Dualisme Dulu, Dualisme Sekarang

Rabu, 22 Juli 2015 - 11:17 WIB
Dualisme Dulu, Dualisme Sekarang
Dualisme Dulu, Dualisme Sekarang
A A A
SURABAYA - Kondisi sepakbolaTanah Air yang muram akibat perseteruan PSSI- Menpora memunculkan komparasi diberbagai kalangan. Publik membandingkan kondisi sekarang dengan eradualisme liga beberapa tahun lalu.

Benarkah sekarang lebih menjanjikan perbaikan dibandingkan era sebelumnya? Jawabannya adalah tidak. Bicara soal kontinuitas generasi alias kesempatan pemain muda, era dualisme liga masih lebih baik. Kesempatan untuk pemain belia jauh lebih lapang. Adanya dua kompetisi, ISL dan IPL, membuat kebutuhan pemain otomatis lebih besar. Klub-klub saat itu berani memainkan pemain muda karena memang sulit mencari pemain sesuai kualitas yang diinginkan.

Ada bukti nyata yang mendukung teori tersebut. Di Jawa Timur, dualisme liga membuat tim kecil berani memberi kesempatan pemain muda. Persibo Bojonegoro, misalnya, bisa memunculkan bakat seperti Novan Setya Sasongko, Bijahil Chalwa, serta Nur Iskandar yang eksis di level satu sampai sekarang. Persema Malang memperkenalkan Reza Mustofa dan Dio Permana.

Jangan lupakan juga Kim Jeffrey Kurniawan dan Irfam Bachdim. Persebaya 1927 memiliki Taufik, Rendi Irawan, hingga Andik Vermansyah. Sangat jelas kondisi seperti itu menjadi “surga” bagi pemain-pemain belia yang menjalani awal karier profesionalnya. Sangat berbeda dengan saat ini ketika pengelolaan sepak bola hancur lebur, bahkan untuk sekadar bermain sangat sulit. “Konflik antara PSSI dan Menpora sudah sangat mencemaskan.

Belum juga ada tanda-tanda membaik dan ini pukulan berat bagi pembinaan pemain. Bisa jadi beberapa tahun ke depan Indonesia sulit menemukan generasi bagus di tim U-23,” kata Hadi Santoso, pengamat sepak bola dari Surabaya. Penulis beberapa buku tentang sepak bola ini sepakat bahwa dualisme liga memberikan ruang lebih longgar kepada pemain muda dibandingkan kevakuman seperti sekarang. “Harusnya kompetisi usia muda tetap dijalankan,” ujarnya.

Walau selama ini Kompetisi ISL U- 21 belum bisa disebut konsisten dan sempurna, hal itu menjadi satusatunya harapan pemain untuk naik level. Paling lambat, kata Hadi, idealnya tahun depan sudah ada kompetisi untuk U-21. “Bahkan, sekarang sebenarnya bisa menggelar kompetisi khusus usia tertentu. Demi menyelamatkan generasi selanjutnya, karena efeknya akan dirasakan beberapa tahun lagi. Itu kalau PSSI dan Menpora mau,” sebut Hadi.

Selepas dualisme liga, tidak banyak bakat yang dihasilkan klub. Justru pemain di tim nasional U-19 dan U-23 ditemukan lewat scoutinglangsung, bukan murni berdasarkan penampilan reguler di klubnya. Di regional Jawa Timur, hanya Persebaya yang memercayai beberapa pemain muda.

Sementara di klub lain cukup minim dalam dua-tiga musim terakhir. Arema Cronus saja gagal memberi kesempatan besar kepada pemain muda di tim senior. Persela Lamongan dan Persegres juga tidak menghasilkan pemain muda dalam dua musim terakhir. Mereka lebih percaya pemain senior karena tuntutan prestasi di liga. Kondisi itu bakal semakin parah dengan mandeknya kompetisi.

kukuh setyawan
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1121 seconds (0.1#10.140)