Menanti Negeri Kurcaci Menggilas Raksasa di Rusia
A
A
A
USAI mengejutkan dunia sepak bola dengan lolos hingga perempat final Piala Eropa, SINDO Weekly sengaja mengunjungi Islandia. Selama 8 hari di sana, kami melihat dan membuktikan sendiri, bagaimana negeri kurcaci tersebut bisa sebegitu hebat hingga lolos Piala Dunia.
Tujuh bulan setelah Piala Eropa 2016 atau tepatnya Februari 2017 lalu. Musim dingin baru saja berakhir di Islandia. Namun di Ibu Kota Reykjavik, salju seakan enggan meninggalkan daratan. Suhu pun masih minus 5 derajat—yang kata warga di sana “sudah terbilang hangat”. Sementara bagi desain grafis kami, Yoseph Mario Richardo, ia sampai harus mengenakan empat lapis pakaian, termasuk long john dan goose down. Itu saja kadang masih perlu tambahan syal.
Sementara bagi orang-orang di sana, suhu seekstrem itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Begitu pula saat badai datang tiba-tiba-yang juga sempat dirasakan Yoseph dan timnya. Singkat cerita, bagi orang Islandia, adaptasi di cuaca ekstrem merupakan hal wajib yang sudah dilakukan sejak lama. Bertahan hidup bagi mereka sudah mendarah daging sejak zaman Viking berjaya. “Adaptasi” akhirnya menjadi kata paling tepat untuk menggambarkan delapan hari kunjungan desain grafis SINDO Weekly ke Islandia.
Bagaimana tidak? Begini, Islandia adalah sebuah negara kecil yang berada di dekat lingkar Laut Arktik di Kutub Utara. Kalau di atlas, letaknya di ujung kiri yang hampir pasti luput dari pandangan pertama. Tidak berlebihan bila Islandia dijuluki Land of Fire and Ice. Sebab, sejauh mata memandang, tebing-tebing es dan gunung berapi menjulang, hamparan salju dominan, bahkan di utara ada es abadi yang tak lekang dimakan zaman.
Islandia juga ternyata negara yang mahal, baik itu makanannya, bensin, dan, yang paling terasa, paket wisatanya. Boleh jadi jika ada rekan Anda pernah ke Islandia, sudah pasti ada cerita kalau mereka merogoh kocek dalam dari sakunya. Kesimpulan sederhananya, jika tak bisa “adaptasi” dengan cepat, jangan melawat ke Islandia. “Mahal segalanya, tetapi sebanding dengan yang diterima,” begitu kata Yoseph.
Adaptasi pun dilakukan dalam banyak hal, termasuk sepak bola. Publik telah menjadi saksi bahwa sang kurcaci yang diremehkan itu kini sudah bisa beradaptasi dengan kerasnya persaingan di Eropa. Tak cuma sekadar lolos ke putaran final untuk pertama kali, tetapi mampu mengguncang hingga tembus perempatfinal. Bahkan sekarang, dunia kembali dikejutkan setelah Islandia berhasil lolos ke Piala Dunia dengan status juara grup pula. Gila!
Apa sesungguhnya kunci sukses Islandia dalam bidang sepak bola? Dapatkan informasi selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi Nomor 33 Tahun 6, 2017 yang terbit Senin (16/10/2017).
Tujuh bulan setelah Piala Eropa 2016 atau tepatnya Februari 2017 lalu. Musim dingin baru saja berakhir di Islandia. Namun di Ibu Kota Reykjavik, salju seakan enggan meninggalkan daratan. Suhu pun masih minus 5 derajat—yang kata warga di sana “sudah terbilang hangat”. Sementara bagi desain grafis kami, Yoseph Mario Richardo, ia sampai harus mengenakan empat lapis pakaian, termasuk long john dan goose down. Itu saja kadang masih perlu tambahan syal.
Sementara bagi orang-orang di sana, suhu seekstrem itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Begitu pula saat badai datang tiba-tiba-yang juga sempat dirasakan Yoseph dan timnya. Singkat cerita, bagi orang Islandia, adaptasi di cuaca ekstrem merupakan hal wajib yang sudah dilakukan sejak lama. Bertahan hidup bagi mereka sudah mendarah daging sejak zaman Viking berjaya. “Adaptasi” akhirnya menjadi kata paling tepat untuk menggambarkan delapan hari kunjungan desain grafis SINDO Weekly ke Islandia.
Bagaimana tidak? Begini, Islandia adalah sebuah negara kecil yang berada di dekat lingkar Laut Arktik di Kutub Utara. Kalau di atlas, letaknya di ujung kiri yang hampir pasti luput dari pandangan pertama. Tidak berlebihan bila Islandia dijuluki Land of Fire and Ice. Sebab, sejauh mata memandang, tebing-tebing es dan gunung berapi menjulang, hamparan salju dominan, bahkan di utara ada es abadi yang tak lekang dimakan zaman.
Islandia juga ternyata negara yang mahal, baik itu makanannya, bensin, dan, yang paling terasa, paket wisatanya. Boleh jadi jika ada rekan Anda pernah ke Islandia, sudah pasti ada cerita kalau mereka merogoh kocek dalam dari sakunya. Kesimpulan sederhananya, jika tak bisa “adaptasi” dengan cepat, jangan melawat ke Islandia. “Mahal segalanya, tetapi sebanding dengan yang diterima,” begitu kata Yoseph.
Adaptasi pun dilakukan dalam banyak hal, termasuk sepak bola. Publik telah menjadi saksi bahwa sang kurcaci yang diremehkan itu kini sudah bisa beradaptasi dengan kerasnya persaingan di Eropa. Tak cuma sekadar lolos ke putaran final untuk pertama kali, tetapi mampu mengguncang hingga tembus perempatfinal. Bahkan sekarang, dunia kembali dikejutkan setelah Islandia berhasil lolos ke Piala Dunia dengan status juara grup pula. Gila!
Apa sesungguhnya kunci sukses Islandia dalam bidang sepak bola? Dapatkan informasi selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi Nomor 33 Tahun 6, 2017 yang terbit Senin (16/10/2017).
(amm)