RD: Tiga pemain asing paling ideal
A
A
A
Sindonews.com - Persepakbolaan nasional sudah beranjak pada dunia profesional. Namun, kondisi itu belum berbanding lurus dengan kesempatan tampil para pemain mudanya. Itulah yang membuat regenerasi pesepakbola di tanah air agak tersendat.
Salah satu permasalahannya adalah klub sepak bola yang terlalu mengandalkan pemain siap pakai. Mulai dari membeli pesepakbola 'berbintang', hingga memborong pemain asing yang juga tidak perlu lagi dibina.
Dalam kasus seperti ini, pelatih memang bisa menggunakan otoritasnya untuk lebih menonjolkan bibit muda. Namun keadaan bisa menjadi lain ketika sang juru taktik pun dibebani target prestasi selangit.
"Untuk pelatih juga dilema. Membina pemain muda kan harus dengan memberi jam terbang yang cukup, tapi di sisi lain pelatih diberi beban untuk meraih titel juara. Ya, terpaksa lebih memilih pemain asing," ucap salah satu pelatih terbaik Tanah Air, Rahmad Darmawan.
Dalam mengurangi permasalahan ini, federasi dan penyelenggara liga juga memiliki tanggung jawab besar. Kuota pemain asing tiap tim Indonesia Super League (ISL) yang saat ini mencapai nominal lima orang, dianggapya terlalu banyak. Dengan begitu, tentu kesempatan masuknya bibit muda ke dalam sebuah klub profesional menjadi kian tipis.
"Saat ini di ISL kuotanya lima orang pemain asing, itu terlalu menumpuk. Paling banyak empat lah, idealnya tiga tiap klub. Karena banyaknya pemain asing juga berpengaruh untuk pembinaan para pesepakbola muda kita," tutur pria yang akrab disapa RD ini.
Selain kesempatan tampil, minimnya penyelenggaraan kompetisi usia muda juga menjadi penghambat lainnya. Saat ini, ucap RD, hampir tidak ada tournamen sepakbola untuk anak-anak. Kalaupun ada, itu diselenggarakan oleh pihak swasta, sehingga hasilnya kurang bisa dioptimalkan oleh dunia persepakbolaan nasional.
Padahal dengan semakin tenarnya olahraga si kulit bundar, kian banyak pula sekolah sepakbola (SSB) di pelosok nusantara.
"Tapi semakin banyaknya SSB pun harus diimbangi dengan ketersediaan pelatih yang profesional. Sekarang hampir di tiap kota ada SSB, bahkan di kota-kota besar jumlahnya bisa mencapai puluhan atau ratusan. Jadi pelatihnya pun hartus memadai dan mencukupi," kata pelatih yang kini mengarsiteki Arema Cronous tersebut.
Meski begitu, RD melihat celah perbaikan dalam masalah ini. Menurutnya, Pemerintah Daerah melalui dinas tetkait memiliki kesempatan untuk mengambil peran. Di saat klub-klub sepakbola tidak lagi 'menengadahkan tangan' pada APBD, dana yang tersedia seharusnya bisa dialihkan pada pembangunan infrastruktur dan pembinaan pelatih.
"Kondisi ini sangat bisa diubah. APBD kan sudah tidak mengalir ke klub, itu berarti bisa untuk pembinaan bibit muda dan perbaikan venue. Kebanyakan anak-anak kita berlatih di lapangan jelek loh. Di Bandung saja, lapangan paling bagus saat ini mungkin hanya ada dua, Si Jalak Harupat dan Stadion Siliwangi. Itu pun sudah dipakai Persib dan Pelita Bandung Raya. Jadi anak-anaknya berlatih di lapangan yang standarnya kurang. Hal itu juga terjadi di hampir semua daerah di Indonesia," tukas RD.
Salah satu permasalahannya adalah klub sepak bola yang terlalu mengandalkan pemain siap pakai. Mulai dari membeli pesepakbola 'berbintang', hingga memborong pemain asing yang juga tidak perlu lagi dibina.
Dalam kasus seperti ini, pelatih memang bisa menggunakan otoritasnya untuk lebih menonjolkan bibit muda. Namun keadaan bisa menjadi lain ketika sang juru taktik pun dibebani target prestasi selangit.
"Untuk pelatih juga dilema. Membina pemain muda kan harus dengan memberi jam terbang yang cukup, tapi di sisi lain pelatih diberi beban untuk meraih titel juara. Ya, terpaksa lebih memilih pemain asing," ucap salah satu pelatih terbaik Tanah Air, Rahmad Darmawan.
Dalam mengurangi permasalahan ini, federasi dan penyelenggara liga juga memiliki tanggung jawab besar. Kuota pemain asing tiap tim Indonesia Super League (ISL) yang saat ini mencapai nominal lima orang, dianggapya terlalu banyak. Dengan begitu, tentu kesempatan masuknya bibit muda ke dalam sebuah klub profesional menjadi kian tipis.
"Saat ini di ISL kuotanya lima orang pemain asing, itu terlalu menumpuk. Paling banyak empat lah, idealnya tiga tiap klub. Karena banyaknya pemain asing juga berpengaruh untuk pembinaan para pesepakbola muda kita," tutur pria yang akrab disapa RD ini.
Selain kesempatan tampil, minimnya penyelenggaraan kompetisi usia muda juga menjadi penghambat lainnya. Saat ini, ucap RD, hampir tidak ada tournamen sepakbola untuk anak-anak. Kalaupun ada, itu diselenggarakan oleh pihak swasta, sehingga hasilnya kurang bisa dioptimalkan oleh dunia persepakbolaan nasional.
Padahal dengan semakin tenarnya olahraga si kulit bundar, kian banyak pula sekolah sepakbola (SSB) di pelosok nusantara.
"Tapi semakin banyaknya SSB pun harus diimbangi dengan ketersediaan pelatih yang profesional. Sekarang hampir di tiap kota ada SSB, bahkan di kota-kota besar jumlahnya bisa mencapai puluhan atau ratusan. Jadi pelatihnya pun hartus memadai dan mencukupi," kata pelatih yang kini mengarsiteki Arema Cronous tersebut.
Meski begitu, RD melihat celah perbaikan dalam masalah ini. Menurutnya, Pemerintah Daerah melalui dinas tetkait memiliki kesempatan untuk mengambil peran. Di saat klub-klub sepakbola tidak lagi 'menengadahkan tangan' pada APBD, dana yang tersedia seharusnya bisa dialihkan pada pembangunan infrastruktur dan pembinaan pelatih.
"Kondisi ini sangat bisa diubah. APBD kan sudah tidak mengalir ke klub, itu berarti bisa untuk pembinaan bibit muda dan perbaikan venue. Kebanyakan anak-anak kita berlatih di lapangan jelek loh. Di Bandung saja, lapangan paling bagus saat ini mungkin hanya ada dua, Si Jalak Harupat dan Stadion Siliwangi. Itu pun sudah dipakai Persib dan Pelita Bandung Raya. Jadi anak-anaknya berlatih di lapangan yang standarnya kurang. Hal itu juga terjadi di hampir semua daerah di Indonesia," tukas RD.
(aww)