Hantu Tes Doping Bagi Para Atlet, Berkaca dari Kasus Iannone

Kamis, 12 November 2020 - 13:35 WIB
loading...
Hantu Tes Doping Bagi Para Atlet, Berkaca dari Kasus Iannone
Andrea Iannone. Foto/MotoGP.com
A A A
SYDNEY - Doping masih terus menjadi hantu bagi para atlet olahraga. Kedapatan sedikit saja atau tidak sengaja mengonsumsinya bisa berdampak besar terhadap karier. Banyak atlet yang tersangkut doping, baik sengaja atau “tidak sengaja”.

Apa yang dialami Andrea Iannone hanya sedikit dari banyak kasus yang terjadi. Pembalap tim Aprilia itu mendapat sanksi larangan berpartisipasi di MotoGP selama empat tahun lebih oleh Badan Arbitrase Olahraga (CAS). Hukuman ini lebih berat dari sanksi yang dikeluarkan Federation Internationale de Motocyclisme (FIM). (Baca: Amalan Doa Agar Rezeki Melimpah Ruah)

Iannone awalnya menerima larangan 18 bulan dari FIM setelah dinyatakan positif menggunakan anabolic steroid Drostanolone di Grand Prix Malaysia, November lalu. Iannone mengatakan zat tersebut tertelan secara tidak sengaja dengan memakan daging yang terkontaminasi di Malaysia, kemudian mengajukan banding ke CAS agar larangan tersebut dibatalkan.

Namun, Badan Antidoping Dunia mengajukan permohonan serentak, berusaha agar hukuman Iannone ditingkatkan menjadi empat tahun dengan alasan bahwa dia gagal menetapkan standar yang diperlukan terkait asal zat terlarang dalam sampelnya berasal dari kontaminasi daging.

Panel CAS akhirnya memihak WADA dan memutuskan bahwa Iannone tidak hanya melakukan pelanggaran antidoping , tapi juga gagal menetapkan dengan mempertimbangkan keseimbangan probabilitas bahwa pelanggaran tersebut tidak disengaja.

Itu berarti kemungkinan terburuk untuk Iannone harus menepi dari ingar-bingar MotoGP selama empat tahun atau hingga Desember 2023. Akibatnya, karier MotoGP Iannone terancam berakhir. Pembalap berusia 31 tahun itu mengaku kecewa dengan hukuman yang diberikan kepadanya. (Baca juga: Kemendikbud Dukung Pelaksanaan Kampus Sehat Selama Pandemi)

Dia berharap pengadilan bisa mempertimbangkan banyak hal sehingga hukumannya diringankan agar bisa kembali ikut balapan. “Saya pasti tidak menyerah. Saya menerima ketidakadilan terburuk yang pernah saya bayangkan. Mereka merobek hatiku dari cinta terbesarku. Tidak masuk akal jika tuduhan ini disertai dengan fakta yang tidak benar,” tulis Iannone, di akun Instagram-nya, dilansir crash.net.

Dia mengaku sedang menghadapi kekuatan kuat yang mungkin sulit dilawan. “Saya mengharapkan kejujuran intelektual dan penegasan keadilan. Saat ini saya menderita pada tingkat tertinggi yang dapat saya bayangkan,” ujarnya.

Iannone tidak sedirian. Enam perenang Australia juga tengah menunggu sanksi karena tuduhan serupa: doping. Mereka sedang menunggu keputusan dari Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) untuk mengetahui apakah medali perunggu dari estafet gaya 4 x 100 meter putra di Olimpiade London 2012 harus diserahkan kembali.

Itu terjadi setelah Komite Olimpiade Internasional menguji kembali sekumpulan sampel urine yang diambil saat Olimpiade berlangsung dan salah satunya milik anggota tim renang Australia Brenton Rickard. Mereka menganggap urine Rickard positif fueosemide 6ng/mL, zat terlarang di Kode Antidoping Dunia. (Baca juga: Kiat Pangkas Berat Badan Selama Pandemi)

Dalam pernyataan singkatnya, CAS mengatakan prosedur arbitrase akan berlanjut "secara rahasia” sehingga publik harus menunggu keputusan finalnya. Rickard sejatinya tidak berenang di final Olimpiade 2012. Namun, karena dia positif fueosemide dan peraturan menyatakan jika salah satu anggota tim dinyatakan positif, tim tersebut didiskualifikasi.

