Djarum Hentikan Audisi Bulutangkis, DPR Minta Negara Ambil Alih Atlet Muda
A
A
A
JAKARTA - Polemik PB Djarum dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengundang perhatian dari berbagai pihak. Kali ini datang dari Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf.
Dede Yusuf mengatakan jika bulu tangkis dianggap sebagai olahraga andalan yang bisa mengangkat citra bangsa di kancah internasional, maka pemerintah seharusnya jangan hanya menggantungkan pembinaan bulu tangkis dari Djarum saja. Dikatakannya, jangan semuanya dilepas ke swasta.
"Cari dong, banyak sponsor lain yang bisa melakukan hal tersebut. Jangan juga semuanya dilepas ke swasta. Negara tetap perlu ada intervensinya. Kalau memang bulu tangkis dianggap sebagai andalan kita maka pemerintah harus memerintahkan apa saja, misalnya Pertamina, PT Antam, Mandiri, banyak BUMN lainnya, hai bina dong. Jadi jangan mengandalkan seolah-olah hanya Djarum saja yang bisa membina perbulu tangkisan kita, tidak," tutur politikus Partai Demokrat ini, Senin (9/9/2019).
Lebih jauh, Dede Yusuf menambahkan seharusnya dalam hal pembinaan atlet muda, pemerintah juga harus memperhatikan cabang olahraga lainnya, misalnya pembinaan atlet sepak bola dan lainnya. "Di China itu setahu saya, wushu, olahraga lainnya itu dibina oleh pemerintah. Jadi poin utamanya adalah kita mengawal jangan sampai produk rokok masuk ke segmen anak-anak, tapi cari produk lain yang lebih layak," urainya.
"Jadi simpel saja, hitung saja biaya pembinaan anak-anaknya berapa? Ini kan pembinaan anak-anak, berapa sih habisnya? 10, 20, atau 40 miliar per tahun? Simpel kalau buat pemerintah, kalau buat BUMN," katanya.
Dede Yusuf mengatakan, pihaknya tidak mau masuk terhadap polemik PB Djarum dengan KPAI karena nanti seolah-olah hanya Djarum yang memerhatikan kemajuan bulu tangkis. "Kan mestinya negara yang memperhatikan kalau dianggap bulutangkis itu adalah pencitraaan negara di dunia internasional," urainya.
Sebagai pembuat undang-undang, kata Dede Yusuf, DPR juga perlu memerhatikan generasi muda terhadap bahaya rokok jika masuk ke dalam generasi muda sehingga perlu ada batasan-batasan. "Prinsipnya sih begini. Pembinaan boleh saja terutama olahraga. Tetapi rokok ini punya aturan sendiri, tertma di Undang-Undang Anak, Undang-Undang Kesehatan untuk generasi di bawah 17 tahun, disebutnya anak-anak itu sebaiknya tidak ada sangkut-paut apapun dalam kegiatan yang berkaitan dengan rokok," katanya.
Karena itu, menurutnya, jika Djarum menghendaki melakukan audisi atlet bulu tangkis, sebaiknya tidak dilakukan oleh Djarum ketika masih usia anak-anak. "Nanti kalau mereka sudah dewasa, kemudian mau perkembangan di bidang olahraga ya dipikirkan kembali. Tapi kalau dalam konteks anak-anak, saya setuju dengan KPAI dalam konteks ini sebaiknya tidak melibatkan anak- anak. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang rokok, sebaiknya tidak menyentuh domain anak-anak," katanya.
Alasan prestasi, kata Dede Yusuf, tidak bisa dijadikan sebagai excuse untuk masuk ke segmen anak-anak. "Artinya tidak menggunakan produk Djarum. Bisa menggunakan berbentuk yayasan pendidikan apa gitu, tapi tidak ada produk Djarumnya," katanya.
Sebab, menurut Dede Yusuf, di dalam perusahaan itu ada yang namanya pencitraan, ada juga yang namanya membentuk komunitas baru. "Nah kalau pencitraan biasanya bisa menggunakan nama apa saja, tetapi kalau membentuk komunitas baru agar produk tersebut diterima dalam komunitas itu, nah ini yang menjadi concern, terutama bagi orangtua," paparnya.
