Osaka Berjuang Melalui Masker, Dulu Muhammad Ali Rela Sampai Gelar Juara Dunianya Dicopot
loading...
A
A
A
JAKARTA -
Meski masih belia, petenis Jepang Naomi Osaka memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sikap itu diperlihatkannya saat wawancara selepas memenangkan babak pertama US Open 2020 atas Misaki Doi, Senin (31/8/2020) waktu lokal atau Selasa (1/8/2020) WIB. Pada kesempatan itu ia mengenakan masker hitam bertuliskan Breonna Taylor.
Breonna adalah seorang tenaga medis perempuan kulit hitam yang ditembak hingga delapan kali oleh personel polisi yang menerobos ke apartemennya di Louisville, Kentucky pada 13 Maret lalu. Peristiwa pembunuhan Taylor masih menjadi perdebatan hingga kini.
"Bagi saya, saya hanya ingin menebarkan kesadaran," kata unggulan keempat kepada wartawan dalam konferensi video. “Saya sadar bahwa tenis ditonton di seluruh dunia, dan mungkin ada seseorang yang tidak mengetahui cerita Breonna Taylor."
Petenis berusia 22 tahun itu berharap orang yang belum mengenal Breonna akan mencarinya via Google atau semacamnya. “Saya merasa semakin banyak orang tahu ceritanya, maka mereka akan semakin menarik mereka atau bahkan tertarik," kata juara AS Terbuka 2019 dan Australia Terbuka 2019.
Sebelumnya, pada 27 Agustus silam, gegara penembakan berlatar belakang rasialis terhadap pria Afro-Amerika Jacob Blake, ia sempat mogok bermain di semifinal Western & Southern Open, New York. Namun setelah penyelenggara turnamen memutuskan untuk menunda semua pertandingan babak empat besar satu hari untuk berkonsultasi dengan WTA dan USTA, ia akhirnya setuju untuk melanjutkan partisipasinya. “Menurut saya hal itu membuat protes lebih diperhatikan. Saya ingin berterima kasih kepada WTA dan turnamen atas dukungan mereka," kata Osaka seperti dilaporkan Reuters, Jumat, 28 Agustus 2020.
Dalam tempo berdekatan sudah empat warga keturunan Afrika yang tewas di tangan polisi AS. Selain Breonna dan Blake, ada Eljah McClain dan George Floyd.
Muhammad Ali memelopori
Begitulah, Amerika Serikat memang sudah 244 tahun merdeka. Nyatanya, sikap rasialisme masih subur terjadi hingga kini.
Sikap penolakan seorang olahragawan terhadap rasialisme di Negeri Paman Sam dipelopori oleh petinju legendaris Muhammad Ali 53 tahun lampau. Bahkan demi mempertahankan sikapnya ia rela gelar juara dunia kelas beratnya oleh otoritas tinju AS.
Petinju kelahiran 17 Januari 1942 ini juga gigih memperjuangkan hak-hak sipil dan aktif berkampanye anti-perang.
Sebagai pejuang antirasialisme mula-mula ia mengubah nama pemberian orang tuanya. Nama Cassius Clay menurutnya serupa dengan nama budak. Perubahan nama menjadi Muhammad Ali dilakukan setelah mendeklarasikan diri sebagai pemeluk muslim pada 25 Februari 1964.
Bagaimana ia tidak kesal. Sebagai peraih medali emas tinju kelas berat Olimpiade Roma
ia ditolak untuk masuk ke restoran lantaran berkulit hitam. “Saya bertinju untuk AS, saya mengibarkan bendera untuk AS, saya membuat lagu kebangsaan AS dikumandangkan di olimpiade, tapi saya diperlakukan buruk seperti ini. Sial,” ujarnya suatu ketika.
Selanjutnya Ali menolak wajib militer ketika Amerika Serikat melakukan invasi ke Vietnam. Ali rela gelarnya dicopot, dilarang bertarung sepanjang 1967 hingga 1970, didenda US$10 ribu, hingga divonis lima tahun penjara karena menolak ikut perang di Vietnam.
Kata-kata paling legendaris yang dikeluarkan Ali ketika itu adalah, "Saya tidak punya masalah dengan Vietcong. Tak ada Vietcong yang pernah memanggil saya negro. Mengapa mereka harus meminta saya untuk mengenakan seragam dan pergi 10.000 mil dari rumah untuk menjatuhkan bom dan menembakkan peluru ke orang-orang di Vietnam, sementara orang-orang yang disebut negro di Louisville diperlakukan seperti binatang?"
Pada 12 Agustus 1970 ketika kasus penolakan wajib militer masih dalam banding, Ali memperoleh izin bertarung dari Komisi Atletik Kota Atlanta atas bantuan Senator Leroy R. Johnson.
Menjelang pensiun Ali menjadi anggota Komite Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk masalah Apartheid. Ia menghimpun orang-orang dari segala bangsa untuk bersatu melawan diskriminasi ras.
Setelah pensiun pada 1979, Ali mendedikasikan diri untuk membantu mempromosikan perdamaian dunia, kemanusiaan, dan hubungan antar-umat beragama. Pada 1990 Ali bahkan mempertaruhkan nyawa dengan terbang ke Irak guna menegosiasikan pembebasan 15 warga AS yang menjadi sandera pasukan Irak di bawah pimpinan Saddam Hussein.
