Sentuhan Seni Cantona
A
A
A
SIAPA yang tak kenal Eric Cantona? Legendaris Manchester United (MU) tersebut tetap dipuja meski sudah meninggalkan lapangan hijau.
Dalam beberapa tahun terakhir, pria berpaspor Prancis tersebut menyalurkan bakat seninya dengan mendesain jam tangan mewah asal Swiss, Hautlence. Sosok Cantona mudah dikenali.
Senyum ramahnya menyapa KORAN SINDO , dalam wawancara menjelang peluncuran Hautlence HL Vagabonde Tourbillon terbaru di Jakarta, beberapa waktu lalu. Hautlence, jam tangan asal Swiss, mendapuk Cantona sebagai brand partner sejak beberapa tahun lalu.
Hautlence mulai mewarnai dunia jam tangan mewah pada 2004. Nama Hautlence merupakan anagram dari Neuchatel, suatu kota di Swiss, yang merupakan tempat lahir seni jam tangan. Jam tangan Hautlence selalu jadi buruan kolektor.
Dalam setahun Hautlence memproduksi sekitar 200 jam tangan saja. Karya Hautlence sangat eksklusif dan beberapa jenisnya hanya terdesain dalam jumlah terbatas, termasuk kolaborasi dengan Cantona.
Bahkan, jam tangan yang turut didesain oleh Cantona ini hanya diproduksi 10 piece. Satu di antaranya dipasarkan di Indonesia. “Waktu adalah faktor utama yang mengikat kita sehingga hal tersebut merupakan ide dasar pembuatan arloji ini. Jam tangan ini bertujuan menggambarkan bahwa kita sebenarnya dikurung waktu namun jiwa kita tetap bebas,” tutur Cantona di Jakarta.
Pemilik Hautlence, Bertrand Meylan, menilai Indonesia merupakan pasar menarik. “Kami sangat excited berada di sini (Jakarta, Indonesia) untuk meluncurkan HL Vagabonde Tourbillon yang dibuat terbatas, hanya 10 piece. Dan, kehadiran Eric Cantona di sini sangat menguntungkan untuk brand dan telah membantu visibilitas (brand),” ujar Meylan.
HL Vagabonde Tourbillon terbaru sungguh menawan, dengan warna biru tua dipadu 5N red gold menghadirkan kombinasi yang teramat cantik. Jam tangan istimewa ini merupakan perpaduan unik antara keindahan dan teknik luar biasa sehingga menghasilkan produk yang menunjukkan teknologi transformasi dari jam tangan.
Cantona juga memberikan sentuhan seninya untuk produk Hautlence sebelumnya, Hautlence Vortex Primary. Jam tangan menawan ini juga dijual terbatas.
Setelah meninggalkan lapangan hijau, dalam usia cukup muda, yakni 30 tahun pada 1997, Cantona lebih memilih berkecimpung di dunia seni, termasuk akting.
Sejumlah film dia bintangi dan juga produseri. Pria yang identik dengan nomor punggung tujuh ini masih sangat dicintai di Old Trafford. Dia bersaing ketat dengan George Best, David Beckham, bahkan Cristiano Ronaldo memperebutkan pemilik nomor punggung tujuh tersakti di The Red Devils —julukan MU. Pencinta sepak bola akan selalu mengenang Cantona tidak hanya karena prestasinya, juga karena sosoknya yang unik. Selama lima tahun (1992-1997), Old Trafford menjadi rumah Cantona.
Saat diboyong ke MU pada musim 1992/1993, The Red Devils tengah terpuruk. Mereka bahkan tertinggal dari Aston Villa dan Blackburn Rovers dalam perebutan gelar Liga Primer musim sebelumnya.
Tak heran bila pemilik nama lengkap Eric Daniel Pierre Cantona itu disebut sebagai kepingan terakhir nakhoda MU Sir Alex Ferguson. Puzzle bernama Cantona itu melengkapi dan meluruskan apa yang diidamkan pencinta The Red Devils.
Pada musim pertamanya, Cantona mempersembahkan mahkota Liga Primer, atau gelar pertama MU sejak 1967. Setelah mengantarkan MU ke gerbang juara, Cantona mencatatkan dirinya sebagai satu-satunya pemain yang merasakan manisnya mahkota liga tiga tahun secara beruntun bersama tiga klub berbeda.