Selama ini, perhatian pemerintah dalam pembinaan atlet dipertanyakan. Di bidang sepak bola, misalnya, kebanyakan atlet muncul dari berbagai persatuan sepak bolah (PS) dan juga klub-klub bola. "Jadi pertanyaannya dimana peran pemerintah? Posisi negara dimana dalam pembinaan. Itu kan bisa dilakukan perusahaan-perushaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Kita misalnya bicara BRI, itu kan tersebar di seluruh Indonesia. Jadi paling sedikit di tiap kebupaten. Silakan dong diberikan program CSR-nya bisa diarahkan ke arah olahraga berprestasi. Bagus juga supaya bisa mengurangi masalah penyakit kesehatan karena banyak anak mudanya yang sudah sehat," paparnya.
Dikatakan Dede Yusuf, poin utamanya dalam konteks ini adalah jangan sampai produk rokok dijual di dekat anak-anak atau di sekolah-sekolah, dan anak-anak tidak terlibat dalam produk rokok. “Karena perokok anak-anak ini makin lama makin tinggi. Makin besar jumlahnya. Jadi kalau misalnya Djarum merapatkan pada satu generasi di bawah usia dewasa, ini mereka perlu disikapi. Kecuali dia sifatnya beasiswa biasa yang membiayai dan ada yayasannya. Tapi ini kan pembinaan olahraga, ya harus sehat. Kalau bisa ya yang membiayai itu minuman kesehatan lah,” katanya.
"Yang saya khawatirkan ketika namanya kan sudah binaan dari Djarum ya paling tidak anak-anak itu berterima kasih kepada Djarum. UU Anak, UU Kesehatan itu juga harus diperhatikan. Kita berterima kasih kepada PB Djarum yang sudah memberikan pembinaan, tapi levelnya tetap anak-anak perlu kita jaga. Perannya diganti negara silakan masuk dong pada level tersebut, BUMN kan banyak," imbuhnya.
Dede Yusuf mengatakan jika bulu tangkis dianggap sebagai olahraga andalan yang bisa mengangkat citra bangsa di kancah internasional, maka pemerintah seharusnya jangan hanya menggantungkan pembinaan bulu tangkis dari Djarum saja. Dikatakannya, jangan semuanya dilepas ke swasta.
"Cari dong, banyak sponsor lain yang bisa melakukan hal tersebut. Jangan juga semuanya dilepas ke swasta. Negara tetap perlu ada intervensinya. Kalau memang bulu tangkis dianggap sebagai andalan kita maka pemerintah harus memerintahkan apa saja, misalnya Pertamina, PT Antam, Mandiri, banyak BUMN lainnya, hai bina dong. Jadi jangan mengandalkan seolah-olah hanya Djarum saja yang bisa membina perbulu tangkisan kita, tidak," tutur politikus Partai Demokrat ini, Senin (9/9/2019).
Lebih jauh, Dede Yusuf menambahkan seharusnya dalam hal pembinaan atlet muda, pemerintah juga harus memperhatikan cabang olahraga lainnya, misalnya pembinaan atlet sepak bola dan lainnya. "Di China itu setahu saya, wushu, olahraga lainnya itu dibina oleh pemerintah. Jadi poin utamanya adalah kita mengawal jangan sampai produk rokok masuk ke segmen anak-anak, tapi cari produk lain yang lebih layak," urainya.
"Jadi simpel saja, hitung saja biaya pembinaan anak-anaknya berapa? Ini kan pembinaan anak-anak, berapa sih habisnya? 10, 20, atau 40 miliar per tahun? Simpel kalau buat pemerintah, kalau buat BUMN," katanya.
Dede Yusuf mengatakan, pihaknya tidak mau masuk terhadap polemik PB Djarum dengan KPAI karena nanti seolah-olah hanya Djarum yang memerhatikan kemajuan bulu tangkis. "Kan mestinya negara yang memperhatikan kalau dianggap bulutangkis itu adalah pencitraaan negara di dunia internasional," urainya.
