4 Alasan Mengapa Persegres Terburuk
A
A
A
MALANG - Persegres Gresik United menjadi tim spesialis gagal di turnamen pengisi kekosongan kompetisi reguler. Dua kali mencoba peruntungan di Turnamen Piala Presiden dan Piala Jenderal Sudirman, tim berjuluk Laskar Jaka Samudra selalu buntung.
Malah Persegres menjadi kontestan dengan rekor terburuk hingga saat ini. Jika digabungkan dengan Piala Presiden, mereka telah melakoni enam pertandingan dan semuanya berakhir dengan kekalahan. Upaya merombak komposisi tim juga tak menjadi solusi.
Langkah mendatangkan pelatih baru, pemain baru, belum membuat tim kuning bergerak maju. Persegres seakan tidak memiliki konsep dan visi yang jelas di turnamen, karena sejak semula memang tidak mematok target terlalu muluk dan terkesan apa adanya.
Tersingkir dari Piala Jenderal Sudirman meneruskan rekor buruk saat mengikuti Piala Presiden di Makassar pada September silam. Apa yang sejatinya menjadikan tim asuhan Widodo C Putro melanjutkan tradisi jeblok? Berikut ini analisanya.
Hilang Gairah
Persegres sempat mengejutkan di QNB League 2015 dan menjadi pemuncak klasemen saat kompetisi terhenti permanen. Setelah vakum cukup lama, tim Persegres hilang gairah untuk serius di sepak bola yang hanya diwarnai dengan turnamen. Motivasi pemain sudah menguap dan tidak lagi sama ketika berjibaku di QNB League.
Sejumlah pemain drop dan tidak bisa mengulang performa mereka sebelumnya. Walau saat terlibat di Piala Presiden lalu komposisi tak banyak berubah, namun Persegres tampil dengan semangat yang sudah sangat berbeda. Bahkan pelatih sekelas Liestiadi tak mampu memompa motivasi pemain dan ini masih membekas ketika Widodo C Putro ditunjuk untuk memegang kendali tim.
Mental Kadung Runtuh
Turnamen Piala Presiden dan Piala Jenderal Sudirman adalah turnamen yang berbeda. Tapi jangan dikira keduanya tidak ada kaitannya jika berbicara tim Persegres. Runtuhnya mental saat bermain di Makassar pada Piala Presiden, masih membekas dan membuat konfidensi pemain dalam titik yang sangat parah.
Kendati Widodo menyusun kekuatan anyar, tetap sulit untuk memperbaiki mental yang sudah kadung runtuh dan membuat tim kurang yakin dalam bertarung. Melihat tiga laga di Piala Jenderal Sudirman, sangat jelas ada masalah mental walau Widodo C Putro tak pernah mengakui secara langsung. Pemain cepat drop, mudah kehilangan fokus, serta gampang panik, adalah gambaran bagaimana mental mereka sangat renyah.
Niat Sekadar Ikut
Niat Persegres dalam mengikuti turnamen juga patut dipertanyakan. Di sini bisa dibilang tim kebanggaan Kota Pudak hanya sekadar ikut turnamen tanpa benar-benar mengincar prestasi. Manajemen sendiri sejak semula menyatakan kurang bernafsu mengikuti turnamen dan lebih bersemangat di kompetisi reguler.
Kebijakan dalam rekrutmen pemain sangat kelihatan bahwa manajemen tidak mau nombok terlalu besar. Mungkin tim lain juga ada yang demikian, tapi Persegres menjadi yang paling parah. Misi untuk memainkan aset lokal dan pemain muda memang patut mendapat pujian. Tapi jika kemudian hanya menjadi 'sansak hidup' alias spesialis kalah, berarti memang tim ini bergerak ke arah yang salah. Kasian mental pemain yang pada akhirnya harus nerima kenyataan bahwa timnya hanya medioker.
Kualitas Merosot
Pembatasan rekrutmen menjadi hal paling sulit bagi Widodo C Putro. Sudah tak memakai pemain asing, masih ditambah dengan pemain yang masih minim pengalaman. Secara umum kualitas tim Persegres cenderung merosot dibanding saat mengikuti Piala Presiden silam.
Pemain yang dibawa Widodo mungkin dianggap mumpuni, tapi persoalannya kualitas seperti itu standarnya masih terlalu rendah dibanding milik pesaing. Menghadapi tim sekelas Arema Cronus, Persija Jakarta dan Sriwijaya FC, mustahil bisa bermimpi prestasi dengan komposisi tim yang ada sekarang. Bukan persoalan pemain lokal atau muda, tapi standar mutu tim Persegres secara umum masih sangat rendah.
