Tanpa Klub di Kompetisi Kasta Tertinggi

Rabu, 22 Juli 2015 - 11:14 WIB
Tanpa Klub di Kompetisi Kasta Tertinggi
Tanpa Klub di Kompetisi Kasta Tertinggi
A A A
YOGYAKARTA - Musim kompetisi sepak bola 2015 yang akhirnya terhenti setelah Menpora Imam Nahrawi membekukan PSSI menyisakan catatan kelam pengelolaan sepakbola di Jateng dan DIY.

Di 2015 ini tidak ada satupun klub di Jateng dan DIY yang bermain di level tertinggi kompetisi sepak bola di Indonesia. Sementara jika menilik catatan sejarah, maka keberadaan Jateng dan DIY dengan klub-klub sepakbolanya sejak penyelenggaraan Galatama sebagai kompetisi sepakbola profesional tidak bisa dipandang sebelah mata.

Klub-klub di Jateng dan DIY tidak pernah absen di kompetisi level tertinggi. Dari segi kualitas permainan, timtim dari Jateng dan DIY tidak bisa dipandang remeh. Kondisi tersebut kini tidak lagi terasa di era kompetisi yang saat ini bernama Indonesia Super League . Penurunan kualtas dari tim tersebut disinyalir tidak terlepas dari mobilisasi politik sebagai akibat dari kebijakan otonomi daerah.

Sepak bola kini telah menjadi bagian dari komoditas kepentingan politik sekelompok orang. “Otonomi daerah ini menjadikan banyak daerah menjadi berlombalomba untuk mendirikan klub. Di DIY ini saja ada tiga klub (PSIM, PSS dan Persiba) sementara kota kabupatennya hanya ada lima artinya lebih dari separuh yang memiliki klub profesional.

Di Jawa Tengah saat ini di setiap Karesidenan ada lebih dari tiga klub. Ini sudah terlalu banyak,” tandas pengamat sepak bola yang juga Dosen Ilmu Komunikasi UMY Fajar Junaedi. Banyak-nya klub profesional di Jateng dan DIY menjadikan konsentrasi sumber daya manusia dalam hal ini pemain menjadi tidak terfokus di satu klub. Hal tersebut tentu saja berimbas pada sulitnya klub mendapatkan pemain yang bagus.

Pemain menjadi tersebar ke banyak klub sehingga kualitas tim-tim di Jateng dan DIY seperti kehilangan pamor. “Ambil contoh seperti di Jawa Barat. Di sana hanya ada Persib Bandung yang didorong menjadi satu-satunya klub profesional. Hingga akhirnya klub menjadi memiliki fans baseyang cukup besar dan ini bisa dikelola dengan profesional agar menjadi aset klub yang cukup besar,” tambahnya.

Arus politik otonomi daerah terhadap kemunculan klub di Jateng dan DIY saat ini telah menjadi sorotan dari masyarakat sipil. Suara-suara mengenai kasus korupsi dari masyarakat antikorupsi bagai mata yang terus mengawasi pengelolaan klub sepakbola di era saat ini. Hal tersebut mengakibatkan, klubklub profesional yang muncul hanya karena kepentingan politik saat ini cenderung berjalan terseok-seok.

Banyaknya tokoh politik maupun birokrat yang menjadi petinggi klub menjadikan sorotan terhada penggunaan dana pemerintah berloncatan ke ruang publik. Pengelolaan manajemen klub secara profesional dengan tidak mempergunakan dana pemerintah terus disuarakan. Hasilnya manajemen menjadi tidak memiliki sumber pendapatan yang akhirnya keuangan klub menjadi terganggu dan efek yang paling sering terdengar adalah pemain tidak digaji.

Fajar menilai, kondisi ideal keberadaan klub-klub profesional di Jateng dan DIY sangat terlihat saat Galatama masih berputar. Pemain-pemain profesional hanya tergabung di klub-klub seperti BPD Jateng, Arseto Solo, atau Perkesa Mataram. Dan hal tersebut bisa kembali digulirkan dengan niat awal memperbaiki pengelolaan sepabola.

Bermain dilevel tertinggi kompetisi sepakbola tidak bisa hanya disiapkan dengan asal-asalan dan dalam tempo yang singkat. Persiapan tidak hanya dari sisi sumberdaya manusia seperti pemain. Persiapan pendanaan juga tidak bisa diabaikan oleh manajemen klub. Tidak hanya untuk persoalan menggaji pemain, tetapi juga untuk membiayai klub saat harus menggelar pertandingan.

“Venue di Indonesia ini satu sama lain jaraknya sangat jauh. Antar pulau sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ini sangat berbeda dengan kondisi di Eropa di mana mereka hanya berada di satu pulau saja,” tambah dosen pemerhati Jurnalisme Komunikasi tersebut. Tingginya kebutuhan biaya menjalankan roda klub saat mengikuti kompetisi diamini Ketua Umum PSIM Agung Damar Kusumandaru.

Mobilisasi tim saat melakukan pertandingan tandang membutuhkan biaya yang tidak murah, terlebih saat harus melakukan pertandingan di luar Jawa. Sementara saat bermain di level tertinggi, perjalanan antar pulau merupakan sebuah hal yang sudah pasti harus dilakukan.

“Kalau masih bermain di dalam pulau di Jawa saja perjalanan darat dengan biaya yang murah masih bisa dilakukan. Kalau sudah luar pulau jelas tidak mungkin (Perjalanan murah untuk tanding tandang),” tandas mantan Presiden Kelompok Suporter Pendukung PSIM Brajamusti tersebut.

maha deva
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6896 seconds (0.1#10.140)