Sebelum MU, pada 1991, dia mempersembahkan Liga Prancis untuk Marseille. Lalu, setahun berselang Cantona mendarat di Leeds United. The Peacocks —julukan Leeds—pun dia lontarkan ke langit juara. (Hanna)
Dalam beberapa tahun terakhir, pria berpaspor Prancis tersebut menyalurkan bakat seninya dengan mendesain jam tangan mewah asal Swiss, Hautlence. Sosok Cantona mudah dikenali.
Senyum ramahnya menyapa KORAN SINDO , dalam wawancara menjelang peluncuran Hautlence HL Vagabonde Tourbillon terbaru di Jakarta, beberapa waktu lalu. Hautlence, jam tangan asal Swiss, mendapuk Cantona sebagai brand partner sejak beberapa tahun lalu.
Hautlence mulai mewarnai dunia jam tangan mewah pada 2004. Nama Hautlence merupakan anagram dari Neuchatel, suatu kota di Swiss, yang merupakan tempat lahir seni jam tangan. Jam tangan Hautlence selalu jadi buruan kolektor.
Dalam setahun Hautlence memproduksi sekitar 200 jam tangan saja. Karya Hautlence sangat eksklusif dan beberapa jenisnya hanya terdesain dalam jumlah terbatas, termasuk kolaborasi dengan Cantona.
Bahkan, jam tangan yang turut didesain oleh Cantona ini hanya diproduksi 10 piece. Satu di antaranya dipasarkan di Indonesia. “Waktu adalah faktor utama yang mengikat kita sehingga hal tersebut merupakan ide dasar pembuatan arloji ini. Jam tangan ini bertujuan menggambarkan bahwa kita sebenarnya dikurung waktu namun jiwa kita tetap bebas,” tutur Cantona di Jakarta.
Pemilik Hautlence, Bertrand Meylan, menilai Indonesia merupakan pasar menarik. “Kami sangat excited berada di sini (Jakarta, Indonesia) untuk meluncurkan HL Vagabonde Tourbillon yang dibuat terbatas, hanya 10 piece. Dan, kehadiran Eric Cantona di sini sangat menguntungkan untuk brand dan telah membantu visibilitas (brand),” ujar Meylan.
HL Vagabonde Tourbillon terbaru sungguh menawan, dengan warna biru tua dipadu 5N red gold menghadirkan kombinasi yang teramat cantik. Jam tangan istimewa ini merupakan perpaduan unik antara keindahan dan teknik luar biasa sehingga menghasilkan produk yang menunjukkan teknologi transformasi dari jam tangan.
Cantona juga memberikan sentuhan seninya untuk produk Hautlence sebelumnya, Hautlence Vortex Primary. Jam tangan menawan ini juga dijual terbatas.
Setelah meninggalkan lapangan hijau, dalam usia cukup muda, yakni 30 tahun pada 1997, Cantona lebih memilih berkecimpung di dunia seni, termasuk akting.
Sejumlah film dia bintangi dan juga produseri. Pria yang identik dengan nomor punggung tujuh ini masih sangat dicintai di Old Trafford. Dia bersaing ketat dengan George Best, David Beckham, bahkan Cristiano Ronaldo memperebutkan pemilik nomor punggung tujuh tersakti di The Red Devils —julukan MU. Pencinta sepak bola akan selalu mengenang Cantona tidak hanya karena prestasinya, juga karena sosoknya yang unik. Selama lima tahun (1992-1997), Old Trafford menjadi rumah Cantona.
Saat diboyong ke MU pada musim 1992/1993, The Red Devils tengah terpuruk. Mereka bahkan tertinggal dari Aston Villa dan Blackburn Rovers dalam perebutan gelar Liga Primer musim sebelumnya.
Tak heran bila pemilik nama lengkap Eric Daniel Pierre Cantona itu disebut sebagai kepingan terakhir nakhoda MU Sir Alex Ferguson. Puzzle bernama Cantona itu melengkapi dan meluruskan apa yang diidamkan pencinta The Red Devils.
Pada musim pertamanya, Cantona mempersembahkan mahkota Liga Primer, atau gelar pertama MU sejak 1967. Setelah mengantarkan MU ke gerbang juara, Cantona mencatatkan dirinya sebagai satu-satunya pemain yang merasakan manisnya mahkota liga tiga tahun secara beruntun bersama tiga klub berbeda.
Sebelum MU, pada 1991, dia mempersembahkan Liga Prancis untuk Marseille. Lalu, setahun berselang Cantona mendarat di Leeds United. The Peacocks —julukan Leeds—pun dia lontarkan ke langit juara. (Hanna)
(nfl)