Kemenpora diminta perjuangkan Soeratin jadi pahlawan Nasional
A
A
A
Sindonews.com - Soeratin Sosrosoegondo, nama yang tidak asing di telinga publik Indonesia, khususnya pecinta sepakbola Tanah Air. Pria kelahiran Yogyakarta, 17 Desember 1898 tidak lain adalah salah satu pendiri PSSI sekaligus ketua umum pertama organisasi tertinggi yang mengurus
sepak bola di negeri ini.
Perjuangannya sangat besar terhadap negeri ini. Tidak hanya berperan dalam mendirikan PSSI, tetapi juga aktif memanggul senjata melawan penjajah di masa kemerdekaan. Banyak kalangan sudah mendorong pria yang aktif dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Letnan
Kolonel ini dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) juga sudah mendorong agar Soeratin bergelar Pahlawan Nasional. Sayangnya, keinginan banyak kalangan itu belum dikabulkan oleh pemerintah melalui Kementerian Sosial yang mengurusi pemberian gelar kepahlawanan.
"Harus ada kriteria khusus, salah satunya kajian akademis tentang perjuangan Soeratin," kata Deputi Promosi dan Penghargaan Kemenpora, Chandra Bhakti dalam keterangan pers di 'Ndalem Soeratin', Jalan A.M. Sangaji No 68, Yogyakarta, Rabu (11/9).
Untuk mewujudkan tujuan itu, Kemenpora memiliki kewajiban untuk memfasilitasi kekurangan kajian akademis ini. Salah satu yang ditempuh adalah dengan menggelar Seminar Nasional membahas kajian akademis sekaligus meluncurkan buku berjudul 'Soeratin Sosrosoegondo: Menentang
Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan' karya Eddi Elison. "Acara tersebut digelar Minggu (15/9) besok di Rich Hotel Yogyakarta," kata Chandra.
Eddi Elison mengatakan, dalam buku setebal 180 halaman itu banyak berkisah panjang lebar perjalanan hidup Soeratin Sosrosoegondo sampai akhir hayatnya pada 01 Desember 1959.
"Tidak banyak yang tidak tahu perjuangan Soeratin. Beliau merupakan Mantan Letnan Kolonel AD tahun 1946-1948. Ada saksi hidup dari Kol TNI (Pur) H. Herrawan yang merupakan ajudan Soeratin," katanya.
Istri Soeratin adalah R.A Srie Woelan, tidak lain merupakan adik kandung tokoh pergerakan nasional Dr Soetomo, pendiri Boedi Utomo yang setiap 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kakak ipar Soeratin (Soetomo) sudah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional.
Di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua PSSI, Soeratin mendapat tugas intelegen mendirikan pabrik-pabrik senjata, mesiu, dinamit di Bandung. Ada delapan pabrik senjata dibawah pengawasan Soeratin. Saat Jepang menginjakkan kakinya di Indonesia yang menjadikan perang kemerdekaan
berkumandang, Soeratin mengalami kehidupan yang sulit. Lelaki yang aktif dalam TKR dengan pangkat Letnan Kolonel ini rumahnya diobrak-abrik Belanda.
Usai kemerdekaan, kehidupannya semakin mengenaskan. Soeratin beserta keluarga mengalami kesulitan ekonomi sampai meninggal dunia pada 1959 setelah sakit dalam waktu yang lama. Soeratin tidak mampu menebus obat untuk mengobati sakit yang dideritanya itu. Sampai akhir hayatnya,
Soeratin hidup miskin di Jalan Lombok No 33 Bandung.
Rumahnya hanya berukuran 4 x 6 meter, yang terbuat dari dinding bambu (gedhek). Soeratin tidak pernah mendapat pensiun dari pemerintah, termasuk tidak dianggap sebagai Pahlawan Nasional.
Salah satu cucu Soeratin, Praharso Sosrosoegondo mengungkapkan, pihak keluarga sangat senang ada banyak pihak yang mendukung Soeratin menjadi Pahlawan Nasional.
"Dulu pernah ada yang mengusulkan, tetapi sampai sekarang tidak ada kabarnya. Semoga yang disampaikan PSSI melalui Kemenpora kali ini, kakek kami (Soeratin) benar-benar bisa dianugerahi gelar Pahlawan Nasional," ujarnya.
Praharso mengaku belum pernah bertemu dengan kakeknya secara fisik. Saat lahir, kakeknya sudah meninggal. Dia mengetahui kakeknya hanya cerita dari nenek, orang tua dan koleksi yang ditinggalkannya.
