Erick Thohir, Inter Milan, dan sepak bola Indonesia
A
A
A
Sindonews.com - Indonesia akhirnya mempunyai sosok yang berpengaruh di sepak bola Eropa dengan masuknya Erick Thohir ke Internazionale Milano alias Inter Milan. Dia menjadi orang pertama Indonesia yang berani mengakuisisi 70% saham klub.
Paling tidak Erick sekarang setenar Seikh Mansour (Manchester City) atau Roman Abramovich (Chelsea FC) sebagai miliarder yang berinvestasi besar di klub sepak bola. Secara otomatis munculnya dia juga menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Sudah menjadi budaya, Indonesia sudah euforia ketika namanya disebut di dunia internasional, termasuk sepak bola. Pemain klub Cagliari Radja Nainggolan yang ibunya berdarah Indonesia sudah dielu-elukan walau sang pemain memilih memperkuat tim nasional Belgia dibanding Indonesia.
Itulah kesalahan kita yang hanya sekadar bangga tapi tidak mau belajar juga. Keberanian Erick Thohir mengakuisi mayoritas saham Inter Milan justru harusnya mendatangkan malu bagi sepakbola Indonesia. Malu karena sepak bola Indonesia sendiri tidak mempunyai investor sekaliber dia.
Manuver bisnis putra pengusaha Teddy Tohir yang juga menjadi bos di klub sepak bola Amerika Sertikat DC United ini menjadi jawaban bagaimana rupa sepak bola Indonesia. Tak prospektif, buruk untuk bisnis, pengerat rupiah, atau sederhananya masih sangat tradisional.
Erick jelas bukan Arifin Panigoro yang secara konyol menghamburkan ratusan miliar demi ambisi semu lewat Liga Primer Indonesia (LPI). Pebisnis berusia 43 tahun tersebut paham benar model sepak bola mana yang prospektif untuk bisnis, bukan hanya sekadar untuk cari muka.
Bagi kita, sudah luar biasa saat Erick Thohir merogoh kocek hingga Rp3,2 triliun untuk menggusur dominasi Massimo Moratti di Inter Milan. Lumayan untuk hiburan ketika klub-klub sepakbola Indonesia kere dan kesulitan mencari dana untuk satu musim kompetisi saja.
Duit Rp3,2 triliun mungkin sudah bisa mendanai seluruh klub Indonesia di berbagai level, sekaligus membeli PSSI kalau Erick mau. Namun otak bisnis tidak senaif itu dan Inter Milan mungkin dipandang lebih prospektif dibanding seluruh klub di Indonesia digabung menjadi satu sekalipun.
Ini hanya gambaran bahwa sepakbola Indonesia masih sebatas sepakbola murung tanpa masa depan yang jelas. Sepakbola yang hanya membuang uang ketika di luar sana sudah didesain sebagai tambang duit. Sepak bola yang mayoritas penyandang dananya menyumbang dengan alasan keterpaksaan.
Bukankah kedatangan Erick Thohir di Inter Milan bisa menjembatani pemain Indonesia ke Eropa? Benar. Itu juga menjadi harapan insan bola tanah air. Tapi sebaiknya berpikir yang rasional dulu. Inter Milan adalah klub level dunia dan tentunya mempunyai standar mutu sangat tinggi.
Sangat sulit pesepakbola Indonesia mencapai level itu jika tak mendapat didikan kultur sepak bola Eropa sejak masih kanak-kanak seperti Radja Nainggolan. Bukan bermaksud pesimistis, tapi langsung berharap berkah ada pemain ke Inter tanpa serius memperbaiki sepak bola Indonesia adalah impian yang sangat naïf.
Impian terbalik seperti itulah yang membuat sepak bola jalan di tempat atau kadang-kadang mundur. Bernafsu memiliki pemain di klub berkelas internasional, namun tidak melihat bagaimana rupa liga di negeri sendiri. Padahal pemain bagus mayoritas dicetak oleh kultur sepakbola yang modern dan profesional.
Erick Thohir adalah orang yang cukup paham sepak bola serta dididik bisnis di negara maju. Tentunya tidak akan sembrono memasukkan pemain Indonesia tanpa kualitas sesuai standar mutu. Jelas tak bisa menyisipkan pemain hanya gara-gara kesamaan latar belakang seperti rekrutmen pegawai negeri.
Kesimpulannya, terkait akuisisi Inter Milan, bukan berkah bakal ada pemain yang nebeng atau kebanggaan sebagai orang Indonesia yang harus dinomorsatukan. Tapi berpikir dan bergerak bagaimana investor sekaliber dia mau berinvestasi di Indonesia, yang pastinya ditentukan mutu kompetisi dan klub domestik.
