Timnas Ingin Naik Level, Begini Masukan Eks Striker Dortmund
A
A
A
Deretan pesepak bola berbakat di level U-16 dan U-19 dinilai potensial mengisi skuad tim nasional Indonesia pada masa depan. Namun, PSSI diingatkan untuk menangani pemain muda dengan hati-hati agar mereka mampu mencapai top perform.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik sepak bola Indonesia dihipnotis dengan penampilan apik talenta muda berbakat di tim nasional U-16 dan U-19. Di level paling bawah, ada tiga nama yang cukup mencolok, yakni Rendy Juliansyah, Amiruddin Bagus Alfikri, dan Sutan Diego Zico yang baru saja meraih top skor kualifikasi Piala Asia U-16.
Sementara di level U-19, muncul nama-nama seperti Egy Maulana Vikri, Muhammad Rafli Mursalim, Witan Sulaiman, dan Hanis Saghara. Namun, yang paling mencuri perhatian adalah performa Egy yang berposisi sebagai winger maupun penyerang lubang di skuad Garuda Nusantara. Pemain PPLP Ragunan itu meraih trofi Jouer Revelation Turnamen Toulon Prancis sebagai pemain paling berpengaruh dalam tim.
Tidak berhenti di situ saja, pemain asal Medan ini melanjutkan performa ciamiknya pada Piala AFF U-19 Myanmar. Egy menyabet penghargaan sebagai pemain terbaik sekaligus top skor dengan delapan gol. Penampilannya yang terus menanjak ini yang kemudian mengantarkan pemain berusia 17 tahun ini masuk daftar 60 pemain berbakat di dunia versi harian ternama Inggris, The Guardian. Bakat sepak bola Egy yang dinilai di atas rata-rata membuat publik sepak bola Tanah Air berharap banyak kepada pemain bernomor punggung 10 ini mampu membawa timnas berprestasi pada level internasional.
Di sisi lain, ekspektasi tinggi kepada pemain asal Medan ini dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi kariernya. “Sangat penting bagi pemain muda berlatih keras dan tidak cepat puas di level junior untuk mencapai top perform. Mereka harus konsisten dan disiplin agar kariernya tidak meredup ketika memasuki level senior,” ujar eks striker Borussia Dortmund, Karl-Heinz Riedle di Jakarta kemarin.
Pemilik 42 caps bersama timnas Jerman ini menyatakan, pembinaan harus dimulai di akademi, di mana level usia sekitar 16 tahun sangat menentukan karir pemain muda. Mereka digodok tidak hanya untuk mengembangkan kemampuan sepak bola, tapi juga kedisiplinan. Selain itu, tim junior di setiap klub harus diproyeksikan sebagai cikal-bakal penyumbang pemain untuk tim senior.
Keberadaan tim akademi ini juga mesti ditunjang kompetisi berkualitas untuk meningkatkan level permainan sekaligus menambah jam terbang. Pemain yang pernah berseragam Liverpool ini menyatakan, hal ini harus ditempuh agar talenta muda berbakat di Indonesia tidak sia-sia. “Hanya sedikit pemain berbakat di level junior yang mampu mencapai puncak karier. Ini sudah banyak terjadi, termasuk di Jerman. Ini yang menjadi tantangannya. Di Indonesia banyak bibit potensial dan ini harus ditangani dengan baik,” katanya.
Menurutnya, PSSI bisa belajar pada Jerman dalam memoles talenta muda yang diproyeksikan mengisi timnas. Dia mencontohkan regenerasi pemain yang mengisi skuad Der Panzer dimulai dari level akademi dan hasilnya sudah terlihat ketika tampil sebagai juara dunia pada 2014 lalu.
“Intinya pada pembinaan. Kami membangun sepak bola dari level akademi, usia sekitar 16 yang sangat menentukan. Jika ini bisa ditiru, akan sangat mengagumkan di masa depan ketika ada pemain Indonesia bermain di Bundesliga,” paparnya.
Terkait sepak bola Indonesia, Riedle yang menyumbang 16 gol bagi Jerman berharap sanksi yang sebelumnya diterima dari FIFA menjadi pelecut untuk menghasilkan kompetisi yang berkualitas. Dia menyebut, langkah PSSI mengontrak Luis Milla menangani timnas sangat positif mengingat pelatih asal Spanyol itu sangat menekankan pada taktik dan kedisiplinan pemain.
“Milla adalah pelatih bagus dan memberikan perubahan taktis pada sepak bola Indonesia. Ini harus ditunjang dengan kompetisi yang profesional utamanya bagi pemain muda,” ujarnya.
