Musim Teringan Sekaligus Terberat
A
A
A
BANDUNG - Indonesia Super League (ISL) 2014 telah usai dengan melahirkan Persib Bandung sebagai juara baru. Sepanjang format ISL diberlakukan sejak 2007-2008, Persib adalah tim keempat yang menjadi juara setelah Persipura Jayapura, Arema Indonesia dan Sriwijaya FC.
Munculnya Persib sebagai kampiun memberikan nuansa segar musim ini setelah sekian lama dikuasai tiga tim saja. Ini membuktikan tidak ada satu tim yang benar-benar spesialis juara, walau yang tampil partai akhir masih tim itu-itu saja.
Beruntung kita masih diberi kesempatan melihat kejutan Pelita Bandung Raya (PBR) yang menyodok sampai ke semifinal. Satu-satunya tim yang di luar prediksi bisa menembus empat besar walau bukan tim dengan kekuatan bintang. Angkat topi untuk PBR.
Secara keseluruhan, musim 2014 bisa disebut musim paling ringan sejak format nama ISL diperkenalkan. Dibagi menjadi dua wilayah dengan peserta 22 tim, hanya 20 pertandingan yang dimainkan masing-masing kontestan. Jumlah yang irit untuk semusim kompetisi.
Itu menguntungkan dari aspek finansial tim karena pengeluaran untuk laga tandang tidak terlalu besar, walau masih ada yang kebangetan karena menunggak gaji pemain. Beberapa tim 'kere' agak tertolong dengan format ini, sebut saja Persik Kediri.
Persik saya jadikan contoh karena memiliki permasalahan yang kompleks. Saya tak yakin Macan Putih akan bertahan di ISL jika bermain dengan satu wilayah, yakni harus melakoni laga hingga Papua sana. Bermain di seputaran Jawa dan Sumatera masih tergolong ringan.
Hal positif lain adalah mulai kerasnya penegakan hukum di kompetisi. Komisi Disiplin (Komdis) sudah banyak memberikan sanksi, baik untuk supporter, klub, maupun pemain dan official. Ini harus terus ditingkatkan walau masih terlalu banyak kekurangan.
Saya sering mendengar Komdis dinilai kurang begini-begitu dalam menjatuhkan sanksi. Terlepas dari penilaian banyak pihak, saya pribadi berharap Komdis lebih keras dan tanpa kompromi lagi dalam memberikan sanksi sesuai porsi.
Irit finansial dan penegakan hukum itulah yang menjadi nilai positif dari kompetisi musim ini. Sedangkan aspek lainnya lebih banyak menyajikan situasi negatif. Wasit misalnya, masih terlampau sering melakukan keputusan kontroversial.
Saya pernah membaca wasit-wasit sempat dikarantina sebelum memimpin di ISL. Melihat banyaknya kontroversi musim ini, salah seorang rekan supporter sempat berkelakar bahwa wasitnya salah dikarantina di Balai Karantina Pertanian.
Hal lain yang cukup mengganggu adalah terlalu banyak libur pertandingan dalam semusim. Sejatinya dua wilayah bisa diselesaikan dalam waktu empat bulan saja, tapi nyatanya mengular sejak Februari hingga Oktober.
Berbagai agenda, baik tim nasional, hajatan politik, hingga hari raya, membuat ISL seperti sembelit. Sulit mempertahankan performa tim dengan kompetisi seperti itu. Beberapa tim pun grafiknya naik turun, karena tentu mereka tetap butuh bertanding saat libur kompetisi.
Kondisi lain yang kurang asyik adalah format yang mengerucut ke delapan besar, semifinal dan final. Mungkin bobot kompetisi terus menanjak dengan pemberlakuan sistem tersebut. Namun tidak benar-benar mewakili nafas kompetisi.
Sebuah tim yang konsisten sepanjang musim, bisa terpeleset di satu pertandingan. Sebab semifinal dan final berlaku single game alias pertandingan tunggal. Saya merasakan babak semifinal dan final tak lebih dari sebuah turnamen.
Atmosfir kompetisi sudah hilang di fase tersebut dan serasa menyaksikan turnamen pra musim seperti Inter Island Cup. Situasi seperti ini memang tak terhindarkan karena format dua wilayah harus tetap mempertemukan tim-tim terbaik dari wilayah berbeda.
Saya mengambil contoh Persebaya Surabaya dan Arema Cronus. Pada fase wilayah, mereka sangat mudah mengakhiri dua putaran dengan status juara grup. Hanya dua kali menelan kekalahan dari 20 pertandingan adalah rekor yang fantastis.
Sayang menjelang fase akhir mereka menelan kenyataan pahit. Persebaya drop saat memasuki babak delapan besar, sedangkan Arema Cronus oleng di semifinal. Seandainya kompetisi digelar satu wilayah, bukan tak mungkin satu dari dua tim itu finish paling puncak.
Jadi, untuk kompetisi reguler, format satu wilayah memang lebih mewakili nafas ISL. Kembalinya format satu wilayah pada musim 2015 nanti bakal benar-benar menjadi ujian bagi tim yang bermodal pas-pasan, baik secara kekuatan tim maupun saldo di rekening.
Bermain marathon dengan peserta 20 tim, berarti ada dua kali lipat pertandingan tandang, mulai Jayapura hingga Padang. Jika modal kompetisi musim depan sama dengan musim ini, siap-siap saja tidak bisa membayar gaji pemain di pertengahan musim.
