Reformasi PSSI Kebutuhan Mendesak
A
A
A
JAKARTA - Sudah terlalu lama sepak bola Indonesia menderita dengan berbagai masalah yang dihadapinya. Karena itu, butuh perubahan revolusioner untuk bisa memperbaikinya lantaran sejatinya sepak bola Indonesia bisa berlari lebih cepat asal dikelola dengan cara-cara tepat.
Pernyataan itu disampaikan pengamat sepak bola sekaligus koordinator Save Our Soccer (SOS) Indonesia, Akmal Marhali, terkait tragedi tewasnya suporter The Jackmania, Haringga Sirla, yang dikeroyok oknum bobotoh Persib saat akan menonton pertandingan Persib Bandung dengan Persija Jakarta di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Minggu (23/9). Dalam catatannya, Haringga adalah korban jiwa ke-22 sejak Edy Rahmayadi menjabat ketua umum PSSI pada 10 November 2016.
Tujuh di antaranya tewas akibat pengeroyokan oknum suporter lain, termasuk Haringga. Begitu juga korban tewas sebelumnya, yakni remaja berusia 16 tahun, M. Iqbal, tewas dikeroyok oknum suporter PSIM (Brajamusti), saat menyaksikan pertandingan PSIM menghadapi PSS Sleman di Stadion Sultan Agung, Bantul, 26 Juli lalu.
Sementara selebihnya meninggal karena kecelakaan, penusukan, gas air mata, jatuh dari tribun, dan terkena petasan. "Tragedi-tragedi itu sejatinya terjadi karena kesalahan kolektif. Tak hanya suporter dan klubnya, juga pihak keamanan, panitia, operator kompetisi sepak bola Indonesia, dan terutama PSSI, sebagai lembaga pengendali sepak bola Indonesia. Bahkan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga pun tetap harus bertanggung jawab dengan insiden-insiden yang terjadi," ujar Akmal.
Karena itu, kata Akmal, wajar jika ada tuntutan perubahan yang revolusioner dalam sepak bola Indonesia. Tidak hanya aturan ketat untuk menangkal kekerasan yang perlu disempurnakan, juga tata kelola PSSI terhadap sepak bola Indonesia yang benar-benar butuh konsentrasi penuh, waktu, dan intensitas yang tinggi. Bahkan, keputusan Ketum PSSI Edy Rahmayadi menghentikan kompetisi Liga 1 2018 sampai batas waktu tidak ditentukan adalah langkah prematur dan terlalu terburu-buru.
Sebab, bukan hanya suporter, klub, operator Liga1, dan PSSI yang ada di lingkaran kompetisi itu, juga kepentingan sponsor. Karena itu, keputusan Edy itu bukanlah solusi cerdas dan elegan bagi sepak bola Indonesia. "Posisi Pak Edy Rahmayadi sebagai ketua umum semakin berat setelah terpilih sebagai Gubernur Sumut. Ada dua rakyat yang butuh perhatian serius. Rakyat Sumut dan Rakyat Sepak Bola. Keduanya butuh perhatian penuh 24 jam. Tak bisa dikerjakan secara sambilan. Dibutuhkan orang-orang yang benar-benar berintegritas dan mewakafkan diri sepenuhnya untuk sepak bola," tegas Akmal.
Akmal menilai, rangkap jabatan akan menghadirkan banyak masalah selain terlihat tidak profesional. Pastinya akan banyak benturan kepentingan yang dihadapi, dan itu akan dialami setiap hari yang membuat Edy gagal fokus.
"Memang tak ada larangan secara spesifik di statuta PSSI soal jabatan. Ini soal etika dan membangun kesadaran serta keteladan. Bola kita butuh contoh dari level atas untuk kemudian diikuti akar rumput. Statuta PSSI hanya menyebutkan di pasal 5 agar sepak bola tak dibawa ke ranah politik. Dengan posisi Pak Edy sebagai Gubernur Sumut, benturan politik akan sangat besar baik secara langsung maupun tak langsung. Alangkah bijaksananya bila memilih salah satu: Gubernur Sumut atau PSSI. Dari sini sikap kebegawanan seorang tokoh diuji. Pak ER akan menjadi teladan untuk organisasi olahraga lainnya bila memutuskan memilih salah satunya. Ini sejatinya akan menjadi poin besar bagi pembangunan olahraga sepak bola Indonesia," ujar Akmal.
Sementara itu, Dewan Pakar PSSI Periode 2003-2007 Muchlis Hasyim menyatakan bahwa bobroknya pengelolaan sepak bola Indonesia tak lain karena belum ‘hijrah’-nya para pengurus PSSI. "Hijrah itu bermakna semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa optimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk ke yang baik, dan hijrah dari hal-hal baik ke yang lebih baik lagi," kata Muchlis.
