Zlatan Ibrahimovic, Nietzsche, dan Ubermensch

Kamis, 12 Oktober 2017 - 13:51 WIB
Zlatan Ibrahimovic, Nietzsche, dan Ubermensch
Zlatan Ibrahimovic, Nietzsche, dan Ubermensch
A A A
ZLATAN Ibrahimovic menjadi sosok pesepak bola yang sangat disegani. Usia tua tidak menghalangi ambisi dan arogansinya yang luar biasa tinggi. Bagaimana perjalanan sukses pria berdarah Bosnia itu?

Bukan kebetulan jika filsuf Friedrich Nietzsche dan pesepak bola asal Swedia, Zlatan Ibrahimovic, lahir pada bulan yang sama, Oktober. Nietzsche lahir pada 15 Oktober 1844. Setelah 137 tahun kemudian, tepatnya 3 Oktober 1981, Zlatan Ibrahimovic lahir di Kota Malmo, Swedia. Lebih dari satu abad sebelum Zlatan lahir, Nietzsche menulis buku Also Sprach Zarathustra. Di buku tersebut, Nietzsche menawarkan sebuah konsep manusia super atau dalam bahasa Jerman disebut Ubermensch.

“Lihatlah, aku mengajarkan Ubermensch kepadamu. Ubermensch adalah makna dunia ini. Biarkanlah kehendakmu berseru. Hendaknya Ubermensch menjadi makna dunia ini,” tulis Nietzsche.

Bagi Nietzsche, Ubermensch merupakan suatu bentuk manusia yang menganggap dirinya sebagai sumber nilai. Manusia yang telah mencapai Ubermensch adalah manusia yang selalu mengatakan “ya” pada segala hal dan siap menghadapi tantangan. Ubermensch adalah orang yang mempunyai sikap selalu mengafirmasikan hidupnya. Tanpa itu, Ubermensch tidak mungkin akan tercipta. Jadi, Ubermensch tidak pernah menyangkal atau gentar dalam menghadapi berbagai dorongan hidupnya yang dahsyat.

Nietzsche memang hidup di zaman yang berbeda dengan Zlatan, begitu juga konsep Ubermensch yang ditawarkan Nietzsche. Bisa jadi Zlatan tidak pernah membaca buku-buku ciptaan Nietzsche. Namun, saat diwawancarai sebuah majalah ketika hendak bertanding melawan Galatasaray di salah satu pertandingan Liga Eropa pada 2016, Zlatan sedikit berfilosofi soal kekuatan.

“Saya selalu yakin dengan kerja keras yang saya bangun. Itulah filosofi saya. Bekerja keras, berlatih keras hasilnya akan selalu positif. Kerja keras juga selalu menghadirkan keinginan berkuasa,” urai Ibra, panggilan akrabnya.

Meski demikian, tetap saja Ubermensch hanya dapat dicapai dengan seluruh kemampuan yang dimiliki manusia secara individual. Ibra pun memiliki semua persyaratan tersebut. Saat ini dia merupakan salah satu sosok pesepak bola dengan kemampuan yang sangat eksepsional. Dia layak disejajarkan dengan pemain sepak bola super lainnya, seperti Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Sejak memulai karier sepak bola dengan Malmo FF, Ibra memang sudah menyiapkan diri menjadi sosok yang besar di dunia sepak bola.

“Dia seperti sangat siap untuk mendaki gunung saking siapnya,” ujar Tony Flygare, teman satu klub Ibra di Malmo FF dalam buku Once I Was Bigger Than Zlatan. Keinginannya yang sangat kuat, didukung bakat yang luar biasa, melahirkan arogansi tiada tara. Arogansi inilah yang membuatnya terlempar dari Barcelona. Di antara berbagai klub yang dia sambangi, Barcelona adalah klub yang tidak pernah dia mengerti. Ibra tidak mengerti ketika pelatih Barcelona waktu itu, Pep Guardiola, meminta dia agar tidak terlalu pongah.

Dia meminta Ibra tidak terlihat arogan karena arogan bukanlah karakter Barcelona. Ibra yang waktu itu masih berstatus newbie justru kebingungan dengan permintaan pelatihnya. Dia malah semakin kesal ketika Pep Guardiola meminta tidak mengendarai mobil Porsche ke Camp Nou. Dia hampir terlihat jijik ketika terpaksa mengendarai Audi, mobil yang diberikan Barcelona kepada setiap pemain, ke kamp latihan. Terbiasa sebagai seorang primadona, Ibra tidak mengerti dengan kondisi yang ditemuinya di Barcelona.

“Sejujurnya, tidak ada satu pun pemain yang bertingkah seperti seorang superstar dan itu sangat aneh. Messi, Xavi, Iniesta, semuanya terlihat seperti anak sekolah. Para pemain sepak bola terbaik di dunia berada di sana dan semua kepala mereka tertunduk. Aku sama sekali tidak mengerti, menggelikan,” tulis Ibra dalam buku I Am Zlatan.

Sikap arogan Ibra memang terlihat mengesalkan. Hanya dalam buku I Am Zlatan bisa dipahami mengapa Ibra begitu arogan. Lahir dari keluarga Bosnia yang pindah ke Swedia sebagai imigran, Ibra terbiasa dipinggirkan dan dilecehkan. Ledekan demi ledekan serta hujatan kerap dia terima. Hanya, semua itu membuat rasa percaya dirinya semakin tinggi.

Saking tingginya, hal itu berubah menjadi arogansi. Dari situlah mengapa Ibra sudah terbiasa dengan orang-orang yang tidak menginginkannya. Tidak mengherankan jika Ibra mengatakan banyak orang yang ciut berada dalam tekanan, tetapi tidak baginya. Semakin tinggi tekanan, semakin hebat dia akan bermain. Satu tempat tidak akan cukup menampung arogansi Ibra. Bak seorang nomaden, Ibra melanglang buana bersama arogansinya. Saat ini dia termasuk seorang superstar sepak bola yang sudah mencicipi berbagai liga prestisius di Eropa, mulai Inggris, Spanyol, Prancis, hingga Italia. Di Manchester United, arogansi tersebut seperti gayung bersambut.

Klub Inggris itu menyambut Ibra dengan suka cita. Hanya butuh satu musim buat Ibra mencuri hati Manchester United. Bayangkan kombinasinya, klub yang pongah dengan striker yang sangat arogan. Lengkap sudah mengapa Manchester United begitu dibenci hingga kini. “Saya ingin menjadi “dewa” di Manchester United,” ungkap Ibra. Sebuah pernyataan yang tidak akan pernah terbayang sebelumnya karena Old Trafford hanya mengenal raja, bukan dewa. Pekerjaan “dewa” Manchester United itu belum selesai, meski saat ini Old Trafford punya idola baru, Romelu Lukaku.

Pada 2 Desember 2017, saat Manchester United berseteru dengan Arsenal, dewa dengan nomor baru 10 itu akan kembali beraksi. Kita tunggu saja, apakah Manchester United akan menjadi tempat terakhir bagi Ibra mengubur arogansinya?
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3924 seconds (0.1#10.140)