Bisa apa Si Pakar Telematika?

Senin, 28 Januari 2013 - 10:31 WIB
Bisa apa Si Pakar Telematika?
Bisa apa Si Pakar Telematika?
A A A
Sindonews.com —Suatu siang di tengah derasnya hujan, saya terjebak di sebuah warung di kawasan Surabaya Selatan. Tujuan saya bukan masuk ke warung itu, tapi semata-mata karena berteduh. Menolak basah sekaligus menyadari kebodohan lupa membawa jas hujan di tengah musim seperti ini.

Secangkir kopi dan 'jajan pasar' di meja warung sudah cukup istimewa melawan hawa dingin. Tidak ramai, hanya ada beberapa orang yang ngobrol ngalor-ngidul dengan pemilik warung. Seorang laki-laki gondrong duduk rileks di ujung bangku dan serius dengan handphone-nya.

Seorang lagi dengan pakaian lebih rapi tak henti memainkan rokok di jarinya. Sedangkan pemilik warung duduk di bangku satunya layaknya seorang pembeli. Dari sekian topik obrolan, saya baru benar-benar konsentrasi menyimak kala mereka membicarakan sepakbola.

Klop, obrolan ini nyantol dengan profesi saya sebagai reporter olahraga. Kurang tahu pasti mereka ini supporter atau sekadar penikmat sepakbola, yang jelas obrolan mereka sudah 'level atas'. Saya juga tidak terlalu tertarik terlibat dalam perbincangan mereka., karena sekadar ingin tahu bagaimana arah pemikiran kalangan awam soal kacaunya sepakbola negeri ini.

Saya tadi menyebut pembicaraan 'level atas'. Maksudnya mereka tidak bicara soal pemain atau klub, tapi situasi sepakbola di tatanan PSSI, KPSI hingga penunjukkan Roy Suryo sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Dalam hati saya, mereka orang-orang yang melek informasi. Mahasiswa mungkin.

Suatu saat perbincangan mereka tsampai pada kapasitas Roy Suryo sebagai Menpora yang harus menyelesaikan masalah konflik sepakbola Indonesia. Laki-laki gondrong yang duduk bersandar di ujung bangku sambil memainkan hanphone Samsung-nya, terlihat paling kritis walau terkesan cuek. Bicaranya seperti aktivis.

“Bisa apa tukang periksa video porno menangani sepakbola. Mimpi aja,” katanya ketus. Rekannya yang berpenampilan rapi mencoba menanggapi dengan netral. “Ya nggak segitunya. Kalo berpikir negatif terus ya nggak pernah ada solusi. Coba kalau setiap orang dianggap tak pantas, trus siapa lagi?” tanyanya.

“Kita sudah mikir positif dari dulu, tapi hasilnya selalu negatif. Sudah berapa orang yang dianggap bisa memecahkan masalah, hingga FIFA segala. Buktinya? Nol besar. Roy Suryo saja tidak punya wibawa, gimana dia bisa mengatur orang-orang PSSI dan KPSI yang ngawur itu,” katanya berlogika.

“Ya bolehlah meragukan kapasitas orang. Tapi kalau selalu apriori kan nggak memecahkan masalah juga. Siapa tahu justru diragukan itu Roy Suryo punya kemauan menyelesaikan masalah. Dia juga sudah punya inisiatif mau bertemu Nirwan Bakrie dan Arifin Panigoro,” kata temennya sambil menghisap rokok kretek. Saya sempat menduga dia kader Partai Demokrat karena membela Roy Suryo.

“Ah, sebelum ketemu Panigoro ama Barkie, kenapa nggak ketemu Diego Michiels dulu. Biar bisa membedakan mana Diego Michiels dan Diego Mendieta,” sergah si laki-laki gondrong. Pembicaraan pun mampet. Rekannya yang rapi tadi hanya bisa tersenyum kecut. Kalah telak.

“Aku iki yo gak ngerti ngono-ngono kuwi lho Mas. Politik bal-balan wis gak eruh blas. Pokoke eruhku yo ndelok bal-balan, melu sorak,” kata pemilik warung yang malas-malasan mendengar dua pelanggannya berdebat. Perdebatan ini mewakili benak sebagian khalayak bola Indonesia.

Saya sendiri terkejut dengan penunjukan KRMT Roy Suryo. Sama sekali tidak masuk dalam referensi sebelumnya. Saya tidak menyalahkan lelaki gondrong tadi yang meremehkan Menpora baru. Memang faktanya dia tidak pernah paham konflik sepakbola di Indonesia.

Saya sampai sekarang juga belum percaya kemampuan seorang Roy Suryo, yang saya tahu pandai memerika keaslian video atau foto kasus. Saya hanya sedikit punya harapan ketika dia berinisiatif mempertemukan Arifin Panigoro dengan Nirwan Bakrie. Jika berhasil mempertemuakn keduanya, minimal menjadi fenomena baru.

Selama ini publik hanya menyebut Panigoro dan Bakrie sebagai otak dibalik kisruhnya sepakbola nasional. Tetapi tidak ada seorang pun yang pernah menyentuh mereka. Khalayak lebih tertarik mengulas Johar Arifin Husin yang head to head dengan La Nyalla Matalitti.

Apakah langkah Roy Suryo ini manjur? I don't know. Saya juga tidak tahu pasti apakah solusi itu muncul dari otak Roy Suryo sendiri atau hasil bisikan-bisikan dari pihak lain. Seperti sebelum-sebelumnya, yang kita bisa hanya menunggu. Jika dia kembali tidak bisa mengurai benang kusut sepakbola Indonesia, berarti Presiden SBY salah menunjuknya. Sederhana kan?

Sepakbola Indonesia sudah kritis dan sudah tidak memiliki jiwa lagi, apalagi kebanggaan. Konflik di tatanan elit tak pernah usai, dualisme kompetisi, klub-klub melarat, hingga meninggalnya pelaku-pelaku sepakbola belakangan ini. Sepakbola Indonesia seperti sebuah film horor.

Oh ya, saya tidak lupa menyampaikan belasungkawa untuk kepergian Miroslav Janu. Pelatih yang pernah saya kenal saat menangani Arema FC. Pelatih keras, kaku, suka menghajar pemainnya dengan latihan fisik, tapi sekaligus selalu membuahkan hasil yang cukup bergengsi.

Miro adalah cermin pelatih Eropa Timur. Tidak kenal kompromi dan bicara sesuai dengan apa yang ada di pikirannya. Walau belum sempat mencicipi gelar di sepakbola Indonesia, Miro tetap seorang pelatih level atas. Selamat jalan Miro. Semoga sepakbola Indonesia bisa profesional seperti yang kamu inginkan.*
(wbs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0464 seconds (0.1#10.140)