Dia menegaskan, jika pengurus PSSI mau berhijrah, maka yang didapat adalah berkah. Dengan berkah pula, maka kasus-kasus kematian suporter di pertandingan sepak bola tidak akan terjadi. "Peristiwa-peristiwa kematian suporter yang terus terulang seakan tak ada upaya pengurus untuk melakukan pembenahan. Semua ini terjadi karena memang pengurusnya tidak berkah," tegasnya.
Wartawan senior itu memberi contoh soal jadwal pertandingan yang kerap dimulai pada jam-jam waktu salat. "Coba bikin jadwal pertandingan yang tidak berlangsung di jam-jam salat. Ini kan tidak, ada pertandingan yang dimulai pas adzan maghrib. Maksud saya biar semua berkah, para pengurus PSSI juga berkah, yuk hijrah semua," tegasnya.
Menyangkut rangkap jabatan Edy sebagai Gubernur Sumut dan posisinya di organisasi publik sebagai ketua umum PSSI, menurut Muchlis perlu dipertimbangkan lagi. Dia menyatakan, memimpin PSSI dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Sumut adalah bagian dari intervensi pemerintah.
"Dengan jabatan dirangkap itu tentu akan ada yang dikorbankan. Dia sendiri sudah menyebutkan bebannya berat sebagai gubernur, tapi malah tetap rangkap jabatan sebagai ketua umum PSSI," paparnya.
Selain itu, dia juga melihat karakter Edy yang sangat temperamental. Termasuk, saat diwawancarai salah satu televisi swasta nasional. "Gayanya sangat tidak cocok dengan marwah PSSI dan tata kelola sepak bola yang butuh sosok terbuka, respek, profesional, merangkul, dan ksatria. Bukan sosok represif, menghardik, dan melecehkan korps wartawan," jelasnya.
Karena itu, sebagai mantan dewan pakar PSSI, Muchlis pun menilai bahwa PSSI butuh perubahan yang signifikan. Baik dari aturan maupun tata kelolanya agar sepak bola Indonesia bisa bergerak lebih maju. "Sudah saatnya dilakukan konsolidasi total PSSI lewat kongres luar biasa (KLB). Ini satu-satunya jalan untuk mengembalikan PSSI ke marwahnya agar sepak bola Indonesia bisa lebih maju," tegas Muchlis.
Pernyataan itu disampaikan pengamat sepak bola sekaligus koordinator Save Our Soccer (SOS) Indonesia, Akmal Marhali, terkait tragedi tewasnya suporter The Jackmania, Haringga Sirla, yang dikeroyok oknum bobotoh Persib saat akan menonton pertandingan Persib Bandung dengan Persija Jakarta di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Minggu (23/9). Dalam catatannya, Haringga adalah korban jiwa ke-22 sejak Edy Rahmayadi menjabat ketua umum PSSI pada 10 November 2016.
Tujuh di antaranya tewas akibat pengeroyokan oknum suporter lain, termasuk Haringga. Begitu juga korban tewas sebelumnya, yakni remaja berusia 16 tahun, M. Iqbal, tewas dikeroyok oknum suporter PSIM (Brajamusti), saat menyaksikan pertandingan PSIM menghadapi PSS Sleman di Stadion Sultan Agung, Bantul, 26 Juli lalu.
Sementara selebihnya meninggal karena kecelakaan, penusukan, gas air mata, jatuh dari tribun, dan terkena petasan. "Tragedi-tragedi itu sejatinya terjadi karena kesalahan kolektif. Tak hanya suporter dan klubnya, juga pihak keamanan, panitia, operator kompetisi sepak bola Indonesia, dan terutama PSSI, sebagai lembaga pengendali sepak bola Indonesia. Bahkan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga pun tetap harus bertanggung jawab dengan insiden-insiden yang terjadi," ujar Akmal.
Karena itu, kata Akmal, wajar jika ada tuntutan perubahan yang revolusioner dalam sepak bola Indonesia. Tidak hanya aturan ketat untuk menangkal kekerasan yang perlu disempurnakan, juga tata kelola PSSI terhadap sepak bola Indonesia yang benar-benar butuh konsentrasi penuh, waktu, dan intensitas yang tinggi. Bahkan, keputusan Ketum PSSI Edy Rahmayadi menghentikan kompetisi Liga 1 2018 sampai batas waktu tidak ditentukan adalah langkah prematur dan terlalu terburu-buru.
