PD Cara Buruk Menilai Kualitas Pemain
A
A
A
SAO PAULO - Piala Dunia 2014 di Brasil tak lama lagi bakal usai. Kendati hanya akan tinggal kenangan, namun masih ada tahapan lain yang menjadi rentetan Piala Dunia. Ya, transfer pemain. Sebuah tradisi yang selalu mengikuti turnamen empat tahunan ini. Ibarat sebuah toko baju, Piala Dunia (PD) adalah etalase yang memajang deretan pakaian beraneka jenis.
Pakaian dengan mutu yang berbeda. Ada yang kualitasnya bagus, nyaman dipakai, serta tentu saja awet. Ada pula yang kelihatannya bagus, tapi kadung dibeli ternyata luntur atau tidak cocok dipakai. Hampir sama seperti itu, membeli pemain berdasar penampilan di Piala Dunia sebenarnya cukup membingungkan.
Jika beruntung, maka 'barang' yang dibawa pulang bisa mendatangkan senyum kepuasan. Sayang lebih banyak yang buntung. Hanya sedikit transfer pemain yang sukses setelah turnamen, karena kebanyakan transfer lebih didasari 'gelap mata' atau berdasar 'cinta buta'. Cinta berlandas pesona sesaat.
Ironis tapi logis, contoh nyata adalah Guillermo Ochoa. Dia sekarang ini menjadi rebutan klub setelah tampil menawan di empat pertandingan Piala Dunia 2014 bersama Meksiko. Melihat ke belakang, dia bukan siapa-siapa. Musim lalu hanya bermain untuk klub papan bawah Prancis Ajaccio.
Permainan di babak kualifikasi Piala Dunia 2014 juga tidak istimewa dan malah nyaris kalah dengan kiper Meksiko lainnya Jesus Corona. Hanya karena empat laga, Ochoa bisa mengubah pendapat orang sekaligus harga servisnya secara drastis di pasar transfer. Pertanyaannya, siapa yang menjamin kualitas Ochoa tidak luntur setelah dibawa pulang?
Apakah bisa dikatakan bahwa Ocha yang bermain seperti itu kualitasnya lebih baik dari Iker Casillas yang pulang lebih dulu seusai fase grup? Di sinilah letak persoalannya. Level pemain seperti Ochoa sangat sulit dideteksi. Samar dan seperti fatamorgana. Mungkin ini ada korelasinya dengan ucapan Sir Alex Ferguson di bawah ini.
“Kadang-kadang para pemain sangat termotivasi dan menyiapkan diri dengan baik saat bermain di Piala Dunia maupun Piala Eropa. Tapi setelah itu, mereka kembali ke level rendah,” kata Sir Alex Ferguson. Eks pelatih Manchester United itu pernah kapok ketika mendatangkan Jordy Cruyff dan Karel Poborsky selepas Piala Eropa 1996.
Layak juga ditanyakan kepada Liverpool soal pembelian Salif Diao dan El Hadji Diouf yang dibungkus setelah Senegal menembus perempatfinal Piala Dunia 2002. Satu musim berikutnya kedua pemain itu sudah diobral dengan harga miring. Sebabnya ya karena luntur itu tadi.
Real Betis juga pernah mengalami nasib serupa ketika membeli Denilson dengan rekor 21,5 juta Poundsterling seusai Piala Dunia 1998. Empat tahun ke belakang, Tottenham Hotspurs pernah 'terperosok' setelah membeli striker Steaua Bucharest Ilie Dumitrescu setelah bermain apik di Piala Dunia 1994 Amerika Serikat.
Simon Kuper, penulis buku sekaligus kolumnis sepakbola, menyebut transfer berdasar Piala Dunia tidak rasional. Turnamen seperti Piala Dunia adalah parameter terburuk dalam melihat nilai transfer pemain. Menurut Simon, membeli bintang di Piala Dunia hanya sekadar 'membeli bintang', tidak lebih.
“Banyak transfer yang hanya sebatas untuk memuaskan supporter, sponsor, serta media lokal. Membeli pemain bintang di Piala Dunia,” demikian Simon Kuper, “memberikan ekspektasi dan gairah sebelum mengawali musim baru. Gairah dan harapan yang hampir sama rasanya dengan memenangi sesuatu.” Walau pun harapan tersebut akhirnya palsu.
