Investor tajir pemicu kesenjangan klub
A
A
A
Sindonews.com - Kesejahteraan klub menjadi aspek krusial jelang liga unifikasi pada 2014 mendatang. Terjadi pemandangan kontras di antara klub-klub Indonesia Super League (ISL) jika melihat kesiapan finansial sejauh ini. Kesenjangan sangat terasa dibanding musim-musim sebelumnya.
Kekuatan finansial bakal menjadi aspek penting yang menjadi faktor pendukung terbesar bagi prestasi sebuah tim. Dari kondisi sekarang ini, Arema Cronous tampaknya bakal tidak sulit menggapai posisi minimal papan atas atau bahkan kandidat peraih trofi musim depan.
Arema menghitung lembaran uang bernominal puluhan milyar, klub lain hanya bisa ngiler. Mayoritas klub di Jawa Timur justru harus jatuh bangun untuk mendapatkan modal besar menuju kompetisi yang rencananya diikuti 22 klub hasil penggabungan ISL dan Indonesian Premier League (IPL).
Pengelolaan Arema yang diambilalih Bakrie Grup semusim terakhir membuat pembeda dengan klub-klub lainnya. Arema yang mencatat pemasukan tinggi dari tiket, yakni lebih dari Rp10 milyar per musim, masih mendapat asupan dari Bakrie sekaligus pemasukan sponsor.
Klub lain cuma sekadar bermimpi untuk bisa menyaingi Singo Edan. Persaingan pun menyuguhkan kekuatan yang tidak berimbang dan sulit menyaingi klub semacam Arema Cronous, Persib Bandung, atau Persipura Jayapura yang sangat mapan dalam hal keuangan.
"Kekuatan klub Indonesia memang dari investor. Ketika ada investor mendanai sebuah klub, maka secara otomatis keuangan tercukupi. Persoalannya hanya sedikit klub yang mendapatkan investor," kata Manajer Persepam Madura United Achsanul Qosasih.
Dia mengakui ada perbedaan besar antara klub yang didanai investor dengan klub yang mencari dana sendiri. Kemampuan untuk membangun tim jelas berbeda dan sulit menyaingi klub kaya macam Arema Cronous. Namun dia tidak begitu merisaukan perbedaan nasib itu.
Yang lebih penting menurutnya adalah langkah PSSI dalam meringankan beban klub dalam membangun sebuah tim berkualitas. Yakni pembatasan nilai kontrak pemain agar harga tidak menanjak gila-gilaan, atau mengurangi kuota pemain asing di Indonesia.
"Harga kontrak pemain harus diawasi. Klub-klub kecil yang tidak memiliki banyak modal, kesulitan mendapatkan pemain berkualitas karena harga kontrak tinggi. Pemain asing juga menjadi pengeluaran besar bagi klub, sedangkan terkadang kualitasnya tak lebih bagus dibanding lokal," lanjutnya.
Hal yang sama dirasakan Persela Lamongan yang harus 'berdarah-darah' untuk bisa mendanai klub semusim ke depan. Ketika menutup kebutuhan musim lalu masih butuh perjuangan, harus dihadapkan pada persiapan dana untuk musim depan.
"Kalau membandingkan sisi finansial antara Arema dengan Persela ya jauh. Kami tidak memiliki investor besar dan harus berhemat agar tidak sampai krisis keuangan. Memang ada perbedaan mencolok antara klub yang memiliki investor dengan klub yang mengandalkan sponsor saja," kata Mudji Santoso, Sekretaris Persela.
Klub yang terinspirasi mendatangkan investor adalah Persegres Gresik United. Setelah dipastikan tekor musim lalu, Laskar Joko Samudro ingin mendapat solusi instan atas permasalahan finansial, yakni dengan mencari investor besar ke Jakarta.
Kekuatan finansial bakal menjadi aspek penting yang menjadi faktor pendukung terbesar bagi prestasi sebuah tim. Dari kondisi sekarang ini, Arema Cronous tampaknya bakal tidak sulit menggapai posisi minimal papan atas atau bahkan kandidat peraih trofi musim depan.
Arema menghitung lembaran uang bernominal puluhan milyar, klub lain hanya bisa ngiler. Mayoritas klub di Jawa Timur justru harus jatuh bangun untuk mendapatkan modal besar menuju kompetisi yang rencananya diikuti 22 klub hasil penggabungan ISL dan Indonesian Premier League (IPL).
Pengelolaan Arema yang diambilalih Bakrie Grup semusim terakhir membuat pembeda dengan klub-klub lainnya. Arema yang mencatat pemasukan tinggi dari tiket, yakni lebih dari Rp10 milyar per musim, masih mendapat asupan dari Bakrie sekaligus pemasukan sponsor.
Klub lain cuma sekadar bermimpi untuk bisa menyaingi Singo Edan. Persaingan pun menyuguhkan kekuatan yang tidak berimbang dan sulit menyaingi klub semacam Arema Cronous, Persib Bandung, atau Persipura Jayapura yang sangat mapan dalam hal keuangan.
"Kekuatan klub Indonesia memang dari investor. Ketika ada investor mendanai sebuah klub, maka secara otomatis keuangan tercukupi. Persoalannya hanya sedikit klub yang mendapatkan investor," kata Manajer Persepam Madura United Achsanul Qosasih.
Dia mengakui ada perbedaan besar antara klub yang didanai investor dengan klub yang mencari dana sendiri. Kemampuan untuk membangun tim jelas berbeda dan sulit menyaingi klub kaya macam Arema Cronous. Namun dia tidak begitu merisaukan perbedaan nasib itu.
Yang lebih penting menurutnya adalah langkah PSSI dalam meringankan beban klub dalam membangun sebuah tim berkualitas. Yakni pembatasan nilai kontrak pemain agar harga tidak menanjak gila-gilaan, atau mengurangi kuota pemain asing di Indonesia.
"Harga kontrak pemain harus diawasi. Klub-klub kecil yang tidak memiliki banyak modal, kesulitan mendapatkan pemain berkualitas karena harga kontrak tinggi. Pemain asing juga menjadi pengeluaran besar bagi klub, sedangkan terkadang kualitasnya tak lebih bagus dibanding lokal," lanjutnya.
Hal yang sama dirasakan Persela Lamongan yang harus 'berdarah-darah' untuk bisa mendanai klub semusim ke depan. Ketika menutup kebutuhan musim lalu masih butuh perjuangan, harus dihadapkan pada persiapan dana untuk musim depan.
"Kalau membandingkan sisi finansial antara Arema dengan Persela ya jauh. Kami tidak memiliki investor besar dan harus berhemat agar tidak sampai krisis keuangan. Memang ada perbedaan mencolok antara klub yang memiliki investor dengan klub yang mengandalkan sponsor saja," kata Mudji Santoso, Sekretaris Persela.
Klub yang terinspirasi mendatangkan investor adalah Persegres Gresik United. Setelah dipastikan tekor musim lalu, Laskar Joko Samudro ingin mendapat solusi instan atas permasalahan finansial, yakni dengan mencari investor besar ke Jakarta.
(aww)