Inilah klub dengan kondisi keuangan meragukan
A
A
A
Sindonews.com - Kemampuan finansial klub menjadi sorotan tajam setelah peristiwa meninggalnya Diego Mendieta. Wacana bahwa klub harus siap secara finansial sebelum mengikuti liga mulai lantang disuarakan, salah satunya diserukan Asosiasi Pemain Sepak Bola Profesional Indonesia (APPI).
General Manajer APPI Valentino Simanjuntak menyatakan setuju jika ada peninjauan kembali liga di Indonesia. Tujuannya untuk melindungi pemain dari ketidakprofesionalan klub dalam memberikan haknya. Dia menginginkan kontrol keuangan jauh lebih ketat.
''Tanpa kesiapan finansial, mustahil klub-klub bisa memberikan jaminan kepada pemain. Jadi klub harus memadai dari sisi keuangan sebelum ikut kompetisi,” ujar Valentino.
Polemik seputar finansial klub secara langsung mengarah ke Jawa Timur, sebagai penyumbang klub terbanyak di liga. Krisis keuangan sejak pertengahan musim lalu juga dirasakan banyak klub di Jawa Timur, baik di level satu maupun kasta kedua. Ironisnya, hingga sekarang mayoritas klub di Jawa Timur belum memperbaiki aspek keuangan, padahal musim baru sudah di depan mata.
Pemain-pemain direkrut tanpa langsung disodori klausul kontrak. Tak heran jika banyak pemain sudah berlatih tapi belum ada ikatan resmi dengan klubnya. Hingga naskah ini ditulis, klub yang sudah memiliki modal memadai untuk kompetisi bisa dihitung dengan jari.
Sebagian besar malah masih meragukan untuk bisa membiayai kompetisi untuk semusim ke depan. Penyebabnya beragam, ada yang kesulitan mendapatkan sponsor, hingga kurang memadainya dana dari konsorsium untuk klub Indonesian Premier League (IPL).
Informasi yang dirangkum, secara kasat mata hanya Arema FC versi Indonesia Super League (ISL), Arema IPL, serta Persegres Gresik yang memiliki pondasi keuangan memadai. Sedangkan klub lainnya masih meragukan, bahkan termasuk Persebaya Surabaya.
Di bawah ini adalah klub dengan keuangan yang meragukan dan masih dipertanyakan kesanggupannya memberikan jaminan kepada pemain hingga akhir musim:
Persibo Bojonegoro
Persibo Bojonegoro menjadi klub dengan masa depan tak menentu. Bakal bertarung di tiga kompetisi, IPL, Piala Indonesia dan AFC Cup, Laskar Angling Dharma hanya berbekal Rp5 miliar dari konsorsium.
Sungguh angka yang tak masuk akal untuk menghidupi tim sepanjang musim, walaupun klub ini bertekad mengoptimalkan pemain muda. Persibo hingga kini juga belum menemukan sponsor atau sumber dana memadai untuk menambah pemasukan klub.
Penjualan tiket penonton pun belum bisa dimaksimalkan. Tak heran jika kontrak pemain dan pelatih belum terpikirkan. Jika tidak ada perubahan signifikan, Persibo berpotensi mengulang krisis hebat musim lalu.
Persema Malang
Persema Malang memiliki prospek paling suram di antara klub Jawa Timur lainnya. Tidak adanya suporter membuat daya jual klub ini sangat rendah, bahkan tak menarik minat sponsor. Sudah begitu, Persema yang sahamnya dikuasai konsorsium juga bernasib sama dengan Persibo.
Dana yang diberikan konsorsium sangat kecil dibanding semasa masih menjadi milik Pemkot Malang dan menyusu APBD. Konsep memakai pemain muda dengan kontrak murah mungkin bisa lebih efisien. Tapi itu tetap tak menghapus fakta bahwa secara bisnis Persema tidak prospektif. Krisis finansial sangat berpotensi terulang lagi di Stadion Gajayana.