Jika pada Piala Dunia 2002 Senegal menjadi tim dengan transfer value terbaik setelah turnamen, sepanjang Piala Dunia 2014 ini muncul Kosta Rika. Dunia dihipnotis oleh permainan Kosta Rika yang menembus perempatfinal sebelum akhirnya disingkirkan Belanda di perempatfinal.
Striker Kosta Rika Joel Campbell, pemain Arsenal yang bahkan belum pernah bermain untuk Arsenal, tiba-tiba menjadi salah satu target transfer potensial. Klub-klub sudah tidak peduli bagaimana sepak terjang dia yang 'hanya' menjadi pemain pinjaman dalam tiga musim terakhir. Padahal dia hanya mencetak sebiji gol dari lima laga.
Arsene Wenger, Pelatih Arsenal, tidak pernah mendapatkan pengalaman buruk di bursa transfer setelah Piala Dunia. Dia malah beruntung pernah membeli Gilberto Silva seusai Piala Dunia 2002 dan menjadi pemain Brasil tersukses di The Gunners. Setelah bertahun-tahun absen, pada edisi ini Wenger kembali melihat etalase Piala Dunia.
“Bukan untuk membeli pemain bintang. Tapi kami sudah memiliki referensi tersendiri,” kata dia. Alexis Sanchez dan Mathieu Debuchy adalah pemain buruan Arsenal dan sebenarnya sudah didekati bahkan sebelum Piala Dunua dimulai. Langkah ini relatif lebih bijak, seperti juga yang ditempuh tetangganya Chelsea.
Chelsea sudah mendapatkan tandatangan Cesc Fabregas sebelum Piala Dunia, serta membeli Diego Costa tanpa melihat bagaimana performanya bersama Spanyol yang gagal total di Brasil. Strategi seperti ini rata-rata ditempuh klub besar yang tidak mau 'berjudi' dengan membeli pemain antah berantah.
Mungkin ada baiknya mengikuti saran Simon Kuper, bahwa keputusan terbaik melakukan transfer di Piala Dunia adalah dengan melawan arus. Artinya mencari pemain bintang yang tidak sukses atau kontroversial di turnamen tersebut dengan harapan harga bisa turun. Misalnya Luis Suarez karena kasus 'drakula'nya, atau Mario Balotelli yang gagal bersinar.
Pakaian dengan mutu yang berbeda. Ada yang kualitasnya bagus, nyaman dipakai, serta tentu saja awet. Ada pula yang kelihatannya bagus, tapi kadung dibeli ternyata luntur atau tidak cocok dipakai. Hampir sama seperti itu, membeli pemain berdasar penampilan di Piala Dunia sebenarnya cukup membingungkan.
Jika beruntung, maka 'barang' yang dibawa pulang bisa mendatangkan senyum kepuasan. Sayang lebih banyak yang buntung. Hanya sedikit transfer pemain yang sukses setelah turnamen, karena kebanyakan transfer lebih didasari 'gelap mata' atau berdasar 'cinta buta'. Cinta berlandas pesona sesaat.
Ironis tapi logis, contoh nyata adalah Guillermo Ochoa. Dia sekarang ini menjadi rebutan klub setelah tampil menawan di empat pertandingan Piala Dunia 2014 bersama Meksiko. Melihat ke belakang, dia bukan siapa-siapa. Musim lalu hanya bermain untuk klub papan bawah Prancis Ajaccio.
Permainan di babak kualifikasi Piala Dunia 2014 juga tidak istimewa dan malah nyaris kalah dengan kiper Meksiko lainnya Jesus Corona. Hanya karena empat laga, Ochoa bisa mengubah pendapat orang sekaligus harga servisnya secara drastis di pasar transfer. Pertanyaannya, siapa yang menjamin kualitas Ochoa tidak luntur setelah dibawa pulang?
Apakah bisa dikatakan bahwa Ocha yang bermain seperti itu kualitasnya lebih baik dari Iker Casillas yang pulang lebih dulu seusai fase grup? Di sinilah letak persoalannya. Level pemain seperti Ochoa sangat sulit dideteksi. Samar dan seperti fatamorgana. Mungkin ini ada korelasinya dengan ucapan Sir Alex Ferguson di bawah ini.
