Antara Filsafat dan World Cup (1-Bersambung)

Senin, 30 Juni 2014 - 15:17 WIB
Antara Filsafat dan...
Antara Filsafat dan World Cup (1-Bersambung)
A A A
Oleh K.Y. Karnanta (*)

Piala Dunia 2014 menempatkan Brazil sebagai salah satu unggulan kuat, disusul Jerman, Italia, dan Inggris. Sekilas, tak ada yang istimewa. Namun jika dicermati, daftar unggulan tersebut merepresentasikan oposisi biner antara bakat alam dengan mental intelektual; superioritas tim dari Benua Amerika vis a vis Eropa.

Lebih spesifik, perseteruan itu sebenarnya hanya melibatkan tim-tim ''kanon'' (mapan) pemenang
Piala Dunia. Yakni Brazil, Argentina, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris. Apa kiranya yang membuat tim-tim tersebut begitu mendominasi?

Jawaban yang diajukan bisa sangat beragam, dan boleh jadi sudah seringkali diperbincangkan. Tapi adakah yang menengok bahwa dominasi tersebut, khususnya pada tim Eropa, sangat berkaitan dengan sejarah filsafat ilmu pengetahuan dunia?

Tak bisa dimungkiri Eropa memiliki tradisi pemikiran filsafat yang kuat dan mutlak memengaruhi alur sejarah pemikiran dunia. Sebut saja Jerman, Italia, dan Prancis. Bahkan, Jerman dan Prancis selalu bersaing untuk menjadi yang terdepan dalam memproduksi para filsuf. Misalnya, Rene Descartes(1596-1650).

Dengan logosentrismenya, ia berjasa besar meletakkan dasar-dasar modernisme, sekaligus mengakhiri abad pertengahan yang didominasi oleh gereja. Diteruskan oleh nama-nama seperti August Comte dalam bidang sosiologi, Ferdinand de Saussure di bidang bahasa, dan sejumlah nama-nama teknolog lainnya, modernisme telah mencapai kejayaannya.

Kegemilangan modernisme berjalan selama kurang lebih tiga abad dan menghasilkan pelbagai revolusi baik di industri, ekonomi maupun ilmu pengetahuan keseluruhan. Hingga di akhir abad 19 dan permulaan abad 20, pemikiran ini mendapat reaksi keras para filsuf dari Jerman. Sebutlah Si Kontroversia, l Nietzsche (1844-1900), yang konsep Ubermensch-nya (manusia super) direduksi dan disalahartikan oleh Hitler sebagai spirit utama Partai Nazi.

Selain itu ada Herbert Marcuse dan Max Horkheimer yang mendirikan Teori Kritis Mahzab Frankfurt. Para filsuf Jerman ini berpendapat bahwasannya cita-cita humanis Rasionalisme telah gagal dan justru semakin memperlebar tema paradoksal dalam konstruksi masyarakat. Alih-alih memberikan kemajuan bagi peradaban manusia, modernitas malah semakin menjerumuskan manusia dalam keadaan dehumanisasi, pada situasi barbarian.

Misalnya, kapitalisme buta yang mereduksi nilai-nilai kemanusiaan golongan marjinal dan menyebabkan chaos; perang antar etnis bahkan agama, atas nama melawan teroris. Ironisnya, kritik terbesar atas modernisme, yaitu postmodernisme, secara gemilang justru ada di palu godam dekonstruksi milik Jacques Derrida(1930-2005), yang notabene adalah orang Prancis sendiri.

(*) Dosen di Unair & Universitas Ciputra
(aww)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0870 seconds (0.1#10.140)