Sepak Bola Indonesia; 'Surga' Yang Jadi 'Neraka'
A
A
A
Sindonews.com - Hanya dalam sepekan, sepak bola Indonesia dihantam duka ganda. Setelah tim nasional (timnas) Indonesia tersingkir dari ajang Piala AFF 2012, sepak bola diterpa kabar yang membuat miris. Apalagi kalau bukan meninggalnya Diego Mendieta, penyerang Persis Solo karena sakit.
Dua peristiwa itu seakan menjadi peringatan keras terhadap otoritas sepak bola Indonesia. Secara langsung atau tidak, dua peristiwa itu diotaki kondisi sepak bola yang dipenuhi sengketa. Karut- marutnya sepak bola nasional-lah yang membuat dua peristiwa itu harus terjadi.
Kala petinggi PSSI dan KPSI saling tegang dan menganggap masing-masing paling benar, justru di luar sana kebenaran berbicara. Apa yang dialami Diego Mendieta menjadi salah satu sisi kelam sekaligus bukti profesionalitas sepak bola Indonesia. Tidak sedikit pemain asing yang menjalani kehidupan seperti dia.
''Saya jadi ingat belasan tahun lalu, ketika Indonesia mulai memberlakukan adanya pemain asing. Tujuannya logis, untuk merangsang pesepak bola lokal agar lebih kompetitif. Pada awalnya Indonesia menjadi surga bagi pemain asing yang 'tidak terpakai' di negaranya.''
Walau yang datang ke Indonesia adalah pemain asing kelas dua dan seterusnya, paling tidak sepak bola kita bisa menjadi solusi alternatif bagi mereka untuk mencari nafkah. Kendati ada banyak keterlambatan gaji, minimal tidak sampai hidup melarat tanpa uang sepeser pun. Indonesia kala itu surga' baru bagi pesepak bola impor.
Tapi yang terjadi sekarang sebaliknya. Pesepakbola dari negara lain sampai meregang nyawa untuk sekadar bertahan hidup. Kesombongan klub-klub yang berlagak memiliki dana untuk kompetisi, menjadikan pemain tak ubahnya hewan ternak. Masih lebih beruntung ternak, karena masih diberi makan.
Klub yang seharusnya pantas berstatus tim amatir dengan pongahnya berbicara profesionalisme. Itu juga hasil kreasi dari otoritas sepak bola Indonesia yang dengan rakus menguasai klub-klub untuk dimasukkan ke liga masing-masing. Kemudian mereka lepas tangan ketika pemain tidak gajian, bahkan setelah pemain mati sekali pun.
Sepak bola Indonesia sekarang menjadi 'neraka' bagi pemain asing. Jangan melihat pemain seperti Aldo Baretto yang dikontrak Rp1,1 miliar. Di klub-klub Divisi Utama dan di bawahnya, malah ada pemain asing yang dibayar puluhan juta saja untuk semusim kompetisi.
Uang yang diterima pun tidak utuh. Masih harus dikurangi untuk pengurusan dokumen (KITAS, Visa dll), agen, atau potongan-potongan lain. Sudah begitu, klub tidak menggaji mereka dalam beberapa bulan. Dari situ bisa dibayangkan bagaimana mereka menghidupi keluarga di kampung halaman, sedangkan untuk menghidupi diri sendiri saja sudah susah.
Plus, mereka tidak mempunyai jaminan kesehatan untuk berobat ketika mereka sakit. Ngeri! Coba pikir juga bagaimana pemain dari negara dengan kurs mata uang yang lebih tinggi, seperti Jepang. Jelas uang yang diperoleh dari Indonesia tidak seberapa jika dibawa pulang ke negaranya,
Pembaca mungkin masih ingat kala sejumlah pemain asing Persipro Bondowoso United mengemis di jalanan beberapa bulan lalu. Kematian Diego Mendieta merupakan klimaks dari apa yang menimpa pemain asing selama ini. Mereka mencari uang receh yang terkadang tidak dibayarkan.
Melihat fakta itu, sangat wajar jika pemain seperti Diego Mendieta bahkan tidak memiliki uang untuk biaya rumah sakit. Sangat ironis, ketika kita menuntut pekerja Indonesia hidup enak di tanah orang, sementara orang yang bekerja di sini mati kelaparan.
Penyakit mungkin bisa diderita siapa saja. Namun tak bisa dimungkiri penyakit para pesepakbola itu karena didahului faktor psikologis. Beban mental karena harus menjadi tumpuan nafkah untuk keluarga, menghidupi diri sendiri, sekaligus dihantui ruwetnya sepak bola Indonesia.