Saya tidak skeptis, tapi begitulah fakta di lapangan. Sebuah tim terlihat segar bugar di awal musim, acara launching meriah, tapi menutup kompetisi dengan gerutu pemain yang gajinya belum dibayar. Prediksi saya musim depan ada minimal empat tim yang megap-megap dalam mendanai tim.*
Munculnya Persib sebagai kampiun memberikan nuansa segar musim ini setelah sekian lama dikuasai tiga tim saja. Ini membuktikan tidak ada satu tim yang benar-benar spesialis juara, walau yang tampil partai akhir masih tim itu-itu saja.
Beruntung kita masih diberi kesempatan melihat kejutan Pelita Bandung Raya (PBR) yang menyodok sampai ke semifinal. Satu-satunya tim yang di luar prediksi bisa menembus empat besar walau bukan tim dengan kekuatan bintang. Angkat topi untuk PBR.
Secara keseluruhan, musim 2014 bisa disebut musim paling ringan sejak format nama ISL diperkenalkan. Dibagi menjadi dua wilayah dengan peserta 22 tim, hanya 20 pertandingan yang dimainkan masing-masing kontestan. Jumlah yang irit untuk semusim kompetisi.
Itu menguntungkan dari aspek finansial tim karena pengeluaran untuk laga tandang tidak terlalu besar, walau masih ada yang kebangetan karena menunggak gaji pemain. Beberapa tim 'kere' agak tertolong dengan format ini, sebut saja Persik Kediri.
Persik saya jadikan contoh karena memiliki permasalahan yang kompleks. Saya tak yakin Macan Putih akan bertahan di ISL jika bermain dengan satu wilayah, yakni harus melakoni laga hingga Papua sana. Bermain di seputaran Jawa dan Sumatera masih tergolong ringan.
Hal positif lain adalah mulai kerasnya penegakan hukum di kompetisi. Komisi Disiplin (Komdis) sudah banyak memberikan sanksi, baik untuk supporter, klub, maupun pemain dan official. Ini harus terus ditingkatkan walau masih terlalu banyak kekurangan.
Saya sering mendengar Komdis dinilai kurang begini-begitu dalam menjatuhkan sanksi. Terlepas dari penilaian banyak pihak, saya pribadi berharap Komdis lebih keras dan tanpa kompromi lagi dalam memberikan sanksi sesuai porsi.
Irit finansial dan penegakan hukum itulah yang menjadi nilai positif dari kompetisi musim ini. Sedangkan aspek lainnya lebih banyak menyajikan situasi negatif. Wasit misalnya, masih terlampau sering melakukan keputusan kontroversial.
Saya pernah membaca wasit-wasit sempat dikarantina sebelum memimpin di ISL. Melihat banyaknya kontroversi musim ini, salah seorang rekan supporter sempat berkelakar bahwa wasitnya salah dikarantina di Balai Karantina Pertanian.
Hal lain yang cukup mengganggu adalah terlalu banyak libur pertandingan dalam semusim. Sejatinya dua wilayah bisa diselesaikan dalam waktu empat bulan saja, tapi nyatanya mengular sejak Februari hingga Oktober.
Berbagai agenda, baik tim nasional, hajatan politik, hingga hari raya, membuat ISL seperti sembelit. Sulit mempertahankan performa tim dengan kompetisi seperti itu. Beberapa tim pun grafiknya naik turun, karena tentu mereka tetap butuh bertanding saat libur kompetisi.
Kondisi lain yang kurang asyik adalah format yang mengerucut ke delapan besar, semifinal dan final. Mungkin bobot kompetisi terus menanjak dengan pemberlakuan sistem tersebut. Namun tidak benar-benar mewakili nafas kompetisi.
Sebuah tim yang konsisten sepanjang musim, bisa terpeleset di satu pertandingan. Sebab semifinal dan final berlaku single game alias pertandingan tunggal. Saya merasakan babak semifinal dan final tak lebih dari sebuah turnamen.
Atmosfir kompetisi sudah hilang di fase tersebut dan serasa menyaksikan turnamen pra musim seperti Inter Island Cup. Situasi seperti ini memang tak terhindarkan karena format dua wilayah harus tetap mempertemukan tim-tim terbaik dari wilayah berbeda.
Saya mengambil contoh Persebaya Surabaya dan Arema Cronus. Pada fase wilayah, mereka sangat mudah mengakhiri dua putaran dengan status juara grup. Hanya dua kali menelan kekalahan dari 20 pertandingan adalah rekor yang fantastis.
Sayang menjelang fase akhir mereka menelan kenyataan pahit. Persebaya drop saat memasuki babak delapan besar, sedangkan Arema Cronus oleng di semifinal. Seandainya kompetisi digelar satu wilayah, bukan tak mungkin satu dari dua tim itu finish paling puncak.
Jadi, untuk kompetisi reguler, format satu wilayah memang lebih mewakili nafas ISL. Kembalinya format satu wilayah pada musim 2015 nanti bakal benar-benar menjadi ujian bagi tim yang bermodal pas-pasan, baik secara kekuatan tim maupun saldo di rekening.
Bermain marathon dengan peserta 20 tim, berarti ada dua kali lipat pertandingan tandang, mulai Jayapura hingga Padang. Jika modal kompetisi musim depan sama dengan musim ini, siap-siap saja tidak bisa membayar gaji pemain di pertengahan musim.
Saya tidak skeptis, tapi begitulah fakta di lapangan. Sebuah tim terlihat segar bugar di awal musim, acara launching meriah, tapi menutup kompetisi dengan gerutu pemain yang gajinya belum dibayar. Prediksi saya musim depan ada minimal empat tim yang megap-megap dalam mendanai tim.*
(wbs)