Teknik, Fisik, Ikhlas

Selasa, 09 Desember 2014 - 07:07 WIB
Teknik, Fisik, Ikhlas
Teknik, Fisik, Ikhlas
A A A
MALANG - "Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja." Kalimat yang sangat dahsyat dari Buya Hamka. Dan saya tergelitik untuk membuat sambungannya.

"Kalau sepak bola sekadar sepak bola, gajah juga sepak bola. " Tapi itu bukan penggambaran untuk sepak bola gajah atau pertandingan yang diatur hasilnya. Saya lebih memakai itu sebagai penggambaran global untuk sepak bola Indonesia.

Di masa pra musim seperti ini adalah momen paling tepat untuk melihat bagaimana rupa pengelolaan sepak bola kita. Fase di mana euforia sekaligus neraka menjadi satu bagi mereka yang terlibat di dalamnya.

Euforia bagi klub yang bisa rakus belanja karena memiliki dompet tebal. Neraka bagi mereka yang bahkan belum memiliki uang sepeser pun untuk mendanai timnya. Persoalan menjadi kompleks bagi sejumlah klub.

Mereka terhimpit dua persoalan, membayar tunggakan gaji sekaligus memikirkan modal musim berikutnya. Situasi yang tak berubah selama bertahun-tahun. Sepak bola yang penuh dengan kebohongan dan pelanggaran profesionalisme.

Apa yang diungkapkan Greg Nwokolo mewakili kondisi sepak bola belakangan ini. Sebuah klub bertindak gagah mengontrak pemain untuk musim depan, tapi tidak terlebih dulu membayar tunggakan gaji di musim sebelumnya.

Bukan Greg saja yang mengalami seperti ini. Banyak pemain yang bahkan harus melupakan gaji yang tak pernah terbayar bekas klubnya. Praktis, pemain sepak bola sekarang ini tak hanya modal teknik dan fisik, tapi juga ikhas.

Ikhlas jika sewaktu-waktu klubnya kehabisan bensin dan tak membayar tunggakan gajinya. Situasi yang rumit dan mau tak mau harus dijalani. Tidak ada jaminan sama sekali bagi pemain seperti yang tertulis di klausul kontrak.

Mereka bermain di tim yang sekadar hidup, atau tepatnya nyaris hidup. Bulan-bulan pertama kompetisi dijalani seolah tak ada masalah, separuh musim ke belakang bakal kembang kempis. Logikanya, jika di akhir musim saja banyak tanggungan, bagaimana bisa mencukupi awal musim berikutnya.

Sedangkan kreativitas sebagian klub dalam mencari dana sangat terbatas. Mereka hanya mengandalkan sponsorship belaka, itu pun sangat fluktiatif setiap tahunnya. Tidak ada diversifikasi usaha lainnya untuk meraup dana.

Situasi ini kemudian menjadikan manajemen gelap mata. Saya pernah ngobrol dengan salah satu orang di manajemen tim Indonesia Super League (ISL). Menurutnya, pernah ada pertandingan yang dimanfaatkan untuk menggaji pemain.

Maksudnya, timnya sengaja 'melepas' pertandingan ketika di klasemen timnya dalam posisi aman. Imbalannya adalah lawan membayar tunggakan gaji selama sebulan. Sebagai jurnalis saya malah kebingungan.

Tangan saya gatal untuk menulis soal itu karena masuk ranah match fixing. Tapi saya tak memiliki bukti konkret, misalnya berupa transaksi keuangan kedua tim, dan tentunya saya akan dianggap mengada-ada jika berbekal omongan belaka.

Itu hanya sekadar contoh bahwa sepak bola Indonesia masih sangat konvensional alias kuno. Saya tak menyalahkan tim hingga kondisinya begitu, karena semuanya tentu ikut andil hingga kondisi ini menjadi sebuah tradisi.

Terutama PT Liga Indonesia yang setiap tahun, katanya, melakukan verifikasi untuk kontestan kompetisi profesional. Tidak ada efek apa-apa dari yang namanya verifikasi. Saya semula menyangka verifikasi itu adalah kontrol terhadap klub, salah satunya finansial.

Kalau disebut kontrol, lantas kenapa keuangan klub seperti borok yang terinfeksi dan tak kunjung sembuh? Idealnya verifikasi finansial menjaga keuangan klub agar tetap stabil sepanjang musim, yang pada akhirnya juga melindungi pemain.

Saya sampai sekarang yakin proses verifikasi hanya sekadar rutinitas, sekadar terlihat pantas agar seolah-seolah seperti kompetisi beneran. Berkunjung ke stadion, tanya ini-itu, selesai sudah yang namanya verifikasi.

Sudah begitu, klub yang melakukan pelanggaran administrasi alias nunggak gaji pemain tidak diberi sanksi apa pun. Jadi proses dan penegakan aturan sama-sama bodongnya.

Kembali ke kalimat di atas tadi, kita ini baru sekadar sepak bola. Tidak ada progres apa-apa walau penyatuan liga sudah dilakukan. Tim nasional semakin loyo, klub banyak yang kere, pemain was-was gajinya tak terbayar.

Salah satu tim ISL mengeluh belum memiliki sepeser pun, padahal kompetisi dimulai Februari dan sekarang sudah hampir pertengahan Desember. Jelas sebuah gambaran sebuah klub yang tanpa konsep dan perencanaan jelas.

Saya yakin seyakin-yakinnya semua kontestan ISL bakal dinyatakan memenuhi syarat untuk berlaga di kompetisi 2015. Borok berupa tunggakan gaji dan rekening klub yang kosong melompong akan diabaikan begitu saja. Karena kita sama dengan gajah.*
(wbs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4510 seconds (0.1#10.140)