Jika pengadilan mempertimbangkan saksi karakter, Rickard ibaratnya kurang beruntung, sama seperti banyak atlet di seluruh dunia. Perenang 37 tahun tersebut telah menjadi korban dari semakin meningkatnya sensitivitas tes yang menemukan jumlah larangan yang semakin kecil. Zat yang tertelan melalui produk yang terkontaminasi.

Rickard tentu bisa berkilah seperti atlet lainnya yang menggunakan kontaminasi sebagai alasan tidak mengetahui bagaimana zat terlarang masuk ke dalam urine atau sampel darah.

Nasib serupa dialami perenang Australia lainnya, Shayna Jack. Dia terbang pulang dari kamp pelatihan menjelang Kejuaraan Renang Dunia tahun lalu di Korea Selatan karena alasan pribadi. Terungkap bahwa perenang berusia 22 tahun tersebut positif doping. (Baca juga: Takut Pandemi, Transportasi Bus Jadi Kurang Laku)

Kasus yang menimpa Rickard, Shayna, dan Iannone membuat citra atlet dekat dengan doping semakin panjang. Namun, mungkin juga mereka atlet yang tidak bersalah dan hanya terperangkap dalam sistem yang mengancam untuk menghancurkan reputasi mereka.

Terlebih ada semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengujian positif tidak berarti para atlet sengaja menggunakan doping. Dalam laporan Angka Pengujian Antidoping WADA terbaru (2018), ada hampir 600 tes positif untuk diuretik dan agen masking lainnya, di antaranya yang paling umum adalah furosemid, 172 dari 589 tes positif atau 29% dari total.

Itu tidak berarti semua yang dites positif telah diberi sanksi. Beberapa positif palsu dan yang lainnya dilindungi oleh pengecualian penggunaan terapeutik yang sah. Sementara beberapa tidak diragukan lagi termasuk sengaja menggunakan doping dan yang lainnya termasuk dalam kelompok yang menghadapi tuduhan menggunakan zat terlarang tanpa tahu bagaimana itu terjadi.

Artinya, hanya karena seorang atlet dites positif doping , tidak berarti mereka curang. Lab Antidoping Swiss dan Kantor Olahraga Federal Swiss melakukan salah satu studi pertama tentang masalah ini. Sejak 2003, deteksi furosemide telah meningkat, tapi seperti yang diperingatkan British Journal of Pharmacology dalam sebuah tinjauan pada tahun 2010, "tren peningkatan temuan positif ini mungkin tidak hanya karena peningkatan penyalahgunaan, tapi kemungkinan besar karena metode deteksi yang lebih baik" . (Baca juga: Ini Daftar Penerima Bintang Mahaputera dan Bintang Jasa)

Sebuah studi yang dilakukan enam akademisi di Spanyol untuk Nutrients Journal pada tahun 2017 melaporkan bahwa suplemen yang diuji untuk zat yang dilarang WADA menunjukkan tingkat kontaminasi antara 12 dan 58%.

Penggunaan suplemen tersebar luas di kalangan atlet dengan satu laporan menemukan di beberapa olahraga hingga 90% peserta yang mengonsumsi setidaknya satu suplemen sehari. Dalam bukunya The Anti-Doping Crisis in Sport, akademisi Paul Dimeo dan Verner Moller menyarankan efek buruk dari lebih banyak tes, untuk lebih banyak zat, dengan peningkatan sensitivitas.

“Itu berarti, atlet yang tidak pernah mengonsumsi zat terlarang dan tidak pernah lalai dalam pengertian yang masuk akal dari kata ini, akan meningkatkan risiko menjadi korban dari positif palsu,” bunyi pernyataan Dimeo dan Moller

Di sisi lain, penggunaan doping tetap saja tidak bisa ditoleransi mengingat doping adalah zat terlarang yang dikonsumsi untuk meningkatkan performa. Ada lima kelas obat terlarang, yang paling umum adalah stimulan dan hormon. Ada risiko kesehatan yang terlibat dalam meminumnya dan dilarang oleh badan pengatur olahraga. (Lihat videonya: Fenomena Pohon Pisang Berdaun Purih Gegerkan Warga Bandung)

Menurut Badan Antidoping Inggris, zat dan metode dilarang jika memenuhi setidaknya dua dari tiga kriteria berikut: zat dan metode tersebut meningkatkan kinerja, mengancam kesehatan atlet, atau melanggar semangat olahraga.

Penggunaan stimulan dan zat pembangun kekuatan dalam olahraga telah dilakukan sejak zaman Yunani Kuno. Namun, selama tahun 1920-an, pembatasan penggunaan narkoba dalam olahraga dianggap perlu untuk pertama kali. (Alimansyah)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1017 seconds (0.1#10.140)