Kisah Anak Imam Masjid yang Menjadi Pelita Sepak Bola Afrika
Minggu, 24 Mei 2020 - 23:15 WIB
LIVERPOOL - Sepak bola telah membawa perubahan besar pada kehidupan Sadio Mane. Lahir dari keluarga kurang mampu, pria asal Senegal tersebut menjelma menjadi pelita bagi sepak bola Afrika.
Lahir di desa miskin bernama Bambali di Senegal, 10 April 1992, Mane banyak menghabiskan waktunya di masjid. Ayahnya seorang Imam masjid sekaligus guru agama yang berpenghasilan pas-pasan.
Ketertarikan pada si kulit bundar dimulai sejak usianya masih belia. Namun, baru di usia 15 tahun Mane memberanikan diri ikut trial diGenerational Foot, sebuah akademi sepak bola yang berdiri di Dakar, ibu kota Senegal.
Lantaran keluarganya miskin, Mane sampai harus meminjam uang temannya untuk membiayai perjalanan dari desa Bambali ke ibu kota. Sebuah sumber lain, Goal International, menyebut Mane pergi ke seleksi akademi itu dibiayai oleh sang paman.
Mane tiba di pusat seleksi akademi sepak bola itu dengan sepatu koyak dan celana butut. Penampilannya sangat tidak meyakinkan, tetapi Mane membuktikannya dengan semangat dan teknik permainan yang di atas rata-rata anak seusianya.
"Seseorang mendatangi saya dan berkata ‘bagaimana kamu bisa bermain sebagus itu dengan sepatumu yang jelek' kemudian saya menjelaskan bahwa ini sepatu terbaik yang saya punya," kata Mane dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu, dikutip France Football.
Meski sepatunya jelek, Mane berhasil menyingkirkan 300 pesepak bola muda lain, dan terpilih masuk akademi. Dari sini kariernya perlahan mulai merangkak naik.
Dari akademi sepak bola Generational Foot, Mane diboyong klub Prancis, FC Metz. Di sana Mane mulai punya penghasilan sendiri meski tidak terlalu besar karena ia bermain untuk tim B (bukan tim utama).
Setahun bermain di tim B, penyerang sayap itu dipromosikan ke tim utama. Tak butuh waktu lama, klub Bundesliga, RB Salzburg yang melihat bakat Mane langsung memboyongnya ke tim utama hingga 2014.
Lahir di desa miskin bernama Bambali di Senegal, 10 April 1992, Mane banyak menghabiskan waktunya di masjid. Ayahnya seorang Imam masjid sekaligus guru agama yang berpenghasilan pas-pasan.
Ketertarikan pada si kulit bundar dimulai sejak usianya masih belia. Namun, baru di usia 15 tahun Mane memberanikan diri ikut trial diGenerational Foot, sebuah akademi sepak bola yang berdiri di Dakar, ibu kota Senegal.
Lantaran keluarganya miskin, Mane sampai harus meminjam uang temannya untuk membiayai perjalanan dari desa Bambali ke ibu kota. Sebuah sumber lain, Goal International, menyebut Mane pergi ke seleksi akademi itu dibiayai oleh sang paman.
Mane tiba di pusat seleksi akademi sepak bola itu dengan sepatu koyak dan celana butut. Penampilannya sangat tidak meyakinkan, tetapi Mane membuktikannya dengan semangat dan teknik permainan yang di atas rata-rata anak seusianya.
"Seseorang mendatangi saya dan berkata ‘bagaimana kamu bisa bermain sebagus itu dengan sepatumu yang jelek' kemudian saya menjelaskan bahwa ini sepatu terbaik yang saya punya," kata Mane dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu, dikutip France Football.
Meski sepatunya jelek, Mane berhasil menyingkirkan 300 pesepak bola muda lain, dan terpilih masuk akademi. Dari sini kariernya perlahan mulai merangkak naik.
Dari akademi sepak bola Generational Foot, Mane diboyong klub Prancis, FC Metz. Di sana Mane mulai punya penghasilan sendiri meski tidak terlalu besar karena ia bermain untuk tim B (bukan tim utama).
Setahun bermain di tim B, penyerang sayap itu dipromosikan ke tim utama. Tak butuh waktu lama, klub Bundesliga, RB Salzburg yang melihat bakat Mane langsung memboyongnya ke tim utama hingga 2014.
tulis komentar anda