Memang, tidak ada yang memaksa mereka datang ke sini. Persoalan bukan atas kehendak siapa mereka datang, tapi apa yang mereka alami setelah sampai di Indonesia. Situasi sepak bola yang diciptakan pion-pion Panigoro dan Bakrie, PSSI dan KPSI, sudah sangat keterlaluan. Semoga kepergianmu tidak sia-sia, Mendieta!
Dua peristiwa itu seakan menjadi peringatan keras terhadap otoritas sepak bola Indonesia. Secara langsung atau tidak, dua peristiwa itu diotaki kondisi sepak bola yang dipenuhi sengketa. Karut- marutnya sepak bola nasional-lah yang membuat dua peristiwa itu harus terjadi.
Kala petinggi PSSI dan KPSI saling tegang dan menganggap masing-masing paling benar, justru di luar sana kebenaran berbicara. Apa yang dialami Diego Mendieta menjadi salah satu sisi kelam sekaligus bukti profesionalitas sepak bola Indonesia. Tidak sedikit pemain asing yang menjalani kehidupan seperti dia.
''Saya jadi ingat belasan tahun lalu, ketika Indonesia mulai memberlakukan adanya pemain asing. Tujuannya logis, untuk merangsang pesepak bola lokal agar lebih kompetitif. Pada awalnya Indonesia menjadi surga bagi pemain asing yang 'tidak terpakai' di negaranya.''
Walau yang datang ke Indonesia adalah pemain asing kelas dua dan seterusnya, paling tidak sepak bola kita bisa menjadi solusi alternatif bagi mereka untuk mencari nafkah. Kendati ada banyak keterlambatan gaji, minimal tidak sampai hidup melarat tanpa uang sepeser pun. Indonesia kala itu surga' baru bagi pesepak bola impor.
Tapi yang terjadi sekarang sebaliknya. Pesepakbola dari negara lain sampai meregang nyawa untuk sekadar bertahan hidup. Kesombongan klub-klub yang berlagak memiliki dana untuk kompetisi, menjadikan pemain tak ubahnya hewan ternak. Masih lebih beruntung ternak, karena masih diberi makan.
Klub yang seharusnya pantas berstatus tim amatir dengan pongahnya berbicara profesionalisme. Itu juga hasil kreasi dari otoritas sepak bola Indonesia yang dengan rakus menguasai klub-klub untuk dimasukkan ke liga masing-masing. Kemudian mereka lepas tangan ketika pemain tidak gajian, bahkan setelah pemain mati sekali pun.
Sepak bola Indonesia sekarang menjadi 'neraka' bagi pemain asing. Jangan melihat pemain seperti Aldo Baretto yang dikontrak Rp1,1 miliar. Di klub-klub Divisi Utama dan di bawahnya, malah ada pemain asing yang dibayar puluhan juta saja untuk semusim kompetisi.
Uang yang diterima pun tidak utuh. Masih harus dikurangi untuk pengurusan dokumen (KITAS, Visa dll), agen, atau potongan-potongan lain. Sudah begitu, klub tidak menggaji mereka dalam beberapa bulan. Dari situ bisa dibayangkan bagaimana mereka menghidupi keluarga di kampung halaman, sedangkan untuk menghidupi diri sendiri saja sudah susah.
Plus, mereka tidak mempunyai jaminan kesehatan untuk berobat ketika mereka sakit. Ngeri! Coba pikir juga bagaimana pemain dari negara dengan kurs mata uang yang lebih tinggi, seperti Jepang. Jelas uang yang diperoleh dari Indonesia tidak seberapa jika dibawa pulang ke negaranya,
Pembaca mungkin masih ingat kala sejumlah pemain asing Persipro Bondowoso United mengemis di jalanan beberapa bulan lalu. Kematian Diego Mendieta merupakan klimaks dari apa yang menimpa pemain asing selama ini. Mereka mencari uang receh yang terkadang tidak dibayarkan.
Melihat fakta itu, sangat wajar jika pemain seperti Diego Mendieta bahkan tidak memiliki uang untuk biaya rumah sakit. Sangat ironis, ketika kita menuntut pekerja Indonesia hidup enak di tanah orang, sementara orang yang bekerja di sini mati kelaparan.
Penyakit mungkin bisa diderita siapa saja. Namun tak bisa dimungkiri penyakit para pesepakbola itu karena didahului faktor psikologis. Beban mental karena harus menjadi tumpuan nafkah untuk keluarga, menghidupi diri sendiri, sekaligus dihantui ruwetnya sepak bola Indonesia.
Memang, tidak ada yang memaksa mereka datang ke sini. Persoalan bukan atas kehendak siapa mereka datang, tapi apa yang mereka alami setelah sampai di Indonesia. Situasi sepak bola yang diciptakan pion-pion Panigoro dan Bakrie, PSSI dan KPSI, sudah sangat keterlaluan. Semoga kepergianmu tidak sia-sia, Mendieta!
(aww)