Jangan Sepelekan Kontinuitas
A
A
A
MALANG - Satu dekade silam, sepak bola Indonesia sering diwarnai kejutan-kejutan. Terutama di pentas tertinggi yang ketika itu masih bernama Divisi Utama. Gelar juara menjadi misteri yang susah ditebak alias diprediksi. Bahkan terasa seperti sulapan.
Salah satu contoh adalah Persik Kediri yang juara pada 2003 setelah hanya semusim promosi ke level teratas. Ketika belum mengenal yang namanya Indonesia Super League (ISL), sebuah tim bisa juara dengan instant.
Tinggal siapkan modal, beli pemain bagus, gelar juara sudah di depan mata. Di sini saya tidak menulis soal berbagai anggapan adanya faktor non-teknis yang sering disebut-sebut memuluskan jalan sebuah tim.
Saya mengamati perubahan kultur di kompetisi level tertinggi. Cara mendapatkan trofi secara instant tersebut sudah kuno. Berdasar data dan fakta beberapa musim terakhir di ISL, perubahan besar terjadi di persaingan memburu gelar.
Mari tengok dalam beberapa belakangan ini. Tim yang juara adalah mereka yang bekerja secara kontinu. Membangun tim adalah sebuah rangkaian pekerjaan, musim ini masih ada ikatan dengan musim berikutnya.
Persib Bandung dan Persipura Jayapura saya comot sebagai contoh. Dua tim yang bergantian menjadi juara 2013 dan 2014, rasanya bukan kebetulan mereka berada di sana. Mereka memanen apa yang ditanam dalam jangka waktu tak pendek.
Persipura dan Persib adalah dua tim yang tidak mengalami perubahan drastis dalam beberapa musim. Persipura waktu itu tetap percaya dengan Jacksen F Tiago dan sekuat tenaga menjaga aset mereka alias komposisi tim.
Persib juga demikian. Saat Djadjang Nurdjaman gagal di musim 2013, mereka bisa menahan diri untuk bersabar dan tetap memakainya. Sekaligus tidak memermak waiah tim terlalu besar. Bingo! Akhirnya Persib merasakan juara ISL.
Bandingkan Arema Cronus yang hanya spesialis nyaris di dua musim terakhir. Status sebagai tim kaya tak lantas menyulap Singo Edan sebagai juara. Arema terlalu banyak mengalami perubahan, termasuk sosok pelatih dan pemain-pemain penting.
Ini layak menjadi inspirasi tim-tim ISL yang ingin mapan sebagai pemburu gelar. Pekerjaan di sepak bola dipengaruhi kontinuitas. Tidak cukup dengan berjudi membentuk tim baru setiap awal musim, kemudian juara di akhir musim.
Arema rupanya sudah memahami itu. Menyambut musim 2015 tidak ada perubahan signifikan, termasuk pelatih Suharno yang tetap berada di posisinya dan dipertahankannya aset-aset vital. Ini sebuah langkah positif menurut saya.
Arema sudah memiliki pola pikir maju, seperti yang pernah dilakukan Persipura dan Persib Bandung. Saya tak akan terkejut jika musim depan Singo Edan akan lebih mapan dan lebih serius sebagai penantang juara.
Tapi bukan berarti mudah menjadi juara. Persib dan Persipura masih memiliki kekuatan tak jauh dengan musim kemarin. Tim seperti Persija Jakarta, Sriwijaya FC, Barito Putra, sangat aktif di pasar transfer dan akan memberikan dimensi baru ISL 2015.
Bandingkan dengan tim-tim lain. Di Jawa Timur saja, hampir semua tim ISL melakukan perubahan besar. Pemain musim sebelumnya bahkan nyaris habis, kemudian diganti dengan skuad baru sekaligus pelatih baru.
Hampir tak ada kontinuitas dalam mengelola sebuah tim, konsep selalu berubah tiap musimnya. Sudah begitu targetnya muluk. Persebaya Surabaya misalnya, dengan dana yang lumayan, idealnya mereka lebih memiliki kesabaran dalam mengarungi ISL.
Ketika gagal menembus semifinal ISL 2014, semua lantas dianggap buruk. Staf pelatih berganti wajah, pemain-pemain penting juga dibiarkan lepas. Ini contoh buruk dan khas sepak bola Indonesia. Padahal model pengelolaan seperti ini harusnya mulai ditinggalkan.
Hanya tim medioker yang setiap musim berganti pemain secara besar-besaran. Jika ingin lebih solid di musim berikutnya, idealnya hanya dua-tiga pemain utama yang diperbolehkan pergi. Kecuali jika memang seluruh tim dianggap buruk.
Pada akhirnya tim medioker hanya berharap keberuntungan, bahwa tim barunya nanti langsung nyetel dan kompetitif. Sama saja dengan berjudi. Kalau berhasil ya rezeki, kalau gagal ya 'tidur di pasar'. Memang menjaga konsistensi itu juga dipengaruhi banyak aspek.
Paling krusial adalah aspek finansial. Kontinuitas dalam membangun tim tentu membutuhkan modal yang meyakinkan. Sebuah klub butuh meyakinkan pemainnya untuk bertahan dengan situasi keuangan yang positif.