Sebab, bukan hanya suporter, klub, operator Liga1, dan PSSI yang ada di lingkaran kompetisi itu, juga kepentingan sponsor. Karena itu, keputusan Edy itu bukanlah solusi cerdas dan elegan bagi sepak bola Indonesia. "Posisi Pak Edy Rahmayadi sebagai ketua umum semakin berat setelah terpilih sebagai Gubernur Sumut. Ada dua rakyat yang butuh perhatian serius. Rakyat Sumut dan Rakyat Sepak Bola. Keduanya butuh perhatian penuh 24 jam. Tak bisa dikerjakan secara sambilan. Dibutuhkan orang-orang yang benar-benar berintegritas dan mewakafkan diri sepenuhnya untuk sepak bola," tegas Akmal.
Akmal menilai, rangkap jabatan akan menghadirkan banyak masalah selain terlihat tidak profesional. Pastinya akan banyak benturan kepentingan yang dihadapi, dan itu akan dialami setiap hari yang membuat Edy gagal fokus.
"Memang tak ada larangan secara spesifik di statuta PSSI soal jabatan. Ini soal etika dan membangun kesadaran serta keteladan. Bola kita butuh contoh dari level atas untuk kemudian diikuti akar rumput. Statuta PSSI hanya menyebutkan di pasal 5 agar sepak bola tak dibawa ke ranah politik. Dengan posisi Pak Edy sebagai Gubernur Sumut, benturan politik akan sangat besar baik secara langsung maupun tak langsung. Alangkah bijaksananya bila memilih salah satu: Gubernur Sumut atau PSSI. Dari sini sikap kebegawanan seorang tokoh diuji. Pak ER akan menjadi teladan untuk organisasi olahraga lainnya bila memutuskan memilih salah satunya. Ini sejatinya akan menjadi poin besar bagi pembangunan olahraga sepak bola Indonesia," ujar Akmal.
Sementara itu, Dewan Pakar PSSI Periode 2003-2007 Muchlis Hasyim menyatakan bahwa bobroknya pengelolaan sepak bola Indonesia tak lain karena belum ‘hijrah’-nya para pengurus PSSI. "Hijrah itu bermakna semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa optimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk ke yang baik, dan hijrah dari hal-hal baik ke yang lebih baik lagi," kata Muchlis.
Dia menegaskan, jika pengurus PSSI mau berhijrah, maka yang didapat adalah berkah. Dengan berkah pula, maka kasus-kasus kematian suporter di pertandingan sepak bola tidak akan terjadi. "Peristiwa-peristiwa kematian suporter yang terus terulang seakan tak ada upaya pengurus untuk melakukan pembenahan. Semua ini terjadi karena memang pengurusnya tidak berkah," tegasnya.
Wartawan senior itu memberi contoh soal jadwal pertandingan yang kerap dimulai pada jam-jam waktu salat. "Coba bikin jadwal pertandingan yang tidak berlangsung di jam-jam salat. Ini kan tidak, ada pertandingan yang dimulai pas adzan maghrib. Maksud saya biar semua berkah, para pengurus PSSI juga berkah, yuk hijrah semua," tegasnya.
Menyangkut rangkap jabatan Edy sebagai Gubernur Sumut dan posisinya di organisasi publik sebagai ketua umum PSSI, menurut Muchlis perlu dipertimbangkan lagi. Dia menyatakan, memimpin PSSI dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Sumut adalah bagian dari intervensi pemerintah.
"Dengan jabatan dirangkap itu tentu akan ada yang dikorbankan. Dia sendiri sudah menyebutkan bebannya berat sebagai gubernur, tapi malah tetap rangkap jabatan sebagai ketua umum PSSI," paparnya.
Selain itu, dia juga melihat karakter Edy yang sangat temperamental. Termasuk, saat diwawancarai salah satu televisi swasta nasional. "Gayanya sangat tidak cocok dengan marwah PSSI dan tata kelola sepak bola yang butuh sosok terbuka, respek, profesional, merangkul, dan ksatria. Bukan sosok represif, menghardik, dan melecehkan korps wartawan," jelasnya.
Karena itu, sebagai mantan dewan pakar PSSI, Muchlis pun menilai bahwa PSSI butuh perubahan yang signifikan. Baik dari aturan maupun tata kelolanya agar sepak bola Indonesia bisa bergerak lebih maju. "Sudah saatnya dilakukan konsolidasi total PSSI lewat kongres luar biasa (KLB). Ini satu-satunya jalan untuk mengembalikan PSSI ke marwahnya agar sepak bola Indonesia bisa lebih maju," tegas Muchlis.
(sha)