Persela Lamongan
Musim lalu Persela mengawali musim dengan menggandeng PT Minarak Lapindo Jaya sebagai sponsor utama. Dana sekira Rp5 miliar waktu itu menjadi modal Laskar Joko Tingkir mengawali ISL 2011-2012.
Walau mendapat bantuan dari Minarak, Persela tak bisa berkelit dari krisis di akhir musim. Kondisi itu belum berubah hingga sekarang. Malah hingga ISL sebulan lagi bergulir, belum ada sponsor kakap yang mengawal tim Biru Laut. Realita ini menjadikan kemapanan Persela masuk dalam kategori meragukan. Menarik ditunggu bagaimana klub yang musim lalu menembus empat besar ISL ini 'menyelamatkan diri'.
Persepam Madura United
Persepam Madura United (P-MU) menjadi klub teranyar di kompetisi ISL musim depan. Manajemen klub ini menyebut butuh dana sekitar Rp15 miliar untuk musim depan. Sayangnya, dana yang dibutuhkan belum tersedia semuanya alias masih menunggu pendapatan penjualan tiket laga home sekaligus mencari sponsor.
Minimnya pengalaman dalam pengelolaan sepakbola profesional bisa menjadi kendala tersendiri bagi P-MU. Praktis untuk musim depan belum bisa dibilang aman karena jelas tidak cukup hanya berbekal optimisme.
Klub-Klub Divisi Utama
Situasi paling miris tentu saja klub-klub Divisi Utama. Dihapuskannya APBD semusim silam membuat klub-klub Divisi Utama, baik di bawah PSSI maupun KPSI, bernasib mengenaskan. Mereka rata-rata datang dari kabupaten/kota kedua yang tidak memiliki potensi besar untuk menggali dana.
Klub seperti Persewangi Banyuwangi. Persipro Bondowoso United, Gresik United, Mojokerto Putra FC, Metro FC, PSBI Blitar, PSBK Kabupetan Blitar, Madiun Putra FC, atau bahkan Persik Kediri sebagai 'mantan' klub besar, tidak mampu mendulang dana dari sponsorship atau tiket.
Jika dana dari konsorsium atau pemegang saham klub tidak memadai, maka mereka hampir bisa dipastikan kembali terkapar musim depan. Semusim terakhir membuktikan level ini paling membahayakan jika bicara keuangan, walau sudah masuk kategori profesional.
General Manajer APPI Valentino Simanjuntak menyatakan setuju jika ada peninjauan kembali liga di Indonesia. Tujuannya untuk melindungi pemain dari ketidakprofesionalan klub dalam memberikan haknya. Dia menginginkan kontrol keuangan jauh lebih ketat.
''Tanpa kesiapan finansial, mustahil klub-klub bisa memberikan jaminan kepada pemain. Jadi klub harus memadai dari sisi keuangan sebelum ikut kompetisi,” ujar Valentino.
Polemik seputar finansial klub secara langsung mengarah ke Jawa Timur, sebagai penyumbang klub terbanyak di liga. Krisis keuangan sejak pertengahan musim lalu juga dirasakan banyak klub di Jawa Timur, baik di level satu maupun kasta kedua. Ironisnya, hingga sekarang mayoritas klub di Jawa Timur belum memperbaiki aspek keuangan, padahal musim baru sudah di depan mata.
Pemain-pemain direkrut tanpa langsung disodori klausul kontrak. Tak heran jika banyak pemain sudah berlatih tapi belum ada ikatan resmi dengan klubnya. Hingga naskah ini ditulis, klub yang sudah memiliki modal memadai untuk kompetisi bisa dihitung dengan jari.
Sebagian besar malah masih meragukan untuk bisa membiayai kompetisi untuk semusim ke depan. Penyebabnya beragam, ada yang kesulitan mendapatkan sponsor, hingga kurang memadainya dana dari konsorsium untuk klub Indonesian Premier League (IPL).
Informasi yang dirangkum, secara kasat mata hanya Arema FC versi Indonesia Super League (ISL), Arema IPL, serta Persegres Gresik yang memiliki pondasi keuangan memadai. Sedangkan klub lainnya masih meragukan, bahkan termasuk Persebaya Surabaya.
