Darurat Pembinaan Suporter

Sabtu, 07 September 2019 - 12:04 WIB
Darurat Pembinaan Suporter
Darurat Pembinaan Suporter
A A A
JAKARTA - Suporter kembali menampar muka dunia bola Tanah Air. Mereka melakukan tindakan tidak terpuji terhadap pendukung Malaysia di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Kamis (5/9) malam, saat pertandingan putaran kedua kualifikasi Grup G Piala Dunia 2022 yang berakhir dengan skor memalukan 2-3.

Anarkisme yang ditunjukkan suporter timnas bukan hanya bakal mengundang sanksi berat dari FIFA. Apa yang mereka lakukan sejatinya menegaskan betapa mentalitas supoter belum siap untuk mendukung perkembangan sepak bola di Indonesia. Kericuhan yang dilakukan oknum suporter Indonesia ini terjadi di pertengahan babak kedua. Kedua tim sempat saling melontarkan yel-yel mengejek satu sama lain. Namun pendukung Indonesia terlihat sudah tidak sabar dan mulai banyak yang masuk ke trek atletik untuk menyerang suporter Malaysia sebelum di hentikan pihak keamanan.

Kondisi semakin men jadi-jadi setelah tim kesayangannya kandas 2-3 dari Malaysia. Atas insiden tersebut, kemarin Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi sudah meminta maaf kepada Menteri Belia dan Sukan Malaysia Syed Saddiq Syed Abdul Rahman. Tapi tampaknya permintaan maaf ini tidak menyurutkan langkah Malaysia untuk melaporkan kepada FIFA.

Keprihatinan mendalam atas perilaku suporter itu memang perlu dikemukakan. Kericuhan yang terjadi di Stadion GBK itu, stadion kebanggaan bangsa ini, merupakan akumulasi dari rendahnya mentalitas suporter akibat kurangnya pembinaan terhadap mereka, baik dari klub, PSSI maupun pe merintah. Penilaian demikian tidak berlebihan mengingat kerusuhan suporter hampir tiap tahun terjadi, bahkan sampai memakan korban jiwa. Selama 2019 ini saja, misalnya, tercatat ada dua kerusuhan yang ter bilang besar, yakni saat laga PSS Sleman vs Armea FC di Sleman (15/5) yang mengakibatkan sejumlah orang terluka dan kerusuhan seusai pertandingan Persik Kediri vs PSIM Yogyakarta di Kediri yang menyebabkan puluhan orang terluka.

Keprihatinan atas perilaku suporter juga disampaikan anggota Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian dan Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri. Hetifah bahkan menilai kerusuhan yang dilakukan oknum suporter saat pertandingan Timnas Indonesia dan Malaysia bisa merusak nama baik bangsa. Karena itu, dia berharap ke depan sikap sportif perlu terus di kembangkan, bukan hanya untuk pemain, tetapi juga para suporternya.

"Tujuan dari pertandingan olahraga itu kan di samping mem berikan kebahagiaan dan kebanggaan kepada suporternya, juga harus menunjukkan sikap sportif. Bukan saja kepada pemain, tetapi juga pendukungnya. Jadi di sini memang perlu ada semacam upaya pendidikan bagi publik tentang bagaimana bukan hanya menjadi atlet yang baik, tetapi juga suporter yang baik," tuturnya kemarin.

Dia kemudian berpesan kepada Kemenpora dan PSSI, agar terus melakukan kampanye untuk mengedepankan suportivitas. Apalagi ke depan Indo nesia akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Jangan sampai Indonesia malah kena sank si dari FIFA akibat ulah para su porternya. "Sebetulnya kam pa nye itu harus dilakukan oleh ber bagai pihak. Para pemain juga bisa menjadi duta-duta un tuk mengingatkan suporter masing-masing. Apalagi PSSI dan Kemenpora, kan tugas pem binaan itu juga ada di ba wah mereka," urainya.

Abdul Fikri Faqih juga menyesalkan sikap anarkistis dari para suporter sepak bola Tanah Air yang berujung tercorengnya nama baik persepakbolaan Indo - nesia yang tengah di bangun de - ngan susah payah. Dia pun ber - harap Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) membuat program untuk mengorganisasi dengan baik para suporter sepak bola Tanah Air. "Bagaimana suporter itu diorganisasi dengan baik. Kemudian dikasih kegiatan di luar menonton pertandingan. Saya kira perlu ke depan nanti," sebutnya.

Sementara itu Sosiolog Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Dr Elly Malihah, MSi, menilai, dalam kerumunan atau crowd yang spontan, ketika hal yang di sukai dan dicintai tak memenuhi harapan, semisal tim kesayangan nya kalah, hal itu akan sangat mudah menimbulkan rasa sakit hati. Di sisi lain fanatisme berlebihan juga menurunkan rasionalitas dan sebaliknya sisi emosional lebih mengemuka. Kondisi demikian semakin parah jika muncul isu yang membakar emosi mereka. Akibatnya ketika beberapa anggota kerumunan berbuat tidak baik, hal itu akan diikuti yang lain atas alasan solidaritas.

"Agar perilaku buruk seperti ini tak terus berulang, penegak hukum harus melakukan tindakan tegas kepada mereka yang terbukti bersalah sehingga perilaku itu tak ditiru oleh yang lain," tutur Elly.

Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Gra shinta melihat perlunya pemerintah atau pemilik klub sepak bola untuk mendidik suporternya. Namun hal itu diakui sulit karena sifat heterogen dalam kerumunan tersebut yang biasanya datang dari berbagai karakter. Dengan kondisi yang demikian, menjadi sulit sekali untuk bisa mengubahnya karena itu merupakan hasil pendidikan sedari kecil. Karena itu dia menekankan pentingnya penanaman pemahaman akan makna sportivitas sejak dini, yakni karakter berani menang berani kalah, menghormati pemenang, dan sebagainya.

Langkah ini bisa dilakukan melalui pelajaran di sekolah. "Pelajaran harus dibuat agar anak mampu belajar arti sportif, belajar menyampaikan emosi marah, kecewa, dan lainnya dengan cara yang lebih bisa diterima, belajar menghargai kelebihan orang lain," jelasnya.
(sha)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5182 seconds (0.1#10.140)