Pendapat saya soal pengelolaan tim secara kontinu tadi jelas tidak berlaku untuk semua tim. Saya tahu ada tim yang kesulitan mempertahankan pemainnya karena adanya masalah finansial atau tunggakan gaji yang membuat pemain tak betah.*
Salah satu contoh adalah Persik Kediri yang juara pada 2003 setelah hanya semusim promosi ke level teratas. Ketika belum mengenal yang namanya Indonesia Super League (ISL), sebuah tim bisa juara dengan instant.
Tinggal siapkan modal, beli pemain bagus, gelar juara sudah di depan mata. Di sini saya tidak menulis soal berbagai anggapan adanya faktor non-teknis yang sering disebut-sebut memuluskan jalan sebuah tim.
Saya mengamati perubahan kultur di kompetisi level tertinggi. Cara mendapatkan trofi secara instant tersebut sudah kuno. Berdasar data dan fakta beberapa musim terakhir di ISL, perubahan besar terjadi di persaingan memburu gelar.
Mari tengok dalam beberapa belakangan ini. Tim yang juara adalah mereka yang bekerja secara kontinu. Membangun tim adalah sebuah rangkaian pekerjaan, musim ini masih ada ikatan dengan musim berikutnya.
Persib Bandung dan Persipura Jayapura saya comot sebagai contoh. Dua tim yang bergantian menjadi juara 2013 dan 2014, rasanya bukan kebetulan mereka berada di sana. Mereka memanen apa yang ditanam dalam jangka waktu tak pendek.
Persipura dan Persib adalah dua tim yang tidak mengalami perubahan drastis dalam beberapa musim. Persipura waktu itu tetap percaya dengan Jacksen F Tiago dan sekuat tenaga menjaga aset mereka alias komposisi tim.
Persib juga demikian. Saat Djadjang Nurdjaman gagal di musim 2013, mereka bisa menahan diri untuk bersabar dan tetap memakainya. Sekaligus tidak memermak waiah tim terlalu besar. Bingo! Akhirnya Persib merasakan juara ISL.
Bandingkan Arema Cronus yang hanya spesialis nyaris di dua musim terakhir. Status sebagai tim kaya tak lantas menyulap Singo Edan sebagai juara. Arema terlalu banyak mengalami perubahan, termasuk sosok pelatih dan pemain-pemain penting.
Ini layak menjadi inspirasi tim-tim ISL yang ingin mapan sebagai pemburu gelar. Pekerjaan di sepak bola dipengaruhi kontinuitas. Tidak cukup dengan berjudi membentuk tim baru setiap awal musim, kemudian juara di akhir musim.
Arema rupanya sudah memahami itu. Menyambut musim 2015 tidak ada perubahan signifikan, termasuk pelatih Suharno yang tetap berada di posisinya dan dipertahankannya aset-aset vital. Ini sebuah langkah positif menurut saya.
Arema sudah memiliki pola pikir maju, seperti yang pernah dilakukan Persipura dan Persib Bandung. Saya tak akan terkejut jika musim depan Singo Edan akan lebih mapan dan lebih serius sebagai penantang juara.
Tapi bukan berarti mudah menjadi juara. Persib dan Persipura masih memiliki kekuatan tak jauh dengan musim kemarin. Tim seperti Persija Jakarta, Sriwijaya FC, Barito Putra, sangat aktif di pasar transfer dan akan memberikan dimensi baru ISL 2015.
Bandingkan dengan tim-tim lain. Di Jawa Timur saja, hampir semua tim ISL melakukan perubahan besar. Pemain musim sebelumnya bahkan nyaris habis, kemudian diganti dengan skuad baru sekaligus pelatih baru.
Hampir tak ada kontinuitas dalam mengelola sebuah tim, konsep selalu berubah tiap musimnya. Sudah begitu targetnya muluk. Persebaya Surabaya misalnya, dengan dana yang lumayan, idealnya mereka lebih memiliki kesabaran dalam mengarungi ISL.
Ketika gagal menembus semifinal ISL 2014, semua lantas dianggap buruk. Staf pelatih berganti wajah, pemain-pemain penting juga dibiarkan lepas. Ini contoh buruk dan khas sepak bola Indonesia. Padahal model pengelolaan seperti ini harusnya mulai ditinggalkan.
Hanya tim medioker yang setiap musim berganti pemain secara besar-besaran. Jika ingin lebih solid di musim berikutnya, idealnya hanya dua-tiga pemain utama yang diperbolehkan pergi. Kecuali jika memang seluruh tim dianggap buruk.
Pada akhirnya tim medioker hanya berharap keberuntungan, bahwa tim barunya nanti langsung nyetel dan kompetitif. Sama saja dengan berjudi. Kalau berhasil ya rezeki, kalau gagal ya 'tidur di pasar'. Memang menjaga konsistensi itu juga dipengaruhi banyak aspek.
Paling krusial adalah aspek finansial. Kontinuitas dalam membangun tim tentu membutuhkan modal yang meyakinkan. Sebuah klub butuh meyakinkan pemainnya untuk bertahan dengan situasi keuangan yang positif.
Pendapat saya soal pengelolaan tim secara kontinu tadi jelas tidak berlaku untuk semua tim. Saya tahu ada tim yang kesulitan mempertahankan pemainnya karena adanya masalah finansial atau tunggakan gaji yang membuat pemain tak betah.*
(wbs)