“Kadang-kadang para pemain sangat termotivasi dan menyiapkan diri dengan baik saat bermain di Piala Dunia maupun Piala Eropa. Tapi setelah itu, mereka kembali ke level rendah,” kata Sir Alex Ferguson. Eks pelatih Manchester United itu pernah kapok ketika mendatangkan Jordy Cruyff dan Karel Poborsky selepas Piala Eropa 1996.
Layak juga ditanyakan kepada Liverpool soal pembelian Salif Diao dan El Hadji Diouf yang dibungkus setelah Senegal menembus perempatfinal Piala Dunia 2002. Satu musim berikutnya kedua pemain itu sudah diobral dengan harga miring. Sebabnya ya karena luntur itu tadi.
Real Betis juga pernah mengalami nasib serupa ketika membeli Denilson dengan rekor 21,5 juta Poundsterling seusai Piala Dunia 1998. Empat tahun ke belakang, Tottenham Hotspurs pernah 'terperosok' setelah membeli striker Steaua Bucharest Ilie Dumitrescu setelah bermain apik di Piala Dunia 1994 Amerika Serikat.
Simon Kuper, penulis buku sekaligus kolumnis sepakbola, menyebut transfer berdasar Piala Dunia tidak rasional. Turnamen seperti Piala Dunia adalah parameter terburuk dalam melihat nilai transfer pemain. Menurut Simon, membeli bintang di Piala Dunia hanya sekadar 'membeli bintang', tidak lebih.
“Banyak transfer yang hanya sebatas untuk memuaskan supporter, sponsor, serta media lokal. Membeli pemain bintang di Piala Dunia,” demikian Simon Kuper, “memberikan ekspektasi dan gairah sebelum mengawali musim baru. Gairah dan harapan yang hampir sama rasanya dengan memenangi sesuatu.” Walau pun harapan tersebut akhirnya palsu.
Jika pada Piala Dunia 2002 Senegal menjadi tim dengan transfer value terbaik setelah turnamen, sepanjang Piala Dunia 2014 ini muncul Kosta Rika. Dunia dihipnotis oleh permainan Kosta Rika yang menembus perempatfinal sebelum akhirnya disingkirkan Belanda di perempatfinal.
Striker Kosta Rika Joel Campbell, pemain Arsenal yang bahkan belum pernah bermain untuk Arsenal, tiba-tiba menjadi salah satu target transfer potensial. Klub-klub sudah tidak peduli bagaimana sepak terjang dia yang 'hanya' menjadi pemain pinjaman dalam tiga musim terakhir. Padahal dia hanya mencetak sebiji gol dari lima laga.
Arsene Wenger, Pelatih Arsenal, tidak pernah mendapatkan pengalaman buruk di bursa transfer setelah Piala Dunia. Dia malah beruntung pernah membeli Gilberto Silva seusai Piala Dunia 2002 dan menjadi pemain Brasil tersukses di The Gunners. Setelah bertahun-tahun absen, pada edisi ini Wenger kembali melihat etalase Piala Dunia.
“Bukan untuk membeli pemain bintang. Tapi kami sudah memiliki referensi tersendiri,” kata dia. Alexis Sanchez dan Mathieu Debuchy adalah pemain buruan Arsenal dan sebenarnya sudah didekati bahkan sebelum Piala Dunua dimulai. Langkah ini relatif lebih bijak, seperti juga yang ditempuh tetangganya Chelsea.
Chelsea sudah mendapatkan tandatangan Cesc Fabregas sebelum Piala Dunia, serta membeli Diego Costa tanpa melihat bagaimana performanya bersama Spanyol yang gagal total di Brasil. Strategi seperti ini rata-rata ditempuh klub besar yang tidak mau 'berjudi' dengan membeli pemain antah berantah.
Mungkin ada baiknya mengikuti saran Simon Kuper, bahwa keputusan terbaik melakukan transfer di Piala Dunia adalah dengan melawan arus. Artinya mencari pemain bintang yang tidak sukses atau kontroversial di turnamen tersebut dengan harapan harga bisa turun. Misalnya Luis Suarez karena kasus 'drakula'nya, atau Mario Balotelli yang gagal bersinar.
(akr)