Sepak Bola pencabut nyawa
A
A
A
SEPAK BOLA seharusnya bisa menjadi alat pemersatu. Rivalitas dua klub yang bertanding secara harfiah hanya terjadi di lapangan. Namun, seringkali fanatisme berlebihan membuat sepak bola memiliki sisi gelap yang menakutkan.
Kematian suporter sepak bola terjadi di berbagai belahan dunia. Tak mengenal batas wilayah dan waktu. Terjadi di Italia, Jepang, Mesir, Ghana bahkan Indonesia dan suporter yang menjadi korban daftarnya terus bertambah panjang serta merembet sampai Anda membaca tulisan ini sekarang.
Di Indonesia kekerasan dalam sepak bola bukan barang langka. Tawuran antar pemain, wasit yang menjadi bulan-bulanan pemain atau suporter, serta huru-hara dan bentrok antar suporter cukup sering terjadi di kompetisi dalam negeri.
Belakangan waktu 90 menit pertandingan bisa berujung maut. Seperti yang terjadi seusai laga Persija Jakarta kontra Persib Bandung di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Minggu (27/5) lalu. Tiga orang suporter dilaporkan meninggal, lainnya mengalami luka berat. Bahkan para jurnalis yang tak ada sangkut pautnya dengan rivalitas dua suporter yang berseteru ikut menjadi korban.
Perseteruan suporter Persija dan Persib, hanya bagian kecil dari masalah hooliganisme di Indonesia. Setiap kelompok suporter di Indonesia, seringkali memiliki musuh besar yang di saat bentrok seringkali melupakan sisi kemanusiaan yang dimiliki sepak bola.
Di berbagai sudut daerah di Negeri ini, suporter sepak bola kerap bertindak liar. Mereka saling membenci hanya karena klub yang dibelanya berbeda. Mereka lebih suka memelihara dendam dan menjadikan nyawa manusia tak berharga. Malaikat pencabut nyawa seringkali hadir di lapangan hijau, beda atribut maka taruhannya adalah nyawa. Atas nama kebanggaan dan gengsi ‘hitam’, para suporter rela beradu nyawa.
Lebih miris lagi, permasalahan suporter di Indonesia seperti dibiarkan dan dipelihara pihak-pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung, bahkan demi kepentingan pribadi. Mereka yang lebih suka untuk memelihara permusuhan, memilih untuk bersikap mencibir saat upaya perdamaian didengungkan.
Para elite pengurus dan pengelola kompetisi di Tanah Air lebih suka bergumul dengan konflik antar kelompok demi memperebutkan kekuasaan di tubuh PSSI. Mereka seolah melupakan banyak persoalaan yang terjadi di sepak bola Indonesia, termasuk masalah suporter.
''Sepak bola seharusnya bisa mempersatukan bukan memecah belah dan menimbulkan masalah,” ucap Ketua Viking Persib Club, Heru Joko.
Kematian suporter sepak bola terjadi di berbagai belahan dunia. Tak mengenal batas wilayah dan waktu. Terjadi di Italia, Jepang, Mesir, Ghana bahkan Indonesia dan suporter yang menjadi korban daftarnya terus bertambah panjang serta merembet sampai Anda membaca tulisan ini sekarang.
Di Indonesia kekerasan dalam sepak bola bukan barang langka. Tawuran antar pemain, wasit yang menjadi bulan-bulanan pemain atau suporter, serta huru-hara dan bentrok antar suporter cukup sering terjadi di kompetisi dalam negeri.
Belakangan waktu 90 menit pertandingan bisa berujung maut. Seperti yang terjadi seusai laga Persija Jakarta kontra Persib Bandung di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Minggu (27/5) lalu. Tiga orang suporter dilaporkan meninggal, lainnya mengalami luka berat. Bahkan para jurnalis yang tak ada sangkut pautnya dengan rivalitas dua suporter yang berseteru ikut menjadi korban.
Perseteruan suporter Persija dan Persib, hanya bagian kecil dari masalah hooliganisme di Indonesia. Setiap kelompok suporter di Indonesia, seringkali memiliki musuh besar yang di saat bentrok seringkali melupakan sisi kemanusiaan yang dimiliki sepak bola.
Di berbagai sudut daerah di Negeri ini, suporter sepak bola kerap bertindak liar. Mereka saling membenci hanya karena klub yang dibelanya berbeda. Mereka lebih suka memelihara dendam dan menjadikan nyawa manusia tak berharga. Malaikat pencabut nyawa seringkali hadir di lapangan hijau, beda atribut maka taruhannya adalah nyawa. Atas nama kebanggaan dan gengsi ‘hitam’, para suporter rela beradu nyawa.
Lebih miris lagi, permasalahan suporter di Indonesia seperti dibiarkan dan dipelihara pihak-pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung, bahkan demi kepentingan pribadi. Mereka yang lebih suka untuk memelihara permusuhan, memilih untuk bersikap mencibir saat upaya perdamaian didengungkan.
Para elite pengurus dan pengelola kompetisi di Tanah Air lebih suka bergumul dengan konflik antar kelompok demi memperebutkan kekuasaan di tubuh PSSI. Mereka seolah melupakan banyak persoalaan yang terjadi di sepak bola Indonesia, termasuk masalah suporter.
''Sepak bola seharusnya bisa mempersatukan bukan memecah belah dan menimbulkan masalah,” ucap Ketua Viking Persib Club, Heru Joko.
()