Apa kabar verifikasi?
A
A
A
Sindonews.com - Dua pekan berlalu setelah PSSI mengeluarkan hasil verifikasi klub kontestan Indonesia Super League (ISL). Selama itu pula masih senyap dan belum ada keputusan pasti klub mana saja yang layak bermain di liga unifikasi. Lagi-lagi, PSSI tidak konsisten dalam menjalankan aturan yang dibuatnya sendiri.
Pada saat mengumumkan hasil verifikasi pada awal Desember, ada sejumlah klub yang masih nyantol alias belum memenuhi semua persyaratan. Publik tentunya juga ingat ketika PSSI secara diplomatis memberikan waktu sepekan kepada klub-klub tersebut untuk memenuhi persyaratan.
Tapi yang terjadi kemudian persis seperti dugaan saya. Mereka tidak konsisten menerapkan deadline dan terus menunda batas waktu pemenuhan persyaratan. Ini seperti perkiraan saya tentang upaya PSSI untuk menyelamatkan klub-klub loyalis ISL. Saya sedih karena pada akhirnya dugaan saya menjadi kenyataan.
PSSI benar-benar telah menunjukkan sebagai organisasi yang tak pantas dihormati. Organisasi yang seharusnya memberlakukan aturan sekaligus berkuasa penuh kepada pengelolaan sepakbola nasional, nyatanya hanya organisasi yang lembek dan tunduk pada klub-klub di bawah wilayahnya.
Jika PSSI memang memahami aturan main, maka setelah melewati deadlinebyang ditetapkan, semua klub harus tunduk pada aturan. Tidak peduli mereka klub ISL atau eks klub Indonesia Premier League (IPL), yang tidak layak harus ditinggal. Tidak ada bargaining atau memperpanjang kesempatan memenuhi persyaratan.
PSSI adalah organisasi profesional, bukan kumpulan ibu-ibu arisan yang tidak mementingkan peraturan. Setelah mendapatkan pengalaman remuknya pengelolaan IPL, idealnya saat ini ada perbaikan-perbaikan dengan tekad tidak mengulang kekacauan musim sebelumnya.
Lucu ketika PSSI tidak berani memutuskan siapa yang layak ikut ISL dan tidak. Mari membuat komparasi. Pro Duta yang juara play off IPL langsung dinyatakan tidak layak dengan alasan tidak memiliki stadion. Bahkan pengajuan Stadion Singaperbangsa sebagai kandang juga ditolak karena dianggap kurang bagus kondisinya.
Tapi di tempat lain, PSSI menyebut Persela Lamongan lolos walau belum bisa membayar tunggakan gaji selama empat bulan di ISL 2012-2013. Malah Persela dan beberapa klub yang memiliki tunggakan gaji diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan di sisi keuangan.
Di sinilah standar ganda sangat kelihatan. Politik balas dendam yang saya pikir sudah tak lagi berlaku di sepakbola Indonesia, masih sangat terasa. Petinggi-petinggi PSSI belum bisa berdiri di tengah sebagai pengayom klub. Mereka berdiri miring ke arah klub-klub tertentu yang dianggap loyalis.
Sangat tidak sebanding dengan koar-koar saat mereka menguak match fixing yang melibatkan Bontang FC. PSSI melalui Komisi Disiplin bak pahlawan setelah menguak adanya pengaturan skor di play off IPL. Tapi mereka lupa sampai sekarang belum bisa membuktikan tuduhan match fixing yang keburu dilemparkan untuk Pro Duta.
Sekadar opini pribadi, saya sebelumnya respek dan menyukai sosok Joko Driono yang bertahun-tahun mengurusi liga. Ketika PSSI diambil alih kelompok IPL, saya sebenarnya setuju Joko dicomot untuk mengatur IPL waktu itu. Tapi memang urusan kekuasaan tidak sesederhana itu dan dia tetap bertahan di PT Liga Indonesia untuk meneruskan ISL.
Setelah ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSSI, saya kok merasa kewibawaannya langsung redup. Terutama dalam proses verifikasi yang mementingkan klub loyalis ISL, menurut saya kredibilitas Joko benar-benar dipertaruhkan. Bagaimana pun, dia bertanggungjawab membawa sepakbola lebih baik.
Saya sebelumnya percaya Joko Driono memiliki pengalaman bergudang-gudang dan mengetahui pahit-getir sepakbola Indonesia. Di PSSI sendiri tidak ada nama lain yang benar-benar paham bola selain dia. Kalau ada nama La Nyalla Mattalitti, tak lebih dari tukang gertak.
Penyatuan liga menjadi pijakan bagus untuk membangun kultur sepakbola yang lebih sehat dan profesional. Nyatanya baru beberapa bulan mendapat Sekjen, jabatan Joko sudah cacat karena tak mampu menegakkan aturan dan hanya mengiyakan apa yang dikatakan tim verifikasi, Komdis, dan komisi-komisi lain.
Ketika Komdis melontarkan tuduhan ngawur sebelum ada bukti kepada Pro Duta terkait dugaan match fixing, saya menyesal Joko tidak bisa bertindak sebagai rem. Begitu pula ketika verifikasi sudah melenceng dari apa yang telah diatur sebelumnya.