Karl-Heinz Riedle berkunjung ke Indonesia dalam kapasitasnya sebagai duta Die Borussien dan mempromosikan klub yang pernah diantarnya menjuarai Liga Champions 1997. Kunjungan dalam rangkaian tur Asia Tenggara ini diharapkan meningkatkan kepopuleran klub dengan warna kebesaran kuning itu.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik sepak bola Indonesia dihipnotis dengan penampilan apik talenta muda berbakat di tim nasional U-16 dan U-19. Di level paling bawah, ada tiga nama yang cukup mencolok, yakni Rendy Juliansyah, Amiruddin Bagus Alfikri, dan Sutan Diego Zico yang baru saja meraih top skor kualifikasi Piala Asia U-16.
Sementara di level U-19, muncul nama-nama seperti Egy Maulana Vikri, Muhammad Rafli Mursalim, Witan Sulaiman, dan Hanis Saghara. Namun, yang paling mencuri perhatian adalah performa Egy yang berposisi sebagai winger maupun penyerang lubang di skuad Garuda Nusantara. Pemain PPLP Ragunan itu meraih trofi Jouer Revelation Turnamen Toulon Prancis sebagai pemain paling berpengaruh dalam tim.
Tidak berhenti di situ saja, pemain asal Medan ini melanjutkan performa ciamiknya pada Piala AFF U-19 Myanmar. Egy menyabet penghargaan sebagai pemain terbaik sekaligus top skor dengan delapan gol. Penampilannya yang terus menanjak ini yang kemudian mengantarkan pemain berusia 17 tahun ini masuk daftar 60 pemain berbakat di dunia versi harian ternama Inggris, The Guardian. Bakat sepak bola Egy yang dinilai di atas rata-rata membuat publik sepak bola Tanah Air berharap banyak kepada pemain bernomor punggung 10 ini mampu membawa timnas berprestasi pada level internasional.
Di sisi lain, ekspektasi tinggi kepada pemain asal Medan ini dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi kariernya. “Sangat penting bagi pemain muda berlatih keras dan tidak cepat puas di level junior untuk mencapai top perform. Mereka harus konsisten dan disiplin agar kariernya tidak meredup ketika memasuki level senior,” ujar eks striker Borussia Dortmund, Karl-Heinz Riedle di Jakarta kemarin.
Pemilik 42 caps bersama timnas Jerman ini menyatakan, pembinaan harus dimulai di akademi, di mana level usia sekitar 16 tahun sangat menentukan karir pemain muda. Mereka digodok tidak hanya untuk mengembangkan kemampuan sepak bola, tapi juga kedisiplinan. Selain itu, tim junior di setiap klub harus diproyeksikan sebagai cikal-bakal penyumbang pemain untuk tim senior.
Keberadaan tim akademi ini juga mesti ditunjang kompetisi berkualitas untuk meningkatkan level permainan sekaligus menambah jam terbang. Pemain yang pernah berseragam Liverpool ini menyatakan, hal ini harus ditempuh agar talenta muda berbakat di Indonesia tidak sia-sia. “Hanya sedikit pemain berbakat di level junior yang mampu mencapai puncak karier. Ini sudah banyak terjadi, termasuk di Jerman. Ini yang menjadi tantangannya. Di Indonesia banyak bibit potensial dan ini harus ditangani dengan baik,” katanya.
Menurutnya, PSSI bisa belajar pada Jerman dalam memoles talenta muda yang diproyeksikan mengisi timnas. Dia mencontohkan regenerasi pemain yang mengisi skuad Der Panzer dimulai dari level akademi dan hasilnya sudah terlihat ketika tampil sebagai juara dunia pada 2014 lalu.
“Intinya pada pembinaan. Kami membangun sepak bola dari level akademi, usia sekitar 16 yang sangat menentukan. Jika ini bisa ditiru, akan sangat mengagumkan di masa depan ketika ada pemain Indonesia bermain di Bundesliga,” paparnya.
Terkait sepak bola Indonesia, Riedle yang menyumbang 16 gol bagi Jerman berharap sanksi yang sebelumnya diterima dari FIFA menjadi pelecut untuk menghasilkan kompetisi yang berkualitas. Dia menyebut, langkah PSSI mengontrak Luis Milla menangani timnas sangat positif mengingat pelatih asal Spanyol itu sangat menekankan pada taktik dan kedisiplinan pemain.
“Milla adalah pelatih bagus dan memberikan perubahan taktis pada sepak bola Indonesia. Ini harus ditunjang dengan kompetisi yang profesional utamanya bagi pemain muda,” ujarnya.
Karl-Heinz Riedle berkunjung ke Indonesia dalam kapasitasnya sebagai duta Die Borussien dan mempromosikan klub yang pernah diantarnya menjuarai Liga Champions 1997. Kunjungan dalam rangkaian tur Asia Tenggara ini diharapkan meningkatkan kepopuleran klub dengan warna kebesaran kuning itu.
(amm)