Liga super ironi 'dipaksa' mulai
A
A
A
Sindonews.com - Ketidakpedulian PT Liga Indonesia (LI) terhadap krisis keuangan yang melanda klub akhirnya terbukti. Indonesia Super League (ISL) atau Liga Super Indonesia dipaksa berjalan walau sejumlah klub masih ingkar dalam pembayaran gaji musim lalu.
Demi gengsi dan kepentingan tertentu, PT LI menjalankan kompetisi walau masih diliputi ironi. Operator liga di bawah Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) tersebut mengingkari komitmen yang diutarakan sendiri beberapa waktu lalu.
Setelah kematian pemain Persis Solo Diego Mendieta, PT LI menyatakan tidak akan melibatkan klub-klub yang masih memiliki tunggakan gaji musim lalu. Nyatanya itu hanya omong kosong. Walau beberapa klub masih menunggak, ISL terus digulirkan dan memasuki pekan pertama.
Prediksi saya bahwa PT LI tidak konsisten dengan ucapannya sendiri, akhirnya terbukti. Saya sendiri takjub. Situasi ini terlalu mudah ditebak karena otoritas sepakbola tanah air tak pernah memiliki budaya cerdas dalam menyelesaikan masalah. Semua dianggap remeh dan tak penting.
Jangankan memberi pelajaran kepada klub-klub penunggak gaji, kontrol finansial sebelum musim dimulai juga tidak ada. Ini menjadi preseden buruk dan indikasi bakal banyak klub yang bangkrut di akhir musim nanti. PT LI tidak memiliki semangat mendidik klub-klub anggotanya.
Arema Cronous, Persela Lamongan, Persija Jakarta dan sejumlah klub lain dibiarkan melenggang tanpa harus membayar hutang musim sebelumnya. Jangankan membayar gaji musim lalu, sejumlah klub malah belum menyodorkan kontrak kepada pemain ketika liga sudah dimulai.
Tengok account tweeter playmaker Persela Lamongan Gustavo Lopez. Melalui account @gustylopez8, dia berteriak, "ISL sudah mulai tapi belum ada kontrak kita. Dimana kontrak?". Lengkap sudah penderitaan pemain sepakbola kita. Keringat mereka 'diperas' tapi hak belum dipenuhi sebagaimana yang layak mereka terima.
KPSI yang berkoar-koar memperbaiki sepakbola tanah air, terbukti tak lebih baik dibanding PSSI. Pengelolaan liga yang hanya didasarkan pada kepentingan penguasa membuat mereka gelap mata. Hanya bagian luar yang didesain mentereng, sedangkan di dalamnya sangat keropos.
Saya respek terhadap Bambang Pamungkas, Ismed Sofyan dan sejumlah pemain Persija Jakarta yang tidak mau bermain sebelum gaji musim lalu dibayar. Sebuah tindakan berani dan harusnya menjadi inspirasi bagi pemain lain agar tidak menjadi sapi perahan bagi klub maupun organisasi sepakbola.
Saya berharap dan berdoa semoga Bambang Pamungkas dkk diberi kekuatan untuk melanjutkan perjuangannya. Sebuah perjuangan menghadapi kebusukan sistem yang dijalankan klub. Itulah sikap ksatria dan bukti bahwa masih ada pemain yang tidak mau hanya menurut bak kerbau.
Apa bedanya tidak mendapatkan kontrak dengan tidak menerima gaji. Pilihan yang sama-sama sulit, tapi harus tetap memilih jalan terbaik. Dan jalan yang ditempuh Bambang adalah yang terbaik, bukan bagi dia pribadi tapi juga untuk pemain sepakbola Indonesia.
Dia telah memberikan inspirasi, bahwa melawan bukan karena tidak loyal kepada klub. Lagipula, siapa yang meragukan komitmen dia di Macan Kemayoran? BP, demikian dia disebut, berupaya membuka mata kita bahwa pemain juga memiliki otak dan power. Lebih penting lagi, mempunyai SIKAP!
ISL yang bergulir lebih dulu dibanding Indonesia Premier League (ISL), sekaligus sebagai organisasi 'sayap kiri' harusnya memberi contoh platform sepakbola yang benar. Tak henti membenci PSSI, selayaknya KPSI memberikan jawaban terkait bagaimana mengelola sepakbola secara profesional.
Bukan melumuri dirinya dengan segudang persoalan yang akhirnya mengikis simpati publik bola Indonesia. Liga Super Ironi (LSI), demikian saya lebih suka menyebutnya. Aliran 'radikal' yang seharusnya menjadi kontrol sekaligus pembaru pengelolaan sepakbola, malah mengajarkan contoh yang sangat tidak baik.
Oh ya, masih ada lagi. ISL juga sudah membuat sinis khalayak di pekan pertama liga yang diikuti 18 klub. Wasit Aeng Suarlan membuat keputusan kontroversial di laga Sriwajaya FC versus Persiba Balikpapan yang berakhir 1-1. Kiper tuan rumah Ferry Rotinsulu hanya diberi kartu kuning kala memegang bola di luar kotak pinalti dengan sengaja. Padahal harusnya wasit memberikan kartu merah untuk Ferry.
