Tim DU harus berdarah-darah tanpa investor
A
A
A
Sindonews.com - Kompetisi kasta kedua Divisi Utama tak lama lagi bakal dihelat, yakni mulai pertengahan April ini. Kompetisi di level ini menyuguhkan tantangan ganda bagi para kontestan, yakni prestasi sekaligus kebutuhan finansial untuk mengawal perjalanan tim.
Pemenuhan dana menjadi aspek yang masih menyuguhkan pertanyaan. Sebagai tim profesional, tentunya kontestan Divisi Utama tidak semudah tim Indonesia Super League (ISL) dalam menggaet sponsor. Pemerintah juga tidak lagi boleh campur tangan.
Jika masih ada campur tangan pemerintah daerah, mereka hanya sebatas menjembatani tim dengan pengusaha setempat. Persoalannya, tidak semua daerah memiliki pengusaha yang kuat dalam hal finansial dan mau berkorban untuk sepak bola, misalnya di Jawa Timur.
Solusinya? Paling rasional adalah menggaet investor yang mau 'buang duit' untuk mendanai tim. Investor yang kebanyakan pengusaha, biasanya rela mengguyurkan duitnya, baik sekadar kecintaan kepada sepak bola lokal di daerahnya atau tujuan tertentu.
"Sangat sulit bagi tim level Divisi Utama untuk menggaet sponsor dalam jumlah besar. Paling logis, ya mencari investor, yakni pengusaha atau orang berduit yang mau membiayai tim. Tanpa ada itu, ketersediaan dana ya begitu-begitu saja," kata Hadi Santoso, pengamat sepak bola Jawa Timur.
Memang dana yang dibutuhkan tim Divisi Utama tidak sebesar ISL. Namun tetap saja itu sulit dipenuhi daerah-daerah yang tidak memiliki potensi sponsorship. Persida Sidoarjo yang datang dari kota industri saja sulit menggali dana dari sponsor.
Persida sejauh ini memakai sistem bapak asuh untuk menggaji pemain di tim asuhan Freddy Muli karena tak memiliki investor. Namun, sistem ini masih seret, karena hingga kini baru Uston Nawawi yang mendapatkan bapak asuh yang bertugas membayar kontraknya, sedangkan pemain lainnya belum.
"Mungkin tim-tim Divisi Utama Jawa Timur bisa melewati musim ini tanpa krisis finansial. Tapi tentunya akan berdarah-darah mencari sumber dana jika tak punya investor. Finansial adalah problem terbesar bagi tim profesional di Indonesia," lanjut Hadi.
Salah satu tim yang sempat mengandalkan investor adalah Persenga Nganjuk. Kontestan Divisi Utama yang musim lalu berlaga di kompetisi LPIS ini datang dari kota kecil yang mayoritas masyarakatnya agraris. Tidak ada perusahaan besar di Nganjuk yang bisa diprospek untuk menjadi sponsor utama.
Untuk memenuhi kebutuhan tim musim lalu, Persenga didanai pengusaha setempat yang sukses berbisnis di Kalimantan. Namun, hingga sekarang belum gamblang siapa yang bakal menanggung kebutuhan tim berjuluk Singo Barong tersebut, di tengah sulitnya mencari sponsor.
Kontestan yang telah menemukan investor adalah Mojokerto Putra FC. Setelah ditinggal investor lama I Gede Widiade, tim berjuluk The Lasmojo kini dikendalikan investor lokal, Ayub Busono. Politisi Demokrat tersebut akan mengawal kebutuhan Mojokerto Putra di Divisi Utama 2014.
Pemenuhan dana menjadi aspek yang masih menyuguhkan pertanyaan. Sebagai tim profesional, tentunya kontestan Divisi Utama tidak semudah tim Indonesia Super League (ISL) dalam menggaet sponsor. Pemerintah juga tidak lagi boleh campur tangan.
Jika masih ada campur tangan pemerintah daerah, mereka hanya sebatas menjembatani tim dengan pengusaha setempat. Persoalannya, tidak semua daerah memiliki pengusaha yang kuat dalam hal finansial dan mau berkorban untuk sepak bola, misalnya di Jawa Timur.
Solusinya? Paling rasional adalah menggaet investor yang mau 'buang duit' untuk mendanai tim. Investor yang kebanyakan pengusaha, biasanya rela mengguyurkan duitnya, baik sekadar kecintaan kepada sepak bola lokal di daerahnya atau tujuan tertentu.
"Sangat sulit bagi tim level Divisi Utama untuk menggaet sponsor dalam jumlah besar. Paling logis, ya mencari investor, yakni pengusaha atau orang berduit yang mau membiayai tim. Tanpa ada itu, ketersediaan dana ya begitu-begitu saja," kata Hadi Santoso, pengamat sepak bola Jawa Timur.
Memang dana yang dibutuhkan tim Divisi Utama tidak sebesar ISL. Namun tetap saja itu sulit dipenuhi daerah-daerah yang tidak memiliki potensi sponsorship. Persida Sidoarjo yang datang dari kota industri saja sulit menggali dana dari sponsor.
Persida sejauh ini memakai sistem bapak asuh untuk menggaji pemain di tim asuhan Freddy Muli karena tak memiliki investor. Namun, sistem ini masih seret, karena hingga kini baru Uston Nawawi yang mendapatkan bapak asuh yang bertugas membayar kontraknya, sedangkan pemain lainnya belum.
"Mungkin tim-tim Divisi Utama Jawa Timur bisa melewati musim ini tanpa krisis finansial. Tapi tentunya akan berdarah-darah mencari sumber dana jika tak punya investor. Finansial adalah problem terbesar bagi tim profesional di Indonesia," lanjut Hadi.
Salah satu tim yang sempat mengandalkan investor adalah Persenga Nganjuk. Kontestan Divisi Utama yang musim lalu berlaga di kompetisi LPIS ini datang dari kota kecil yang mayoritas masyarakatnya agraris. Tidak ada perusahaan besar di Nganjuk yang bisa diprospek untuk menjadi sponsor utama.
Untuk memenuhi kebutuhan tim musim lalu, Persenga didanai pengusaha setempat yang sukses berbisnis di Kalimantan. Namun, hingga sekarang belum gamblang siapa yang bakal menanggung kebutuhan tim berjuluk Singo Barong tersebut, di tengah sulitnya mencari sponsor.
Kontestan yang telah menemukan investor adalah Mojokerto Putra FC. Setelah ditinggal investor lama I Gede Widiade, tim berjuluk The Lasmojo kini dikendalikan investor lokal, Ayub Busono. Politisi Demokrat tersebut akan mengawal kebutuhan Mojokerto Putra di Divisi Utama 2014.
(aww)