Ini Dia, Si Pembalap Tua yang Kencang di Jalur Cepat

Kamis, 14 Februari 2019 - 10:06 WIB
Ini Dia, Si Pembalap Tua yang Kencang di Jalur Cepat
Ini Dia, Si Pembalap Tua yang Kencang di Jalur Cepat
A A A
SEBASTIEN Loeb mencapai usia yang tidak muda pada tahun ini. Pria Prancis ini malah tidak pernah berhenti berada di balik kemudi hanya demi mengejar asyiknya ada dalam kecepatan tinggi.

Awal tahun 2018 jadi hari-hari yang sangat sibuk buat Sebastien Loeb. Pria yang akan berumur 45 tahun pada 26 Februari nanti itu sudah bertarung dengan panasnya gurun pasir di ajang Dakar Rally 2019. Selama 12 hari, Loeb mengarungi gurun pasir yang membentang dari Peru hingga Cile.

Usai Dakar Rally 2019, Loeb tidak langsung berhenti untuk mengambil napas panjang. Alih-alih dia langsung bergegas ke Monte Carlo, Monako, Prancis guna mengikuti seri perdana World Rally Car 2019 yang digelar di kota itu.

Menginjak usia yang terbilang tak muda lagi, Loeb harus bersaing dengan para pembalap muda yang sangat haus mematahkan prestasi yang pernah dia buat dulu, yakni juara World Rally Car sembilan kali berturut-turut dalam kurun waktu 2004-2012. Lalu, apa yang membuat Loeb begitu bersemangat hinggap berbagai negara di dunia hanya untuk membalap?

“Ada rasa di mana saat berada di dalam mobil, saya mampu mencapai titik terakhir batas kemampuan saya. Saat saya berupaya mengerahkan segala kemampuan untuk menjadi yang tercepat, mengalahkan pembalap lain dan menjadi yang pertama, inilah perasaan yang saya dapatkan selama berada di dalam mobil. Ini adalah passion saya dan saya mencintainya,” ujar Loeb.

Buat Loeb passion itu seolah datang terlambat. Jika para pembalap legendaris lainnya mulai balapan sejak kecil, Loeb muda justru sama sekali tidak pernah mengenal balapan. Inggrid Loeb, ibu dari Loeb hanyalah seorang guru matematika di sekolah dasar.

Sementara ayahnya Guy Loeb adalah atlet senam yang jauh dari dunia balap. Guy bahkan sejak kecil mengenalkan Loeb pada olahraga senam. Dia mulai meniru apa yang dilakukan ayahnya. Bakatnya di dunia senam cukup besar hingga sempat mengantarkannya menjadi juara senam tingkat anak-anak.

Namun, Loeb merasa saat itu olahraga bukanlah dunia yang ingin dia tekuni. Dia kemudian mengalihkan perhatiannya kepada dunia akademik. Inggrid meminta anaknya untuk masuk ke sekolah kejuruan jurusan kelistrikan. Pada waktu yang bersamaan Loeb mengambil kesempatan kerja paruh waktu sebagai teknisi di salah satu perusahaan kelistrikan.

Saat itulah dia melihat mobil Ferrari yang dimiliki oleh bos tempat dia bekerja. Setiap kali melihat bosnya mengendarai mobil itu, Loeb benar-benar takjub. “Saya selalu membayangkan bagaimana rasanya ada di balik kemudi mobil seperti itu,” kenang Loeb. Loeb benar-benar jatuh cinta pada mobil saat dia mengajukan permohonan surat izin mengemudi.

Begitu menjalani proses ujian praktik, Loeb sudah kegirangan bisa mengemudikan mobil. Pada usia 17 tahun, Loeb yang harusnya jatuh cinta pada seorang perempuan malah jatuh cinta pada mobil. “Saat itulah saya benar-benar nikmat mengendarai mobil,” tutur pembalap yang saat ini bergabung dengan tim M-Sport Hyundai WRC itu. Sejak saat itu, Loeb tidak ubahnya seperti Qays yang jatuh cinta kepada Layla di cerita Layla Majnun.

Setiap hari yang dipikirkan Loeb hanyalah berkendara mobil. Bahkan, saat bekerja, dia selalu berbicara soal mobil. Sampaisampai bos kantornya si pemilik Ferrari itu, dia kuliahi agar bisa mengoptimalkan mobil yang dia miliki. “Saat itu saya sadar, bekerja sebagai teknisi hanyalah profesi saya, bukan passion saya,” ujar Loeb.

Walau passion itu datang terlambat, Loeb tidak mau melepaskannya. Pada akhirnya mencoba berbagai balapan amatir yang digelar di berbagai wilayah di Prancis. Awalnya banyak orang yang memandang remeh Loeb karena usianya yang sudah tergolong tua untuk memulai balapan.

Di usia 22 tahun Loeb harusnya sudah bisa masuk level profesional. Beruntung saat itu seorang mantan pembalap amatir dan pemilik tim balap kecil bernama Dominique Heintz melihat ada satu hal mencolok yang ada di diri Loeb. Dominique kemudian mengajak Loeb untuk balapan untuk dirinya.