Dari cerita yang didengarnya itu, ada salah satu kalimat yang paling terkenal yang pernah diucapkan kakeknya. "Kalau di lapangan sepak bola kita bisa mengalahkan Belanda, kelak di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda.”
sepak bola di negeri ini.
Perjuangannya sangat besar terhadap negeri ini. Tidak hanya berperan dalam mendirikan PSSI, tetapi juga aktif memanggul senjata melawan penjajah di masa kemerdekaan. Banyak kalangan sudah mendorong pria yang aktif dalam TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Letnan
Kolonel ini dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) juga sudah mendorong agar Soeratin bergelar Pahlawan Nasional. Sayangnya, keinginan banyak kalangan itu belum dikabulkan oleh pemerintah melalui Kementerian Sosial yang mengurusi pemberian gelar kepahlawanan.
"Harus ada kriteria khusus, salah satunya kajian akademis tentang perjuangan Soeratin," kata Deputi Promosi dan Penghargaan Kemenpora, Chandra Bhakti dalam keterangan pers di 'Ndalem Soeratin', Jalan A.M. Sangaji No 68, Yogyakarta, Rabu (11/9).
Untuk mewujudkan tujuan itu, Kemenpora memiliki kewajiban untuk memfasilitasi kekurangan kajian akademis ini. Salah satu yang ditempuh adalah dengan menggelar Seminar Nasional membahas kajian akademis sekaligus meluncurkan buku berjudul 'Soeratin Sosrosoegondo: Menentang
Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan' karya Eddi Elison. "Acara tersebut digelar Minggu (15/9) besok di Rich Hotel Yogyakarta," kata Chandra.
Eddi Elison mengatakan, dalam buku setebal 180 halaman itu banyak berkisah panjang lebar perjalanan hidup Soeratin Sosrosoegondo sampai akhir hayatnya pada 01 Desember 1959.
"Tidak banyak yang tidak tahu perjuangan Soeratin. Beliau merupakan Mantan Letnan Kolonel AD tahun 1946-1948. Ada saksi hidup dari Kol TNI (Pur) H. Herrawan yang merupakan ajudan Soeratin," katanya.
Istri Soeratin adalah R.A Srie Woelan, tidak lain merupakan adik kandung tokoh pergerakan nasional Dr Soetomo, pendiri Boedi Utomo yang setiap 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kakak ipar Soeratin (Soetomo) sudah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional.
Di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua PSSI, Soeratin mendapat tugas intelegen mendirikan pabrik-pabrik senjata, mesiu, dinamit di Bandung. Ada delapan pabrik senjata dibawah pengawasan Soeratin. Saat Jepang menginjakkan kakinya di Indonesia yang menjadikan perang kemerdekaan
berkumandang, Soeratin mengalami kehidupan yang sulit. Lelaki yang aktif dalam TKR dengan pangkat Letnan Kolonel ini rumahnya diobrak-abrik Belanda.
Usai kemerdekaan, kehidupannya semakin mengenaskan. Soeratin beserta keluarga mengalami kesulitan ekonomi sampai meninggal dunia pada 1959 setelah sakit dalam waktu yang lama. Soeratin tidak mampu menebus obat untuk mengobati sakit yang dideritanya itu. Sampai akhir hayatnya,
Soeratin hidup miskin di Jalan Lombok No 33 Bandung.
Rumahnya hanya berukuran 4 x 6 meter, yang terbuat dari dinding bambu (gedhek). Soeratin tidak pernah mendapat pensiun dari pemerintah, termasuk tidak dianggap sebagai Pahlawan Nasional.
Salah satu cucu Soeratin, Praharso Sosrosoegondo mengungkapkan, pihak keluarga sangat senang ada banyak pihak yang mendukung Soeratin menjadi Pahlawan Nasional.
"Dulu pernah ada yang mengusulkan, tetapi sampai sekarang tidak ada kabarnya. Semoga yang disampaikan PSSI melalui Kemenpora kali ini, kakek kami (Soeratin) benar-benar bisa dianugerahi gelar Pahlawan Nasional," ujarnya.
Praharso mengaku belum pernah bertemu dengan kakeknya secara fisik. Saat lahir, kakeknya sudah meninggal. Dia mengetahui kakeknya hanya cerita dari nenek, orang tua dan koleksi yang ditinggalkannya.
Dari cerita yang didengarnya itu, ada salah satu kalimat yang paling terkenal yang pernah diucapkan kakeknya. "Kalau di lapangan sepak bola kita bisa mengalahkan Belanda, kelak di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda.”
(aww)