Macan Putih angkat tangan
A
A
A
Sindonews.com - Persik Kediri menatap kompetisi Divisi Utama musim depan dengan sangat pesimistis. Persoalan dana menjadi persoalan serius yang membuat manajemen klub kebanggaan Kota Tahu tidak tahu bagaimana melakukan pengelolaan secara memadai.
Tidak mempunyai modal untuk musim depan, Persik juga masih mempunyai tanggungan gaji pemain musim sebelumnya. Tanpa sponsor yang memberikan dana segar, klub berjuluk Macan Putih sudah menyatakan angkat tangan.
Pengalaman musim lalu membuat Persik tidak yakin bisa mengikuti kompetisi profesional walau berada di level kedua. Konsorsium hanya mengucurkan dana sekira Rp1 miliar di awal musim, setelah itu macet dan semua ditanggung manajemen.
“Idealnya di kompetisi Divisi Utama paling tidak ada dana Rp5-6 miliar. Itu pun sudah sangat minim dan ngirit. Namun musim lalu dana dari konsorsium tidak memadai, sehingga manajemen harus menalangi dan sampai sekarang belum digaji,” ucap Barnadi, Ketua Panpel Persik Kediri.
Manajer Persik Kediri Sunardi menjadi ‘korban’ macetnya dana dari konsorsium. Diperkirakan dia telah mengeluarkan milyaran rupiah untuk menanggung operasional klub selama kondorsium tidak mencairkan dana untuk Persik.
Malah informasi yang beredar menyebutkan Sunardi sudah kapok dan tidak tertarik untuk menjadi manajer musim depan. Bos bibit pertanian itu tidak hanya menalangi pembiayaan klub, tapi juga menjadi sasaran saat gaji pemain terlambat dibayar.
“Sampai sekarang belum ada keputusan apakah konsorsium akan menyiapkan dana cukup untuk musim depan. Kalau seperti musim kemarin, kayaknya Persik lebih pantas bertanding di kompetisi amatir. Persik tak bisa apa-apa dengan sistem seperti itu,” lanjut Barnadi.
Setelah awal musim lalu mewrger dengan Minangkabau FC, saham Persik dikuasai Konsorsium LPI dan terjalin kontrak selama tiga musim ke depan. Jika konsorsium tidak bisa membiayai klub, maka kontrak tersebut menurut Barnadi bisa berakhir lebih cepat.
Sedangkan jika terlepas dari cengkeraman konsorsium juga tidak lantas memunculkan solusi. Sebab Persik dalam beberapa musim terakhir terbukti tidak mampu mencari sponsor besar yang bersedia menopang pendadaan di kompetisi.
Setelah dilarangnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk klub profesional, Persik tak mempunyai sumber dana pasti. “Ya solusinya ke liga amatir atau turun level. Karena masih tetap mendapatkan bantuan dari pemerintah,” tandas Barnadi.
Terdengar kejam, namun begitulah nasib Persik. Tentunya berlaga di kompetisi amatir juga menjadi aib besar bagi mantan juara kompetisi pada 2003 dan 2006 tersebut. Apalagi Persik selalu gagal kembali ke kompetisi tertinggi setelah tiga musim mendekam di Divisi Utama.
Tidak mempunyai modal untuk musim depan, Persik juga masih mempunyai tanggungan gaji pemain musim sebelumnya. Tanpa sponsor yang memberikan dana segar, klub berjuluk Macan Putih sudah menyatakan angkat tangan.
Pengalaman musim lalu membuat Persik tidak yakin bisa mengikuti kompetisi profesional walau berada di level kedua. Konsorsium hanya mengucurkan dana sekira Rp1 miliar di awal musim, setelah itu macet dan semua ditanggung manajemen.
“Idealnya di kompetisi Divisi Utama paling tidak ada dana Rp5-6 miliar. Itu pun sudah sangat minim dan ngirit. Namun musim lalu dana dari konsorsium tidak memadai, sehingga manajemen harus menalangi dan sampai sekarang belum digaji,” ucap Barnadi, Ketua Panpel Persik Kediri.
Manajer Persik Kediri Sunardi menjadi ‘korban’ macetnya dana dari konsorsium. Diperkirakan dia telah mengeluarkan milyaran rupiah untuk menanggung operasional klub selama kondorsium tidak mencairkan dana untuk Persik.
Malah informasi yang beredar menyebutkan Sunardi sudah kapok dan tidak tertarik untuk menjadi manajer musim depan. Bos bibit pertanian itu tidak hanya menalangi pembiayaan klub, tapi juga menjadi sasaran saat gaji pemain terlambat dibayar.
“Sampai sekarang belum ada keputusan apakah konsorsium akan menyiapkan dana cukup untuk musim depan. Kalau seperti musim kemarin, kayaknya Persik lebih pantas bertanding di kompetisi amatir. Persik tak bisa apa-apa dengan sistem seperti itu,” lanjut Barnadi.
Setelah awal musim lalu mewrger dengan Minangkabau FC, saham Persik dikuasai Konsorsium LPI dan terjalin kontrak selama tiga musim ke depan. Jika konsorsium tidak bisa membiayai klub, maka kontrak tersebut menurut Barnadi bisa berakhir lebih cepat.
Sedangkan jika terlepas dari cengkeraman konsorsium juga tidak lantas memunculkan solusi. Sebab Persik dalam beberapa musim terakhir terbukti tidak mampu mencari sponsor besar yang bersedia menopang pendadaan di kompetisi.
Setelah dilarangnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk klub profesional, Persik tak mempunyai sumber dana pasti. “Ya solusinya ke liga amatir atau turun level. Karena masih tetap mendapatkan bantuan dari pemerintah,” tandas Barnadi.
Terdengar kejam, namun begitulah nasib Persik. Tentunya berlaga di kompetisi amatir juga menjadi aib besar bagi mantan juara kompetisi pada 2003 dan 2006 tersebut. Apalagi Persik selalu gagal kembali ke kompetisi tertinggi setelah tiga musim mendekam di Divisi Utama.
(wbs)