Antara Filsafat dan World Cup (3-Habis)
A
A
A
Oleh : K.Y. Karnanta (*)
Implikasi dari tradisi berpikir cermat dan filosofis ini ternyata tak hanya tampak dalam permainan, namun juga memberi inspirasi bagi perkembangan sepak bola dunia. Misalnya, aturan-aturan seperti advantage ball, batasan off-side, teknologi garis gawang, hingga kebijakan penetapan kuota untuk masing-masing benua dalam Piala Dunia, bahkan aturan transfer pemain seperti yang ditetapkan FIFA, Eropa memegang peran penting.
Terlepas adakah kepentingan politis lain di balik dominasi Eropa terhadap organisasi sepak bola dunia, hingga kini masih belum tampak adanya resistensi secara signifikan dari tim-tim benua lain.
Baik dalam segi permainan maupun pemikiran, tak bisa dipungkiri bahwa Asia, Afrika dan Australia masih sulit melepaskan diri dari terminologi bangsa bekas jajahan, dan masih terhegemoni oleh tradisi kuat negara-negara penjajahnya dahulu.
Betapapun, perbedaan tradisi dan latar belakang antara tim dari benua Amerika dan Eropa terbukti sangat mempengaruhi eksistensi, gaya, dan filosofi permainan. Dari sepak bola jalanan, Brasil dan Argentina mampu melahirkan filsuf-filsuf lapangan hijau seperti Pele, Maradona atau yang teranyar Ronaldinho.
Dengan tradisi ''sekolahan” yang kuat, Eropa melahirkan Franz Beckenbauer, Zinedine Zidane, Bobby Charlton, Paolo Rossi dll. Piala Dunia 2014 akan menjawab, apakah bakat hebat ataukah mental intelektual yang lebih penting dalam sepak bola saat ini.
Khusus untuk Prancis dan Jerman, pertemuan antara keduanya juga berarti ajang pembuktian, siapa yang lebih tangguh dalam bidang pemikiran. Mereka berdua tentu ingin menjawab komentar sinis dari kecenderungan masyarakat kontemporer yang menganggap filsafat tak lebih dari omong kosong; luar biasa pada tataran pemikiran (strategi) namun mandul dari segi praksis (gol). Seperti apa hasilnya nanti, hanya peluit wasit yang memutuskan.
(*) Penulis adalah Dosen Universitas Airlangga dan Universitas Ciputra
Implikasi dari tradisi berpikir cermat dan filosofis ini ternyata tak hanya tampak dalam permainan, namun juga memberi inspirasi bagi perkembangan sepak bola dunia. Misalnya, aturan-aturan seperti advantage ball, batasan off-side, teknologi garis gawang, hingga kebijakan penetapan kuota untuk masing-masing benua dalam Piala Dunia, bahkan aturan transfer pemain seperti yang ditetapkan FIFA, Eropa memegang peran penting.
Terlepas adakah kepentingan politis lain di balik dominasi Eropa terhadap organisasi sepak bola dunia, hingga kini masih belum tampak adanya resistensi secara signifikan dari tim-tim benua lain.
Baik dalam segi permainan maupun pemikiran, tak bisa dipungkiri bahwa Asia, Afrika dan Australia masih sulit melepaskan diri dari terminologi bangsa bekas jajahan, dan masih terhegemoni oleh tradisi kuat negara-negara penjajahnya dahulu.
Betapapun, perbedaan tradisi dan latar belakang antara tim dari benua Amerika dan Eropa terbukti sangat mempengaruhi eksistensi, gaya, dan filosofi permainan. Dari sepak bola jalanan, Brasil dan Argentina mampu melahirkan filsuf-filsuf lapangan hijau seperti Pele, Maradona atau yang teranyar Ronaldinho.
Dengan tradisi ''sekolahan” yang kuat, Eropa melahirkan Franz Beckenbauer, Zinedine Zidane, Bobby Charlton, Paolo Rossi dll. Piala Dunia 2014 akan menjawab, apakah bakat hebat ataukah mental intelektual yang lebih penting dalam sepak bola saat ini.
Khusus untuk Prancis dan Jerman, pertemuan antara keduanya juga berarti ajang pembuktian, siapa yang lebih tangguh dalam bidang pemikiran. Mereka berdua tentu ingin menjawab komentar sinis dari kecenderungan masyarakat kontemporer yang menganggap filsafat tak lebih dari omong kosong; luar biasa pada tataran pemikiran (strategi) namun mandul dari segi praksis (gol). Seperti apa hasilnya nanti, hanya peluit wasit yang memutuskan.
(*) Penulis adalah Dosen Universitas Airlangga dan Universitas Ciputra
(aww)