Menunggu keajaiban verifikasi
A
A
A
Sindonews.com - Pekan ini bakal menjadi sangat krusial bagi klub-klub calon kontestan liga unifikasi 2014. PSSI menjanjikan bakal mengumumkan hasil verifikasi peserta liga pada 12 Desember yang tentunya menjadi 'vonis' masa depan mereka di kompetisi level satu nasional.
Pandangan saya, bukan hanya kelayakan klub yang bakal bisa dilihat dari hasil verifikasi nanti, tapi juga kredibilitas PSSI. Keseriusan alias profesionalisme organisasi sepakbola tanah air itu bakal menjadi pertaruhan dalam mengambil keputusan klub-klub mana yang layak ikut liga unifikasi.
Publik sudah mengetahui banyak calon kontestan yang tidak memenuhi persyaratan bermain di kompetisi yang tetap bernama Indonesia Super League (ISL). Persoalan tunggakan gaji dan infrastuktur menjadi persoalan paling rumit yang dihadapi calon kontestan liga.
Tanpa saya sebutkan klub mana, tapi hingga verifikasi berlangsung tunggakan gaji belum terselesaikan. Ada pula klub yang masih menyewa stadion lain atau secara kasarnya belum memiliki infrastruktur secara tetap. Sejauh ini hanya ada sekitar 16 klub saja yang tidak mengalami masalah itu.
Patut kita cermati di sini, akankah PSSI bakal benar-benar menjunjung tinggi hasil verifikasi? Beranikah PSSI membuang klub-klub yang menunggak gaji? Menarik untuk kita tunggu. Di sini akan saya sajikan sejumlah fakta yang membuat saya masih ragu tentang penegakan 'hukum verifikasi'.
Sejumlah klub yang menunggak gaji adalah loyalis ISL. Pada zamannya PT Liga Indonesia atau Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI), klub-klub tersebut dibela mati-matian eksistensinya. PT Liga Indonesia bahkan memenangkan pertarungan dengan mengikutkan semua peserta ISL ke liga unifikasi.
Ingat juga ketika panas-panasnya dua kompetisi yakni ISL dan IPL pada 2012. PT Liga Indonesia memutuskan ISL tetap berjalan dengan beranggotakan klub-klub yang loyal alias tak percaya dengan manajemen IPL. Walau ada klub yang legalitasnya tak jelas, nyatanya itu tak dianggap sebuah persoalan.
Tak bisa dibantah, kepentingan golongan masih sangat dominan di pengelolaan sepakbola tanah air. Itu juga terlihat ketika semua klub ISL dinyatakan ikut liga unifikasi, sedangkan di pihak lain klub IPL hanya segelintir. Bahkan ada klub IPL yang dijegal dengan tuduhan pengaturan skor saat play off.
Dari cerita di atas, kita kemudian kembali lagi pada pertanyaan, beranikah PSSI yang saat ini kepanjangan tangan KPSI menyatakan klub loyalisnya tidak layak? Inilah yang saya katakan sebagai pertaruhan profesionalisme. Kalau memang profesional, klub-klub penunggak gaji harusnya disingkirkan dari liga unifikasi.
Publik memang sulit untuk menggugat apa pun hasil verifikasi nanti, karena tentu PSSI memiliki sejuta alasan. Tapi tanpa dimulai dari sikap profesional PSSI, sepakbola Indonesia bakal berjalan mundur. Musim depan tetap bakal ada klub-klub yang kesulitan memberikan hak pemain.
Dari proses verifikasi saja sudah terlihat tidak menjunjung profesionalisme di dunia sepakbola. Ketika memverifikasi infrastruktur atau stadion, PSSI melewatkan dua stadion di Jawa Timur yakni Stadion Kanjuruhan Malang dan Stadion Petrokimia Gresik. Alasannya dua stadion itu sudah layak dan tak perlu diverifikasi.
Ini janggal dan bukan sikap profesional sepakbola. Saya menganalogikan pada sebuah turnamen yang memakai sistem kompetisi. Tim-tim yang sudah pasti tersingkir tetap harus bertanding walau sama sekali tidak menentukan. Begitu pula tim yang sudah pasti lolos, harus tetap bertanding jika ada pertandingan sisa.
Itu semangat profesionalisme yang sudah berlaku umum di olahraga adu sepak. Tidak seenaknya sendiri, ogah bertanding saat sudah pasti tersingkir atau lolos. Itu seharusnya juga berlaku dalam proses verifikasi yang dilakukan PSSI terhadap kesiapan infrastruktur klub.
Idealnya semua dipandang sama rata sebagai bagian dari kompetisi dan mendapat perlakuan yang sama pula. Walau Stadion Kanjuruhan dan Petrokimia pernah dipakai laga berlevel internasional, statusnya tetap sama dengan stadion-stadion lain. Saya heran kenapa PSSI tidak memikirkan aspek ini.
Mereka mengajarkan sesuatu yang bagi mereka lumrah tapi sebenarnya tidak baik untuk sebuah pengelolaan sepakbola secara profesional. Dari sini saya menganggap verifikasi yang dilakukan PSSI hanya sekadar formalitas. Dianggap tahapan remeh untuk menjalankan liga.