Sebagai pembuat undang-undang, kata Dede Yusuf, DPR juga perlu memerhatikan generasi muda terhadap bahaya rokok jika masuk ke dalam generasi muda sehingga perlu ada batasan-batasan. "Prinsipnya sih begini. Pembinaan boleh saja terutama olahraga. Tetapi rokok ini punya aturan sendiri, tertma di Undang-Undang Anak, Undang-Undang Kesehatan untuk generasi di bawah 17 tahun, disebutnya anak-anak itu sebaiknya tidak ada sangkut-paut apapun dalam kegiatan yang berkaitan dengan rokok," katanya.
Karena itu, menurutnya, jika Djarum menghendaki melakukan audisi atlet bulu tangkis, sebaiknya tidak dilakukan oleh Djarum ketika masih usia anak-anak. "Nanti kalau mereka sudah dewasa, kemudian mau perkembangan di bidang olahraga ya dipikirkan kembali. Tapi kalau dalam konteks anak-anak, saya setuju dengan KPAI dalam konteks ini sebaiknya tidak melibatkan anak- anak. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang rokok, sebaiknya tidak menyentuh domain anak-anak," katanya.
Alasan prestasi, kata Dede Yusuf, tidak bisa dijadikan sebagai excuse untuk masuk ke segmen anak-anak. "Artinya tidak menggunakan produk Djarum. Bisa menggunakan berbentuk yayasan pendidikan apa gitu, tapi tidak ada produk Djarumnya," katanya.
Sebab, menurut Dede Yusuf, di dalam perusahaan itu ada yang namanya pencitraan, ada juga yang namanya membentuk komunitas baru. "Nah kalau pencitraan biasanya bisa menggunakan nama apa saja, tetapi kalau membentuk komunitas baru agar produk tersebut diterima dalam komunitas itu, nah ini yang menjadi concern, terutama bagi orangtua," paparnya.
Selama ini, perhatian pemerintah dalam pembinaan atlet dipertanyakan. Di bidang sepak bola, misalnya, kebanyakan atlet muncul dari berbagai persatuan sepak bolah (PS) dan juga klub-klub bola. "Jadi pertanyaannya dimana peran pemerintah? Posisi negara dimana dalam pembinaan. Itu kan bisa dilakukan perusahaan-perushaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Kita misalnya bicara BRI, itu kan tersebar di seluruh Indonesia. Jadi paling sedikit di tiap kebupaten. Silakan dong diberikan program CSR-nya bisa diarahkan ke arah olahraga berprestasi. Bagus juga supaya bisa mengurangi masalah penyakit kesehatan karena banyak anak mudanya yang sudah sehat," paparnya.
Dikatakan Dede Yusuf, poin utamanya dalam konteks ini adalah jangan sampai produk rokok dijual di dekat anak-anak atau di sekolah-sekolah, dan anak-anak tidak terlibat dalam produk rokok. “Karena perokok anak-anak ini makin lama makin tinggi. Makin besar jumlahnya. Jadi kalau misalnya Djarum merapatkan pada satu generasi di bawah usia dewasa, ini mereka perlu disikapi. Kecuali dia sifatnya beasiswa biasa yang membiayai dan ada yayasannya. Tapi ini kan pembinaan olahraga, ya harus sehat. Kalau bisa ya yang membiayai itu minuman kesehatan lah,” katanya.
"Yang saya khawatirkan ketika namanya kan sudah binaan dari Djarum ya paling tidak anak-anak itu berterima kasih kepada Djarum. UU Anak, UU Kesehatan itu juga harus diperhatikan. Kita berterima kasih kepada PB Djarum yang sudah memberikan pembinaan, tapi levelnya tetap anak-anak perlu kita jaga. Perannya diganti negara silakan masuk dong pada level tersebut, BUMN kan banyak," imbuhnya.
(sha)