Sebenarnya menyita energi dan waktu kalau membahas sisi negatif di organisasi sepakbola Indonesia itu. Tapi tak ada pilihan lain, karena kondisi PSSI memang harus dikawal dengan kritik untuk menjadi lebih baik. Kalau memang kritik sudah tak mempan, jalan terakhir ya menyerahkan ke Allah SWT.*
Pada saat mengumumkan hasil verifikasi pada awal Desember, ada sejumlah klub yang masih nyantol alias belum memenuhi semua persyaratan. Publik tentunya juga ingat ketika PSSI secara diplomatis memberikan waktu sepekan kepada klub-klub tersebut untuk memenuhi persyaratan.
Tapi yang terjadi kemudian persis seperti dugaan saya. Mereka tidak konsisten menerapkan deadline dan terus menunda batas waktu pemenuhan persyaratan. Ini seperti perkiraan saya tentang upaya PSSI untuk menyelamatkan klub-klub loyalis ISL. Saya sedih karena pada akhirnya dugaan saya menjadi kenyataan.
PSSI benar-benar telah menunjukkan sebagai organisasi yang tak pantas dihormati. Organisasi yang seharusnya memberlakukan aturan sekaligus berkuasa penuh kepada pengelolaan sepakbola nasional, nyatanya hanya organisasi yang lembek dan tunduk pada klub-klub di bawah wilayahnya.
Jika PSSI memang memahami aturan main, maka setelah melewati deadlinebyang ditetapkan, semua klub harus tunduk pada aturan. Tidak peduli mereka klub ISL atau eks klub Indonesia Premier League (IPL), yang tidak layak harus ditinggal. Tidak ada bargaining atau memperpanjang kesempatan memenuhi persyaratan.
PSSI adalah organisasi profesional, bukan kumpulan ibu-ibu arisan yang tidak mementingkan peraturan. Setelah mendapatkan pengalaman remuknya pengelolaan IPL, idealnya saat ini ada perbaikan-perbaikan dengan tekad tidak mengulang kekacauan musim sebelumnya.
Lucu ketika PSSI tidak berani memutuskan siapa yang layak ikut ISL dan tidak. Mari membuat komparasi. Pro Duta yang juara play off IPL langsung dinyatakan tidak layak dengan alasan tidak memiliki stadion. Bahkan pengajuan Stadion Singaperbangsa sebagai kandang juga ditolak karena dianggap kurang bagus kondisinya.
Tapi di tempat lain, PSSI menyebut Persela Lamongan lolos walau belum bisa membayar tunggakan gaji selama empat bulan di ISL 2012-2013. Malah Persela dan beberapa klub yang memiliki tunggakan gaji diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan di sisi keuangan.
Di sinilah standar ganda sangat kelihatan. Politik balas dendam yang saya pikir sudah tak lagi berlaku di sepakbola Indonesia, masih sangat terasa. Petinggi-petinggi PSSI belum bisa berdiri di tengah sebagai pengayom klub. Mereka berdiri miring ke arah klub-klub tertentu yang dianggap loyalis.
Sangat tidak sebanding dengan koar-koar saat mereka menguak match fixing yang melibatkan Bontang FC. PSSI melalui Komisi Disiplin bak pahlawan setelah menguak adanya pengaturan skor di play off IPL. Tapi mereka lupa sampai sekarang belum bisa membuktikan tuduhan match fixing yang keburu dilemparkan untuk Pro Duta.
Sekadar opini pribadi, saya sebelumnya respek dan menyukai sosok Joko Driono yang bertahun-tahun mengurusi liga. Ketika PSSI diambil alih kelompok IPL, saya sebenarnya setuju Joko dicomot untuk mengatur IPL waktu itu. Tapi memang urusan kekuasaan tidak sesederhana itu dan dia tetap bertahan di PT Liga Indonesia untuk meneruskan ISL.
Setelah ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSSI, saya kok merasa kewibawaannya langsung redup. Terutama dalam proses verifikasi yang mementingkan klub loyalis ISL, menurut saya kredibilitas Joko benar-benar dipertaruhkan. Bagaimana pun, dia bertanggungjawab membawa sepakbola lebih baik.
Saya sebelumnya percaya Joko Driono memiliki pengalaman bergudang-gudang dan mengetahui pahit-getir sepakbola Indonesia. Di PSSI sendiri tidak ada nama lain yang benar-benar paham bola selain dia. Kalau ada nama La Nyalla Mattalitti, tak lebih dari tukang gertak.
Penyatuan liga menjadi pijakan bagus untuk membangun kultur sepakbola yang lebih sehat dan profesional. Nyatanya baru beberapa bulan mendapat Sekjen, jabatan Joko sudah cacat karena tak mampu menegakkan aturan dan hanya mengiyakan apa yang dikatakan tim verifikasi, Komdis, dan komisi-komisi lain.
Ketika Komdis melontarkan tuduhan ngawur sebelum ada bukti kepada Pro Duta terkait dugaan match fixing, saya menyesal Joko tidak bisa bertindak sebagai rem. Begitu pula ketika verifikasi sudah melenceng dari apa yang telah diatur sebelumnya.
Sebenarnya menyita energi dan waktu kalau membahas sisi negatif di organisasi sepakbola Indonesia itu. Tapi tak ada pilihan lain, karena kondisi PSSI memang harus dikawal dengan kritik untuk menjadi lebih baik. Kalau memang kritik sudah tak mempan, jalan terakhir ya menyerahkan ke Allah SWT.*
(wbs)