Saya tetap berharap hasil verifikasi secara keseluruhan nanti benar-benar fair. Tapi, sekali lagi saya mengingatkan, tidak perlu terkejut jika hasilnya sangat janggal atau mungkin menggelikan. Terlepas dari apa pun yang terjadi, tentunya kita semua ingin sepakbola Indonesia semakin modern dan profesional.*
Pandangan saya, bukan hanya kelayakan klub yang bakal bisa dilihat dari hasil verifikasi nanti, tapi juga kredibilitas PSSI. Keseriusan alias profesionalisme organisasi sepakbola tanah air itu bakal menjadi pertaruhan dalam mengambil keputusan klub-klub mana yang layak ikut liga unifikasi.
Publik sudah mengetahui banyak calon kontestan yang tidak memenuhi persyaratan bermain di kompetisi yang tetap bernama Indonesia Super League (ISL). Persoalan tunggakan gaji dan infrastuktur menjadi persoalan paling rumit yang dihadapi calon kontestan liga.
Tanpa saya sebutkan klub mana, tapi hingga verifikasi berlangsung tunggakan gaji belum terselesaikan. Ada pula klub yang masih menyewa stadion lain atau secara kasarnya belum memiliki infrastruktur secara tetap. Sejauh ini hanya ada sekitar 16 klub saja yang tidak mengalami masalah itu.
Patut kita cermati di sini, akankah PSSI bakal benar-benar menjunjung tinggi hasil verifikasi? Beranikah PSSI membuang klub-klub yang menunggak gaji? Menarik untuk kita tunggu. Di sini akan saya sajikan sejumlah fakta yang membuat saya masih ragu tentang penegakan 'hukum verifikasi'.
Sejumlah klub yang menunggak gaji adalah loyalis ISL. Pada zamannya PT Liga Indonesia atau Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI), klub-klub tersebut dibela mati-matian eksistensinya. PT Liga Indonesia bahkan memenangkan pertarungan dengan mengikutkan semua peserta ISL ke liga unifikasi.
Ingat juga ketika panas-panasnya dua kompetisi yakni ISL dan IPL pada 2012. PT Liga Indonesia memutuskan ISL tetap berjalan dengan beranggotakan klub-klub yang loyal alias tak percaya dengan manajemen IPL. Walau ada klub yang legalitasnya tak jelas, nyatanya itu tak dianggap sebuah persoalan.
Tak bisa dibantah, kepentingan golongan masih sangat dominan di pengelolaan sepakbola tanah air. Itu juga terlihat ketika semua klub ISL dinyatakan ikut liga unifikasi, sedangkan di pihak lain klub IPL hanya segelintir. Bahkan ada klub IPL yang dijegal dengan tuduhan pengaturan skor saat play off.
Dari cerita di atas, kita kemudian kembali lagi pada pertanyaan, beranikah PSSI yang saat ini kepanjangan tangan KPSI menyatakan klub loyalisnya tidak layak? Inilah yang saya katakan sebagai pertaruhan profesionalisme. Kalau memang profesional, klub-klub penunggak gaji harusnya disingkirkan dari liga unifikasi.
Publik memang sulit untuk menggugat apa pun hasil verifikasi nanti, karena tentu PSSI memiliki sejuta alasan. Tapi tanpa dimulai dari sikap profesional PSSI, sepakbola Indonesia bakal berjalan mundur. Musim depan tetap bakal ada klub-klub yang kesulitan memberikan hak pemain.
Dari proses verifikasi saja sudah terlihat tidak menjunjung profesionalisme di dunia sepakbola. Ketika memverifikasi infrastruktur atau stadion, PSSI melewatkan dua stadion di Jawa Timur yakni Stadion Kanjuruhan Malang dan Stadion Petrokimia Gresik. Alasannya dua stadion itu sudah layak dan tak perlu diverifikasi.
Ini janggal dan bukan sikap profesional sepakbola. Saya menganalogikan pada sebuah turnamen yang memakai sistem kompetisi. Tim-tim yang sudah pasti tersingkir tetap harus bertanding walau sama sekali tidak menentukan. Begitu pula tim yang sudah pasti lolos, harus tetap bertanding jika ada pertandingan sisa.
Itu semangat profesionalisme yang sudah berlaku umum di olahraga adu sepak. Tidak seenaknya sendiri, ogah bertanding saat sudah pasti tersingkir atau lolos. Itu seharusnya juga berlaku dalam proses verifikasi yang dilakukan PSSI terhadap kesiapan infrastruktur klub.
Idealnya semua dipandang sama rata sebagai bagian dari kompetisi dan mendapat perlakuan yang sama pula. Walau Stadion Kanjuruhan dan Petrokimia pernah dipakai laga berlevel internasional, statusnya tetap sama dengan stadion-stadion lain. Saya heran kenapa PSSI tidak memikirkan aspek ini.
Mereka mengajarkan sesuatu yang bagi mereka lumrah tapi sebenarnya tidak baik untuk sebuah pengelolaan sepakbola secara profesional. Dari sini saya menganggap verifikasi yang dilakukan PSSI hanya sekadar formalitas. Dianggap tahapan remeh untuk menjalankan liga.
Saya tetap berharap hasil verifikasi secara keseluruhan nanti benar-benar fair. Tapi, sekali lagi saya mengingatkan, tidak perlu terkejut jika hasilnya sangat janggal atau mungkin menggelikan. Terlepas dari apa pun yang terjadi, tentunya kita semua ingin sepakbola Indonesia semakin modern dan profesional.*
(wbs)