Review Film Joko: Relasi Kuasa, Pedofilia, dan Kecemerlangan Rukman Rosadi

Rabu, 06 Maret 2024 - 13:28 WIB
loading...
Review Film Joko: Relasi Kuasa, Pedofilia, dan Kecemerlangan Rukman Rosadi
Film pendek Joko menunjukkan betapa relasi kuasa berperan penting dalam kasus pedofilia. Foto/Hide Project Films
A A A
JAKARTA - Tahun 2021. Sumatera Selatan heboh dengan pengakuan seorang guru di salah satu pesantren yang telah mencabuli tak kurang dari 12 muridnya yang berjenis kelamin laki-laki.

Kasus pedofilia ini terungkap setelah unit Subdit IV Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Sumatera Selatan menerima laporan dari orang tua korban. Berdasarkan pemeriksaan terhadap korban, Kasubdit PPA Polda Sumatera Selatan, Komisaris Polisi Masnoni, tersangka melakukan itu selama sekitar satu tahun terhitung sejak Juni 2020 hingga Agustus 2021.

Pedofilia merupakan sebutan untuk orang yang memiliki ketertarikan atau nafsu seksual pada anak-anak remaja. Di Indonesia, meski belum tegas, tapi usia dewasa dianggap ketika sudah mencapai angka 17 tahun.



Oleh karena itu, yang dilakukan Totok Janoko, pemilik usaha, pada Joko yang masih berusia 15 tahun juga disebut sebagai aksi pedofilia. Meski yang dilakukan Totok pada Joko adalah sebuah kisah fiksi dalam film pendek berjudul Joko arahan Suryo Wiyogo, tapi sesungguhnya predator seperti Totok masih terus berkeliaran di banyak tempat hingga hari ini.

Sosok-sosok ini memangsa yang lemah. Mereka memanfaatkan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan penindasan, dan pada akhirnya menginginkan kenikmatan seksual yang tak lazim.

Dalam Joko (yang juga berarti perjaka dalam bahasa Jawa), Joko terpaksa harus ikut bekerja demi membiayai ayahnya yang sakit. Ia pun diterima di tempat usaha Totok sebagai kuli barunya.

Sedari awal kita sudah dipaksa melihat bagaimana Totok yang menahan air liur melihat pemuda belasan tahun yang polos dari CCTV. Kita juga tahu bahwa kelak kita akan melihat teror pada mereka yang tak berdaya dan tak punya kuasa.

Review Film Joko: Relasi Kuasa, Pedofilia, dan Kecemerlangan Rukman Rosadi

Foto: Hide Project Films

Biasanya predator bisa 'bekerja' dengan leluasa karena ada sebuah sistem yang rapat melindungi nafsu jahanamnya. Totok diperlihatkan pula sejak awal punya karyawati yang seakan mendukung kejahatan seksual yang dilakukan bosnya itu.

Di sini pun sesungguhnya relasi kuasa berlaku. Penyebabnya karena si karyawati terpaksa harus mengikuti permainan bosnya agar tetap bisa bekerja dan mencari nafkah untuk keluarganya.

Nomine Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2018 arahan Suryo Wiyogo ini seakan menjadi jawaban dari film Women From Rote Island yang dianggap memunculkan sudut pandang “male gaze”, ketika sebuah film memotret kekerasan seksual yang melanda korban perempuan yang dirakit oleh sutradara laki-laki.

Sementara Joko menjadi sebuah tawaran menarik sekaligus diskursus penting bahwa sering kali pun korban adalah laki-laki yang bisa saja lebih tak berani bersuara karena terlampau menanggung malu tak tertahankan.

Joko bekerja istimewa terutama karena reaksi kimiawi dari dua pemeran utamanya yang kebetulan adalah bapak dan anak dalam kehidupan sehari-hari. Rukman Rosadi bisa jadi adalah the next Lukman Sardi yang selalu bisa berakting cemerlang dalam peran sekecil apa pun dan selalu bisa mencuri perhatian bahkan dalam film yang berkualitas buruk.

Joko memberinya panggung besar untuk memperlihatkan bahwa nafsu hewani tak perlu melulu diperlihatkan secara beringas, superfisial, dan akhirnya tertebak. Sebagai Totok, sedari awal kita jijik melihat bagaimana Totok menyeringai, memandang penuh nafsu, dan berdialog yang selalu berusaha memperlihatkan bahwa dirinya berada di atas daripada mangsanya.

Sementara Elang El Gibran yang mencuri perhatian sebagai Basuki dalam dwilogi Srimulat: Hil yang Mustahal adalah seorang aktor masa depan negeri ini. Sebagaimana ayahnya, Elang juga membiarkan dirinya dirasuki Joko, membiarkan dirinya menjadi korban kebejatan dari laki-laki berkuasa dan merasa tak punya daya untuk melawannya.

Review Film Joko: Relasi Kuasa, Pedofilia, dan Kecemerlangan Rukman Rosadi

Foto:Hide Project Films

Sebagaimana dalam Women From Rote Island, sering kali yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari adalah korban yang memilih diam, memilih untuk menutup babak dari pengalaman traumatik itu, dan mencoba berdamai dengannya yang akan dilakukan sekuatnya.

Kita tak bisa menggunakan logika orang kota/terpelajar bahwa seharusnya korban bisa melawan, seharusnya korban bisa mengadu ke pihak berwajib. Ada banyak alasan yang mungkin sulit kita terima, tapi dirasakan paling masuk akal bagi para korban untuk tetap diam dan tak bersuara.

Karenanya memang film-film seperti Joko dan Women From Rote Island pun menjadi penting untuk memperlihatkan sekaligus mengingatkan kepada kita agar selalu waspada dengan potensi kejahatan seksual yang terjadi di sekitar kita. Apalagi ketika kita melihat korban adalah mereka yang terpinggirkan dan merasa tak punya kuasa untuk melawan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1826 seconds (0.1#10.140)