Ini menjadi tanggung jawab bersama, baik PSSI, klub-klub, suporter, hingga masyarakat yang tak bersentuhan dengan sepak bola sekalipun. Tanpa konsep untuk memperbaiki sepak bola domestik, maka investor akan terus mengalirkan uangnya ke luar negeri sementara klub di sini kering kerontang. (*)
Paling tidak Erick sekarang setenar Seikh Mansour (Manchester City) atau Roman Abramovich (Chelsea FC) sebagai miliarder yang berinvestasi besar di klub sepak bola. Secara otomatis munculnya dia juga menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Sudah menjadi budaya, Indonesia sudah euforia ketika namanya disebut di dunia internasional, termasuk sepak bola. Pemain klub Cagliari Radja Nainggolan yang ibunya berdarah Indonesia sudah dielu-elukan walau sang pemain memilih memperkuat tim nasional Belgia dibanding Indonesia.
Itulah kesalahan kita yang hanya sekadar bangga tapi tidak mau belajar juga. Keberanian Erick Thohir mengakuisi mayoritas saham Inter Milan justru harusnya mendatangkan malu bagi sepakbola Indonesia. Malu karena sepak bola Indonesia sendiri tidak mempunyai investor sekaliber dia.
Manuver bisnis putra pengusaha Teddy Tohir yang juga menjadi bos di klub sepak bola Amerika Sertikat DC United ini menjadi jawaban bagaimana rupa sepak bola Indonesia. Tak prospektif, buruk untuk bisnis, pengerat rupiah, atau sederhananya masih sangat tradisional.
Erick jelas bukan Arifin Panigoro yang secara konyol menghamburkan ratusan miliar demi ambisi semu lewat Liga Primer Indonesia (LPI). Pebisnis berusia 43 tahun tersebut paham benar model sepak bola mana yang prospektif untuk bisnis, bukan hanya sekadar untuk cari muka.
Bagi kita, sudah luar biasa saat Erick Thohir merogoh kocek hingga Rp3,2 triliun untuk menggusur dominasi Massimo Moratti di Inter Milan. Lumayan untuk hiburan ketika klub-klub sepakbola Indonesia kere dan kesulitan mencari dana untuk satu musim kompetisi saja.
Duit Rp3,2 triliun mungkin sudah bisa mendanai seluruh klub Indonesia di berbagai level, sekaligus membeli PSSI kalau Erick mau. Namun otak bisnis tidak senaif itu dan Inter Milan mungkin dipandang lebih prospektif dibanding seluruh klub di Indonesia digabung menjadi satu sekalipun.
Ini hanya gambaran bahwa sepakbola Indonesia masih sebatas sepakbola murung tanpa masa depan yang jelas. Sepakbola yang hanya membuang uang ketika di luar sana sudah didesain sebagai tambang duit. Sepak bola yang mayoritas penyandang dananya menyumbang dengan alasan keterpaksaan.
Bukankah kedatangan Erick Thohir di Inter Milan bisa menjembatani pemain Indonesia ke Eropa? Benar. Itu juga menjadi harapan insan bola tanah air. Tapi sebaiknya berpikir yang rasional dulu. Inter Milan adalah klub level dunia dan tentunya mempunyai standar mutu sangat tinggi.
Sangat sulit pesepakbola Indonesia mencapai level itu jika tak mendapat didikan kultur sepak bola Eropa sejak masih kanak-kanak seperti Radja Nainggolan. Bukan bermaksud pesimistis, tapi langsung berharap berkah ada pemain ke Inter tanpa serius memperbaiki sepak bola Indonesia adalah impian yang sangat naïf.
Impian terbalik seperti itulah yang membuat sepak bola jalan di tempat atau kadang-kadang mundur. Bernafsu memiliki pemain di klub berkelas internasional, namun tidak melihat bagaimana rupa liga di negeri sendiri. Padahal pemain bagus mayoritas dicetak oleh kultur sepakbola yang modern dan profesional.
Erick Thohir adalah orang yang cukup paham sepak bola serta dididik bisnis di negara maju. Tentunya tidak akan sembrono memasukkan pemain Indonesia tanpa kualitas sesuai standar mutu. Jelas tak bisa menyisipkan pemain hanya gara-gara kesamaan latar belakang seperti rekrutmen pegawai negeri.
Kesimpulannya, terkait akuisisi Inter Milan, bukan berkah bakal ada pemain yang nebeng atau kebanggaan sebagai orang Indonesia yang harus dinomorsatukan. Tapi berpikir dan bergerak bagaimana investor sekaliber dia mau berinvestasi di Indonesia, yang pastinya ditentukan mutu kompetisi dan klub domestik.
Ini menjadi tanggung jawab bersama, baik PSSI, klub-klub, suporter, hingga masyarakat yang tak bersentuhan dengan sepak bola sekalipun. Tanpa konsep untuk memperbaiki sepak bola domestik, maka investor akan terus mengalirkan uangnya ke luar negeri sementara klub di sini kering kerontang. (*)
(aww)