘pawang Desmosedici’? Itulah hebat sekaligus keunikan rider asal Italia tersebut. Karena 6 kemenangan dan 13 finis podium tadi dia persembahkan dengan menunggangi motor Ducati 1000cc. Tapi dia malah cuma kebagian 1 gelar seri saat memacu motor Ducati 800cc.
Data ini pula bisa membantah atau membandingkan anggapan orang yang menyebut kalau Stoner merupakan pembalap yang paling jago menaklukkan kegarangan tenaga besar Desmosedici. Karena rider asal Australia itu belum pernah sama sekali menunggangi motor Ducati 1000cc dalam lomba resmi MotoGP yang tentunya punya tenaga jauh lebih besar ketimbang Ducati 800cc. Juga karena dia pindah ke Repsol Honda pada 2011, yang mana musim terakhir kelas 800cc dilombakan dan mengantarnya merebut gelar juara dunia kelas premier untuk kedua kalinya.
Nah statistik di atas bisa saja jadi bantahan kalau Stoner merupakan salah satu pembalap legendaris kelas bergengsi dengan dua gelar juara dunia. Karena gelar itu dia raih saat MotoGP melombakan motor berkapasitas mesin 800cc.
Coba bandingkan prestasi Stoner ketika menunggangi motor MotoGP 4 Tak dan 4 silinder kelas 1000cc yang telah dimulai sejak 2002. Pada debutnya di kelas bergengsi musim 2006 bersama tim privateer LCR Honda, dia cuma kebagian 1 podium dan 1 pole position dan finis di ranking 8 akhir kalender.
Dan pada era 1000cc kembali dilombakan sejak 2012, pria bertinggi badan 171 cm itu hanya kebagian 5 kemenangan, 10 podium, 5 pole dan 2 fastest lap untuk finis ranking 3 akhir musim. Padahal saat itu dia memacu motor tim pabrikan utama Honda, yang musim sebelumnya dia antar jadi juara dunia era terakhir motor 800cc dengan rapor 10 gelar seri, 16 podium, 12 pole dan 7 fastest lap.
Kini kesimpulannya, benarkah Stoner dapat momen pas dan keberuntungan saat MotoGP melombakan kelas 800cc? Tentu saja dia dapat keuntungan dari satu hal, berat motor 800cc (minimum 148 kg untuk 4 silinder). Sementara berat motor 1000cc (minum 160 kg untuk 4 silinder) yang mulai 2015 turun ke angka 158 kg.
Seperti diketahui, lomba kelas bergengsi melahap lebih banyak dua lap ketimbang Moto2 dan empat putaran lebih banyak daripada Moto3. Kalau bicara jarak, maka lomba kelas bergengsi misalnya di Sirkuit Phillip Island, Australia akan melahap total jarak 120,1 km. Sedang kelas Moto2 (111,2 km = lebih sedikit 10 km) dan Moto3 (102,3 km = lebih sedikit 20 km). Dengan motor yang lebih berat dan jarak yang lebih panjang, otomatis para pembalap kelas bergengsi mesti memiliki kekuatan fisik esktra ketimbang rekan seprofesi mereka pada kelas di bawahnya.
Apakah ini membuktikan kalau bicara faktor fisik ini, maka Capirex lebih hebat dari Stoner. Karena postur Capirex cuma 163 cm. Bandingkan dengan Valentino Rossi yang tak mampu mengangkat performa Desmosedici baik di era 800cc (pada 2011: hasil 1 kali finis podium) dan 1000cc (2012: 2 kali finis podium). Atau Nicky Hayden (2011: 1 kali finis podium).
Pun dengan Dovi yang telah mempersembahkan 1 gelar seri beserta 11 podium atau Iannone dengan 1 gelar seri plus 5 podium dan Cal Crutchlow (1 podium). Nah pertanyaannya kini bagaimana dengan masa depan Jorge Lorenzo saat memacu Ducati Desmosedici mulai 2017, dan sudah bisa dilongok kemampuan awalnya dalam tes pasca musim Valencia 2016?
Bicara umur, dia baru 29 tahun. Lebih muda 2 tahun ketika Rossi hijrah dari Yamaha ke Ducati, tapi lebih tua 8 tahun saat Stoner menggila pada 2007. Artinya dari segi usia, Lorenzo masih berada di tengah-tengah keduanya.
Bagaimana bicara kemampuannya menaklukkan Desmosedici 1000cc? Kansnya dirasa cukup bagus. Karena tiga gelar juara dunia kelas bergengsi yang telah diraih Lorenzo bersama Yamaha, pada 2010 melombakan motor berkapasitas 800cc. Lalu pada 2012 sekaligus menandai kembalinya mesin 1.0 di lomba MotoGP. Kemudian sekali lagi terjadi pada 2015 masih di era 1000cc.
Lalu dari tinggi badan, postur Lorenzo 171 cm, persis seperti Stoner dan Crutchlow. Sedang Dovi 167 cm sama dengan Hayden. Iannone 178 cm dan Rossi 182 cm. Apakah dengan segala potensinya Porfuera bisa berbicara banyak di atas Desmosedici 1000cc?
Kalau bicara prestasi yang diraih Lorenzo dari empat musim berlaga di kelas 800cc (2008-2011), dia mengantungi 17 gelar seri, 44 podium, 18 pole dan 11 fastest lap. Sementara hingga MotoGP Sepang 2016, Porfuera telah meraup 26 gelar seri, 62 podium, 20 pole, 16 fastest lap dari lima musim bertarung di kelas 1000cc (2011-2016).
Artinya Lorenzo lebih banyak mengkoleksi kemenangan dengan motor 1.0 ketimbang 800cc, walau ada ekstra dua musim tambahan. Apakah ini menandakan dia lebih nyaman memacu motor lebih besar dan lebih powerfull ketimbang yang tenaganya lebih kecil dan lebih ringan?
Sepertinya menarik menunggu pembuktian Lorenzo saat memacu Desmosedici mulai 2017. Apakah dia bakal melewati raihan Stoner, Capirex, Rossi, Dovi, Iannone, Troy Bayliss (4 menang, 1 podium bersama Ducati 1000cc) hingga Hayden (total 3 podium bersama Ducati 800cc), dan Carlos Checa (2 podium bersama Ducati 1000cc)? Bagaimana tanggapan Anda?
(sbn)