Begitulah, liga sudah dipenuhi berbagai persoalan bahkan ketika musim baru bergulir. Kualitas kompetisi, wasit, finansial, serta operator liga tak juga membaik di tengah sombongnya penguasa-penguasa liga. Masih perlu menunggu lama untuk menikmati sepakbola profesional di bumi pertiwi ini.*
Demi gengsi dan kepentingan tertentu, PT LI menjalankan kompetisi walau masih diliputi ironi. Operator liga di bawah Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) tersebut mengingkari komitmen yang diutarakan sendiri beberapa waktu lalu.
Setelah kematian pemain Persis Solo Diego Mendieta, PT LI menyatakan tidak akan melibatkan klub-klub yang masih memiliki tunggakan gaji musim lalu. Nyatanya itu hanya omong kosong. Walau beberapa klub masih menunggak, ISL terus digulirkan dan memasuki pekan pertama.
Prediksi saya bahwa PT LI tidak konsisten dengan ucapannya sendiri, akhirnya terbukti. Saya sendiri takjub. Situasi ini terlalu mudah ditebak karena otoritas sepakbola tanah air tak pernah memiliki budaya cerdas dalam menyelesaikan masalah. Semua dianggap remeh dan tak penting.
Jangankan memberi pelajaran kepada klub-klub penunggak gaji, kontrol finansial sebelum musim dimulai juga tidak ada. Ini menjadi preseden buruk dan indikasi bakal banyak klub yang bangkrut di akhir musim nanti. PT LI tidak memiliki semangat mendidik klub-klub anggotanya.
Arema Cronous, Persela Lamongan, Persija Jakarta dan sejumlah klub lain dibiarkan melenggang tanpa harus membayar hutang musim sebelumnya. Jangankan membayar gaji musim lalu, sejumlah klub malah belum menyodorkan kontrak kepada pemain ketika liga sudah dimulai.
Tengok account tweeter playmaker Persela Lamongan Gustavo Lopez. Melalui account @gustylopez8, dia berteriak, "ISL sudah mulai tapi belum ada kontrak kita. Dimana kontrak?". Lengkap sudah penderitaan pemain sepakbola kita. Keringat mereka 'diperas' tapi hak belum dipenuhi sebagaimana yang layak mereka terima.
KPSI yang berkoar-koar memperbaiki sepakbola tanah air, terbukti tak lebih baik dibanding PSSI. Pengelolaan liga yang hanya didasarkan pada kepentingan penguasa membuat mereka gelap mata. Hanya bagian luar yang didesain mentereng, sedangkan di dalamnya sangat keropos.
Saya respek terhadap Bambang Pamungkas, Ismed Sofyan dan sejumlah pemain Persija Jakarta yang tidak mau bermain sebelum gaji musim lalu dibayar. Sebuah tindakan berani dan harusnya menjadi inspirasi bagi pemain lain agar tidak menjadi sapi perahan bagi klub maupun organisasi sepakbola.
Saya berharap dan berdoa semoga Bambang Pamungkas dkk diberi kekuatan untuk melanjutkan perjuangannya. Sebuah perjuangan menghadapi kebusukan sistem yang dijalankan klub. Itulah sikap ksatria dan bukti bahwa masih ada pemain yang tidak mau hanya menurut bak kerbau.
Apa bedanya tidak mendapatkan kontrak dengan tidak menerima gaji. Pilihan yang sama-sama sulit, tapi harus tetap memilih jalan terbaik. Dan jalan yang ditempuh Bambang adalah yang terbaik, bukan bagi dia pribadi tapi juga untuk pemain sepakbola Indonesia.
Dia telah memberikan inspirasi, bahwa melawan bukan karena tidak loyal kepada klub. Lagipula, siapa yang meragukan komitmen dia di Macan Kemayoran? BP, demikian dia disebut, berupaya membuka mata kita bahwa pemain juga memiliki otak dan power. Lebih penting lagi, mempunyai SIKAP!
ISL yang bergulir lebih dulu dibanding Indonesia Premier League (ISL), sekaligus sebagai organisasi 'sayap kiri' harusnya memberi contoh platform sepakbola yang benar. Tak henti membenci PSSI, selayaknya KPSI memberikan jawaban terkait bagaimana mengelola sepakbola secara profesional.
Bukan melumuri dirinya dengan segudang persoalan yang akhirnya mengikis simpati publik bola Indonesia. Liga Super Ironi (LSI), demikian saya lebih suka menyebutnya. Aliran 'radikal' yang seharusnya menjadi kontrol sekaligus pembaru pengelolaan sepakbola, malah mengajarkan contoh yang sangat tidak baik.
Oh ya, masih ada lagi. ISL juga sudah membuat sinis khalayak di pekan pertama liga yang diikuti 18 klub. Wasit Aeng Suarlan membuat keputusan kontroversial di laga Sriwajaya FC versus Persiba Balikpapan yang berakhir 1-1. Kiper tuan rumah Ferry Rotinsulu hanya diberi kartu kuning kala memegang bola di luar kotak pinalti dengan sengaja. Padahal harusnya wasit memberikan kartu merah untuk Ferry.
Begitulah, liga sudah dipenuhi berbagai persoalan bahkan ketika musim baru bergulir. Kualitas kompetisi, wasit, finansial, serta operator liga tak juga membaik di tengah sombongnya penguasa-penguasa liga. Masih perlu menunggu lama untuk menikmati sepakbola profesional di bumi pertiwi ini.*
(wbs)