Meski masih belia, petenis Jepang Naomi Osaka memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sikap itu diperlihatkannya saat wawancara selepas memenangkan babak pertama US Open 2020 atas Misaki Doi, Senin (31/8/2020) waktu lokal atau Selasa (1/8/2020) WIB. Pada kesempatan itu ia mengenakan masker hitam bertuliskan Breonna Taylor.
Breonna adalah seorang tenaga medis perempuan kulit hitam yang ditembak hingga delapan kali oleh personel polisi yang menerobos ke apartemennya di Louisville, Kentucky pada 13 Maret lalu. Peristiwa pembunuhan Taylor masih menjadi perdebatan hingga kini.
"Bagi saya, saya hanya ingin menebarkan kesadaran," kata unggulan keempat kepada wartawan dalam konferensi video. “Saya sadar bahwa tenis ditonton di seluruh dunia, dan mungkin ada seseorang yang tidak mengetahui cerita Breonna Taylor."
Petenis berusia 22 tahun itu berharap orang yang belum mengenal Breonna akan mencarinya via Google atau semacamnya. “Saya merasa semakin banyak orang tahu ceritanya, maka mereka akan semakin menarik mereka atau bahkan tertarik," kata juara AS Terbuka 2019 dan Australia Terbuka 2019.
Sebelumnya, pada 27 Agustus silam, gegara penembakan berlatar belakang rasialis terhadap pria Afro-Amerika Jacob Blake, ia sempat mogok bermain di semifinal Western & Southern Open, New York. Namun setelah penyelenggara turnamen memutuskan untuk menunda semua pertandingan babak empat besar satu hari untuk berkonsultasi dengan WTA dan USTA, ia akhirnya setuju untuk melanjutkan partisipasinya. “Menurut saya hal itu membuat protes lebih diperhatikan. Saya ingin berterima kasih kepada WTA dan turnamen atas dukungan mereka," kata Osaka seperti dilaporkan Reuters, Jumat, 28 Agustus 2020.
Dalam tempo berdekatan sudah empat warga keturunan Afrika yang tewas di tangan polisi AS. Selain Breonna dan Blake, ada Eljah McClain dan George Floyd.
Muhammad Ali memelopori
Begitulah, Amerika Serikat memang sudah 244 tahun merdeka. Nyatanya, sikap rasialisme masih subur terjadi hingga kini.
Sikap penolakan seorang olahragawan terhadap rasialisme di Negeri Paman Sam dipelopori oleh petinju legendaris Muhammad Ali 53 tahun lampau. Bahkan demi mempertahankan sikapnya ia rela gelar juara dunia kelas beratnya oleh otoritas tinju AS.
Petinju kelahiran 17 Januari 1942 ini juga gigih memperjuangkan hak-hak sipil dan aktif berkampanye anti-perang.
Sebagai pejuang antirasialisme mula-mula ia mengubah nama pemberian orang tuanya. Nama Cassius Clay menurutnya serupa dengan nama budak. Perubahan nama menjadi Muhammad Ali dilakukan setelah mendeklarasikan diri sebagai pemeluk muslim pada 25 Februari 1964.
Bagaimana ia tidak kesal. Sebagai peraih medali emas tinju kelas berat Olimpiade Roma
ia ditolak untuk masuk ke restoran lantaran berkulit hitam. “Saya bertinju untuk AS, saya mengibarkan bendera untuk AS, saya membuat lagu kebangsaan AS dikumandangkan di olimpiade, tapi saya diperlakukan buruk seperti ini. Sial,” ujarnya suatu ketika.
Selanjutnya Ali menolak wajib militer ketika Amerika Serikat melakukan invasi ke Vietnam. Ali rela gelarnya dicopot, dilarang bertarung sepanjang 1967 hingga 1970, didenda US$10 ribu, hingga divonis lima tahun penjara karena menolak ikut perang di Vietnam.
Kata-kata paling legendaris yang dikeluarkan Ali ketika itu adalah, "Saya tidak punya masalah dengan Vietcong. Tak ada Vietcong yang pernah memanggil saya negro. Mengapa mereka harus meminta saya untuk mengenakan seragam dan pergi 10.000 mil dari rumah untuk menjatuhkan bom dan menembakkan peluru ke orang-orang di Vietnam, sementara orang-orang yang disebut negro di Louisville diperlakukan seperti binatang?"
Pada 12 Agustus 1970 ketika kasus penolakan wajib militer masih dalam banding, Ali memperoleh izin bertarung dari Komisi Atletik Kota Atlanta atas bantuan Senator Leroy R. Johnson.
Menjelang pensiun Ali menjadi anggota Komite Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk masalah Apartheid. Ia menghimpun orang-orang dari segala bangsa untuk bersatu melawan diskriminasi ras.
Setelah pensiun pada 1979, Ali mendedikasikan diri untuk membantu mempromosikan perdamaian dunia, kemanusiaan, dan hubungan antar-umat beragama. Pada 1990 Ali bahkan mempertaruhkan nyawa dengan terbang ke Irak guna menegosiasikan pembebasan 15 warga AS yang menjadi sandera pasukan Irak di bawah pimpinan Saddam Hussein.
(rza)