QNB League Mandek, Kerugian Klub Pun Membengkak
A
A
A
MALANG - Nasib kompetisi QNB League 2015 yang tidak jelas membuat kerugian klub kontestan membengkak. Setelah pertemuan Menpora dengan klub menemui jalan buntu, kemungkinan kompetisi baru dilanjutkan akhir Mei atau Juni.
Jika benar begitu, maka klub dipastikan akan menanggung kerugian dan bahkan mungkin harus berutang. Bukan rahasia lagi bahwa beberapa klub membayar gaji pemain yang salah satunya dicomot dari hasil penjualan tiket pertandingan.
Tanpa pertandingan, kosong pemasukan. Maka manajemen harus memutar otak untuk membayar gaji pemain jika suplai dana dari sponsor tak begitu besar. Kerugian lainnya, klub membayar pemain yang 'menganggur' dan durasi kontrak bisa molor sesuai dengan tersendatnya kompetisi.
"Kalau bicara kerugian, pasti membengkak dengan belum jelasnya kompetisi. Pada akhir April saja Persela melewatkan dua pertandingan home. Seharusnya hasil pertandingan itu bisa dimanfaatkan klub, salah satunya gaji pemain,"urai Muji Santoso, Sekretaris Persela Lamongan.
Klub QNB League juga harus membayar pemain tanpa banyak bertanding di kompetisi resmi. Pada Maret-April, tim baru bertanding dua kali tapi manajemen tetap harus membayar gaji mereka dengan rutin. Padahal seharusnya pada akhir Mei nanti QNB League sudah menyelesaikan separuh putaran pertama.
"Di belakangnya, durasi kontrak juga dipastikan molor kalau tertundanya terlalu lama. Itu akan butuh biaya lagi," tambah Muji. Selain Persela, klub dengan domain suporter lebih besar seperti Arema Cronus juga mengeluh jika kompetisi tak kunjung digelar.
Arema yang bisa meraup pendapatan tiket mencapai Rp1 miliar untuk pertandingan besar, juga merasa kesulitan kalau lama tak ada pertandingan. "Arema tentunya punya proyeksi berapa pendapatan tiket dan dimanfaatkan untuk apa. Itu akan menjadi kacau kalau liga tertunda terus," ucap
Ruddy Widodo, general manager Arema.
Akan menjadi persoalan jika pendapatan tiket tersebut untuk menopang kebutuhan rutin, misalnya operasional klub serta gaji pemain. Maka klub harus mengubah strategi operasional dan tentunya itu akan menyulitkan berbagai pihak.
"Semoga kondisi ini cukup sekali ini saja dan tidak pernah terulang di masa depan. Sangat menguras tenaga, biaya dan pikiran. Lihat saja Arema, semua pihak ikut terlibat dalam persoalan kompetisi, mulai pemain, pelatih, manajemen, suporter, bahkan pedagang," tutur Ruddy.
Kendati potensi kerugian akan terus menggembung, semua belum bisa memperkirakan berapa kerugian total dari carut-marut sepak bola Indonesia saat ini. Padahal masih ada kerugian lain, lain faktor psikis yang dihadapi semua elemen dalam tim.
Jika benar begitu, maka klub dipastikan akan menanggung kerugian dan bahkan mungkin harus berutang. Bukan rahasia lagi bahwa beberapa klub membayar gaji pemain yang salah satunya dicomot dari hasil penjualan tiket pertandingan.
Tanpa pertandingan, kosong pemasukan. Maka manajemen harus memutar otak untuk membayar gaji pemain jika suplai dana dari sponsor tak begitu besar. Kerugian lainnya, klub membayar pemain yang 'menganggur' dan durasi kontrak bisa molor sesuai dengan tersendatnya kompetisi.
"Kalau bicara kerugian, pasti membengkak dengan belum jelasnya kompetisi. Pada akhir April saja Persela melewatkan dua pertandingan home. Seharusnya hasil pertandingan itu bisa dimanfaatkan klub, salah satunya gaji pemain,"urai Muji Santoso, Sekretaris Persela Lamongan.
Klub QNB League juga harus membayar pemain tanpa banyak bertanding di kompetisi resmi. Pada Maret-April, tim baru bertanding dua kali tapi manajemen tetap harus membayar gaji mereka dengan rutin. Padahal seharusnya pada akhir Mei nanti QNB League sudah menyelesaikan separuh putaran pertama.
"Di belakangnya, durasi kontrak juga dipastikan molor kalau tertundanya terlalu lama. Itu akan butuh biaya lagi," tambah Muji. Selain Persela, klub dengan domain suporter lebih besar seperti Arema Cronus juga mengeluh jika kompetisi tak kunjung digelar.
Arema yang bisa meraup pendapatan tiket mencapai Rp1 miliar untuk pertandingan besar, juga merasa kesulitan kalau lama tak ada pertandingan. "Arema tentunya punya proyeksi berapa pendapatan tiket dan dimanfaatkan untuk apa. Itu akan menjadi kacau kalau liga tertunda terus," ucap
Ruddy Widodo, general manager Arema.
Akan menjadi persoalan jika pendapatan tiket tersebut untuk menopang kebutuhan rutin, misalnya operasional klub serta gaji pemain. Maka klub harus mengubah strategi operasional dan tentunya itu akan menyulitkan berbagai pihak.
"Semoga kondisi ini cukup sekali ini saja dan tidak pernah terulang di masa depan. Sangat menguras tenaga, biaya dan pikiran. Lihat saja Arema, semua pihak ikut terlibat dalam persoalan kompetisi, mulai pemain, pelatih, manajemen, suporter, bahkan pedagang," tutur Ruddy.
Kendati potensi kerugian akan terus menggembung, semua belum bisa memperkirakan berapa kerugian total dari carut-marut sepak bola Indonesia saat ini. Padahal masih ada kerugian lain, lain faktor psikis yang dihadapi semua elemen dalam tim.
(aww)