Mengelola Klub, Membangun Kultur

Minggu, 21 Desember 2014 - 16:55 WIB
Mengelola Klub, Membangun Kultur
Mengelola Klub, Membangun Kultur
A A A
MALANG - "Hal terpenting dalam sepak bola bukan hanya membangun timnya, tapi bagaimana dukungan elemen di sekitarnya." Secarik ungkapan dari mendiang Gandi Yogatama, tokoh sepak bola Malang sekaligus mantan manajer Arema Malang.

Saya tak menyangka kalimat tersebut masih berlaku dan seharusnya menjadi inspirasi hingga saat ini. Sebenarnya Pak Gandi menerjemahkan kalimatnya tersebut dengan cukup sederhana. Manajemen klub akan lebih bersemangat membangun tim jika ada totalias dari supporternya.

Lebih dari itu, kalimat di atas bisa ditafsirkan jauh lebih luas di era sekarang ini. Ketika tim-tim sepak bola tumbuh subur di berbagai kota, tapi tidak benar-benar jelas konsep dan prestasinya. Saya akan mengambil contoh Jawa Timur.

Musim 2015 nanti, akan ada 19 klub profesional di provinsi ini, dengan rincian lima klub Indonesia Super League (ISL) dan 14 klub Divisi Utama. Melihat jumlah itu, secara matematis Jawa Timur akan merajai sepak bola nasional.

Sayang kalkulasi matematis tak berlaku. Klub Jawa Timur yang eksis di orbit tertinggi tetap itu-itu saja. Kota yang gairah sepak bolanya stabil juga itu-itu saja. Kenapa bisa demikian? Saya memiliki teori bahwa itu terkait erat dengan kultur.

Kota yang dihuni klub ISL musim depan, sangat mewakili teori saya tersebut. Lima tim datang dari kota dengan kultur sepak bola yang sudah atau setidaknya pernah terbangun, yakni Malang, Surabaya, Gresik, Lamongan dan Kediri.

Kultur yang saya maksud di sini adalah elemen-elemen pendukung eksistensi klub di luar manajemen. Bentuknya bisa beragam, mulai supporter, antusiasme publik, kemampuan ekonomi daerah, hingga infrastruktur.

Di luar lima kota di atas, Jawa Timur belum memiliki kultur yang memadai. Ada sejumlah kota yang sebenarnya punya antusiasme dan pernah mencicipi level tertinggi, tapi tak didukung aspek lainnya. Jadinya mereka hanya sekadar lewat.

Bisa diambil contoh Persekabpas Pasuruan, Deltras Sidoarjo, Persema Malang, atau Persibo Bojonegoro. Gairah mereka tergantung prestasi tim atau angin-anginan. Tak heran jika akhirnya mereka berakhir menjadi tim amatir.

Membangun kultur sepak bola pun tidak cukup dua-tiga tahun. Membaca pengalaman yang ada, klub harus stabil di level teratas dalam rentang satu dekade. Kurang dari itu, kemapanan atmosfir sepak bola masih rentan.

Buka sejarah Persik Kediri, Persegres Gresik United, serta Persebaya Surabaya. Ketika tren bermain di level atas terputus, mereka sangat sulit mengembalikan kultur yang sudah terbangun sebelumnya. Semua harus dimulai dari awal.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah klub-klub Divisi Utama. Musim lalu, dari 14 klub Jawa Timur yang bermain di kompetisi level dua, sama sekali tidak ada yang promosi ke ISL. Di sini saya semakin yakin teori saya soal kultur sepak bola sangat berlaku.

Kontestan Divisi Utama mayoritas datang dari kota kecil. Tidak ada satu pun klub yang memenuhi semua elemen sebagai prasyarat terciptanya kultur yang sehat. Selalu saja ada persoalan, jika bukan karena seretnya pendanaan, mungkin supporter yang kurang bersemangat.

Musim kemarin saya pernah melihat laga Persenga Nganjuk di Stadion Anjuk Ladang dan Madiun Putra di Stadion Wilis. Penonton cukup ramai dan stadion nyaris penuh. Tapi saya tak merasakan aura seperti di Malang atau Lamongan.

Di Nganjuk dan Madiun, saya yakin di beberapa kota juga sama, klub belum benar-benar menjadi identitas daerah. Istilah modernnya 'brand image' klub sama sekali belum ada. Belum ada chemistry antara klub dengan supporter dan elemen lainnya.

Saya lihat mereka yang menonton didominasi penikmat bola, bukan supporter. Kalau pun mereka berteriak-teriak mendukung tim dari kotanya, itu wajar karena unsur kedaerahan. Tapi hanya sebatas itu saja, tak ada ikatan yang lebih dalam.

Aspek lain adalah kekuatan ekonomi. Semakin banyak klub, harus diakui mempersempit gerak manajemen dalam menggalang sponsor. Kota kecil yang tak memiliki perusahaan memadai sudah pasti bakal kerepotan.

Tapi juga bukan berarti daerah industri juga dengan mudah dijadikan kota sepak bola. Comot saja Mojokerto dan Sidoarjo sebagai kota industri. Mojokerto Putra dan Deltras Sidoarjo sama sulitnya dalam mencari investor.

Menyadari situasi itu, klub Divisi Utama tampaknya perlu berpikir konsep yang spesifik jika memang harapan ke ISL tipis. Mau dipakai apa klub yang ada. Paling tidak eksistensi mereka di kompetisi bisa bermanfaat dan tak hanya numpang lewat.

Kembali ke ungkapan almarhum Gandi, memang pengelolaan sepak bola tidak sesimpel yang dibayangkan. Tidak cukup menyediakan duit untuk membeli pemain. Lebih penting, bagaimana makna keberadaan klub tersebut.*
(wbs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.4826 seconds (0.1#10.140)