Di bawah ini adalah klub dengan keuangan yang meragukan dan masih dipertanyakan kesanggupannya memberikan jaminan kepada pemain hingga akhir musim:
Persibo Bojonegoro
Persibo Bojonegoro menjadi klub dengan masa depan tak menentu. Bakal bertarung di tiga kompetisi, IPL, Piala Indonesia dan AFC Cup, Laskar Angling Dharma hanya berbekal Rp5 miliar dari konsorsium.
Sungguh angka yang tak masuk akal untuk menghidupi tim sepanjang musim, walaupun klub ini bertekad mengoptimalkan pemain muda. Persibo hingga kini juga belum menemukan sponsor atau sumber dana memadai untuk menambah pemasukan klub.
Penjualan tiket penonton pun belum bisa dimaksimalkan. Tak heran jika kontrak pemain dan pelatih belum terpikirkan. Jika tidak ada perubahan signifikan, Persibo berpotensi mengulang krisis hebat musim lalu.
Persema Malang
Persema Malang memiliki prospek paling suram di antara klub Jawa Timur lainnya. Tidak adanya suporter membuat daya jual klub ini sangat rendah, bahkan tak menarik minat sponsor. Sudah begitu, Persema yang sahamnya dikuasai konsorsium juga bernasib sama dengan Persibo.
Dana yang diberikan konsorsium sangat kecil dibanding semasa masih menjadi milik Pemkot Malang dan menyusu APBD. Konsep memakai pemain muda dengan kontrak murah mungkin bisa lebih efisien. Tapi itu tetap tak menghapus fakta bahwa secara bisnis Persema tidak prospektif. Krisis finansial sangat berpotensi terulang lagi di Stadion Gajayana.
Persela Lamongan
Musim lalu Persela mengawali musim dengan menggandeng PT Minarak Lapindo Jaya sebagai sponsor utama. Dana sekira Rp5 miliar waktu itu menjadi modal Laskar Joko Tingkir mengawali ISL 2011-2012.
Walau mendapat bantuan dari Minarak, Persela tak bisa berkelit dari krisis di akhir musim. Kondisi itu belum berubah hingga sekarang. Malah hingga ISL sebulan lagi bergulir, belum ada sponsor kakap yang mengawal tim Biru Laut. Realita ini menjadikan kemapanan Persela masuk dalam kategori meragukan. Menarik ditunggu bagaimana klub yang musim lalu menembus empat besar ISL ini 'menyelamatkan diri'.
Persepam Madura United
Persepam Madura United (P-MU) menjadi klub teranyar di kompetisi ISL musim depan. Manajemen klub ini menyebut butuh dana sekitar Rp15 miliar untuk musim depan. Sayangnya, dana yang dibutuhkan belum tersedia semuanya alias masih menunggu pendapatan penjualan tiket laga home sekaligus mencari sponsor.
Minimnya pengalaman dalam pengelolaan sepakbola profesional bisa menjadi kendala tersendiri bagi P-MU. Praktis untuk musim depan belum bisa dibilang aman karena jelas tidak cukup hanya berbekal optimisme.
Klub-Klub Divisi Utama
Situasi paling miris tentu saja klub-klub Divisi Utama. Dihapuskannya APBD semusim silam membuat klub-klub Divisi Utama, baik di bawah PSSI maupun KPSI, bernasib mengenaskan. Mereka rata-rata datang dari kabupaten/kota kedua yang tidak memiliki potensi besar untuk menggali dana.
Klub seperti Persewangi Banyuwangi. Persipro Bondowoso United, Gresik United, Mojokerto Putra FC, Metro FC, PSBI Blitar, PSBK Kabupetan Blitar, Madiun Putra FC, atau bahkan Persik Kediri sebagai 'mantan' klub besar, tidak mampu mendulang dana dari sponsorship atau tiket.
Jika dana dari konsorsium atau pemegang saham klub tidak memadai, maka mereka hampir bisa dipastikan kembali terkapar musim depan. Semusim terakhir membuktikan level ini paling membahayakan jika bicara keuangan, walau sudah masuk kategori profesional.
(aww)