Dia memberikan mobil dan kesempatan untuk ikut lomba kepada Loeb. Hebatnya Loeb adalah fast learner yang mampu mengubah mobil yang dia kendarai jadi begitu digdaya. Semua orang terperangah mengapa anak muda yang baru beberapa tahun mengendarai mobil, jadi begitu tangguh di sirkuit.

“Semuanya berjalan dengan natural. Jika saya ditanya, apa yang membuat saya begitu baik dalam membawa mobil? Saya rasa hanyalah bagaimana kamu bisa merasakan apa yang mobil rasakan,” ucap Loeb. Petualangan Loeb di balapan amatir yang sangat dominan, akhirnya mencuri perhatian pabrikan mobil Prancis, Citroen Total World Rally, terutama pemandu bakat dan juga pembalap reli legendaris Citroen, Guy Frequelin.

Pria yang kemudian menjadi Direktur Teknik Citroen pada 1998-2007 itu kemudian mengajak Loeb bergabung dengan Citroen. “Saya melihat anak muda yang sangat tenang tapi begitu penuh determinasi. Kami mencoba memberikannya mobil di kejuaraan Prancis dan dia berhasil memenanginya,” ujar Guy Freuquelin.

Tak butuh lama, mereka langsung meminta ayah kandung dari Valentine Loeb itu membela Citroen di ajang World Rally Car Junior musim 2002 sebagai pembalap pemula. Saat itu Loeb berlaga dengan baik dan berhasil meraih dua kemenangan meski Citroen hanya memberikan dia tujuh kali berlaga musim itu.

Keberhasilan itu diapresiasi positif Citroen yang kemudian kembali mengontraknya untuk dua musim. Musim WRC 2003 semua orang langsung kaget melihat gaya berkendara Loeb. Pria Prancis itu bahkan berhasil mendesak juara WRC 2003 waktu itu Peter Solberg hingga batas kemampuannya. Di ujung musim, Loeb kalah dari Peter Solberg hanya karena kalah satu poin.

Kekalahan ini justru makin melecut Loeb untuk membalikkan keadaan. Sejak saat itulah, sembilan kali berturutturut Loeb berhasil menjadi juara WRC selama 2004-2012. Tidak ada satu pembalap yang mampu meredam kesaktian Loeb di balik kemudi mobil reli.

Loeb hingga kini adalah pembalap WRC yang paling banyak memenangi seri, naik podium hingga paling sering finis di urutan 3 besar. “Dia sangat-sangat cerdas, konsisten, dan perfeksionis. Untuk melewatinya, kita harus berupaya memperbaiki diri dengan berlatih lebih keras dibandingkan dia,” ujar Peter Solsberg, rival Loeb pada era 2002-2006.

Dominasi Loeb akhirnya berakhir ketika dia berhasil meraih gelar juara dunia WRC untuk kesembilan kalinya. Keputusannya untuk berhenti bukan karena merasa puas atas capaian yang dia raih. Sebaliknya dia merasa ada hal lain yang bisa dia lakukan selain mengendarai mobil.

Waktu itu keluarga jadi alasan utama mengapa Loeb akhirnya pensiun dari balapan. Kehadiran anaknya, Valentine, membuatnya berpikir dua kali untuk berada di balik kemudi mobil reli. “Bayangkan rasanya lompat bersama mobil yang kecepatannya sampai 200 kilometer per jam,” kata Loeb. Namun, tidak ada yang bisa menolak jika passion kembali memanggil.

Seperti yang dikatakan Oprah Winfrey, passion adalah energi kehidupan. Energi mengasyikkan yang timbul akibat fokus pada satu kegiatan. Passion inilah yang kembali memanggil Loeb untuk kembali berada di balik kemudi mobil balap. Dia pun mencoba berbagai jenis balapan mulai dari balap ketahanan mobil 24 Jam, Le Mans 24 Hours, World Touring Car Championship (WTCC), X Games, FIA GT Series hingga yang terbaru Dakar Rally.

Namun, sejauh-jauhnya bangau terbang, akhirnya sampai ke kubangan juga. Sejauhjauhnya Loeb pergi dari WRC, akhirnya kembali ke WRC juga. Meski dikritik oleh banyak pembalap lainnya yang kesal karena Loeb bisa memilih lomba yang dia ingin jalani, Loeb akhirnya berlaga kembali ke WRC.

Banyak orang mempertanyakan motivasinya kembali ke WRC. Ada juga yang memprediksi Loeb kembali karena ingin menggenapkan jumlah kemenangannya dari 9 menjadi 10. “Saya tidak pernah berhitung dengan prestasi yang saya capai. Saya hanya ingin berada di balik kemudi dan mengendarai mobil dalam kecepatan tinggi. Ini cuma masalah passion,” pungkas Loeb.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5075 seconds (0.1#10.140)