Malah Persegres menjadi kontestan dengan rekor terburuk hingga saat ini. Jika digabungkan dengan Piala Presiden, mereka telah melakoni enam pertandingan dan semuanya berakhir dengan kekalahan. Upaya merombak komposisi tim juga tak menjadi solusi.
Langkah mendatangkan pelatih baru, pemain baru, belum membuat tim kuning bergerak maju. Persegres seakan tidak memiliki konsep dan visi yang jelas di turnamen, karena sejak semula memang tidak mematok target terlalu muluk dan terkesan apa adanya.
Tersingkir dari Piala Jenderal Sudirman meneruskan rekor buruk saat mengikuti Piala Presiden di Makassar pada September silam. Apa yang sejatinya menjadikan tim asuhan Widodo C Putro melanjutkan tradisi jeblok? Berikut ini analisanya.
Hilang Gairah
Persegres sempat mengejutkan di QNB League 2015 dan menjadi pemuncak klasemen saat kompetisi terhenti permanen. Setelah vakum cukup lama, tim Persegres hilang gairah untuk serius di sepak bola yang hanya diwarnai dengan turnamen. Motivasi pemain sudah menguap dan tidak lagi sama ketika berjibaku di QNB League.
Sejumlah pemain drop dan tidak bisa mengulang performa mereka sebelumnya. Walau saat terlibat di Piala Presiden lalu komposisi tak banyak berubah, namun Persegres tampil dengan semangat yang sudah sangat berbeda. Bahkan pelatih sekelas Liestiadi tak mampu memompa motivasi pemain dan ini masih membekas ketika Widodo C Putro ditunjuk untuk memegang kendali tim.
Mental Kadung Runtuh
Turnamen Piala Presiden dan Piala Jenderal Sudirman adalah turnamen yang berbeda. Tapi jangan dikira keduanya tidak ada kaitannya jika berbicara tim Persegres. Runtuhnya mental saat bermain di Makassar pada Piala Presiden, masih membekas dan membuat konfidensi pemain dalam titik yang sangat parah.
Kendati Widodo menyusun kekuatan anyar, tetap sulit untuk memperbaiki mental yang sudah kadung runtuh dan membuat tim kurang yakin dalam bertarung. Melihat tiga laga di Piala Jenderal Sudirman, sangat jelas ada masalah mental walau Widodo C Putro tak pernah mengakui secara langsung. Pemain cepat drop, mudah kehilangan fokus, serta gampang panik, adalah gambaran bagaimana mental mereka sangat renyah.
Niat Sekadar Ikut
Niat Persegres dalam mengikuti turnamen juga patut dipertanyakan. Di sini bisa dibilang tim kebanggaan Kota Pudak hanya sekadar ikut turnamen tanpa benar-benar mengincar prestasi. Manajemen sendiri sejak semula menyatakan kurang bernafsu mengikuti turnamen dan lebih bersemangat di kompetisi reguler.
Kebijakan dalam rekrutmen pemain sangat kelihatan bahwa manajemen tidak mau nombok terlalu besar. Mungkin tim lain juga ada yang demikian, tapi Persegres menjadi yang paling parah. Misi untuk memainkan aset lokal dan pemain muda memang patut mendapat pujian. Tapi jika kemudian hanya menjadi 'sansak hidup' alias spesialis kalah, berarti memang tim ini bergerak ke arah yang salah. Kasian mental pemain yang pada akhirnya harus nerima kenyataan bahwa timnya hanya medioker.
Kualitas Merosot
Pembatasan rekrutmen menjadi hal paling sulit bagi Widodo C Putro. Sudah tak memakai pemain asing, masih ditambah dengan pemain yang masih minim pengalaman. Secara umum kualitas tim Persegres cenderung merosot dibanding saat mengikuti Piala Presiden silam.
Pemain yang dibawa Widodo mungkin dianggap mumpuni, tapi persoalannya kualitas seperti itu standarnya masih terlalu rendah dibanding milik pesaing. Menghadapi tim sekelas Arema Cronus, Persija Jakarta dan Sriwijaya FC, mustahil bisa bermimpi prestasi dengan komposisi tim yang ada sekarang. Bukan persoalan pemain lokal atau muda, tapi standar mutu tim Persegres secara umum masih sangat rendah.
(aww)