Arema Terlalu Tua

Selasa, 24 November 2015 - 18:47 WIB
Arema Terlalu Tua
Arema Terlalu Tua
A A A
Arema Cronus seperti bisa menunjukkan daya saing yang stabil di turnamen, termasuk Piala Jenderal Sudirman. Ketika artikel ini ditulis, Arema telah sukses memenangi tiga pertandingan secara meyakinkan dengan produktivitas bahkan lebih tinggi dibanding Piala Presiden lalu.

Secara kasat mata sudah jelas tim polesan Joko Susilo sudah berada di trek yang benar untuk lebih kompetitif lagi setelah gagal di turnamen sebelumnya. Baik dari sisi permainan, efisiensi, kreativitas, serta paling penting tentu saja hasil akhir.

Terlepas dari predikat salah satu tuan rumah turnamen, ada progres signifikan jika mengomparasi dengan catatan sebelumnya. Aremania tidak lagi menyaksikam timnya frustrasi dan kesulitan menembus pertahanan lawan yang rapat saat bermain Kanjuruhan.

Namun, terlepas dari progres positif tersebut, masih ada faktor yang mengganjal dan belum sanggup dilakukan Singo Edan. Ya, optimalisasi pemain muda. Arema yang selama ini dikenal dengan akademinya, secara mengejutkan justru menjadi salah satu tim tertua di turnamen.

Dua pemain muda, Dio Permana dan Junda Irawan, tak lebih dari sekadar alat menggugurkan kewajiban untuk memakai pemain U-21 sesuai regulasi penyelenggara turnamen. Mereka hanya bermain kurang dari seperempat jam dan belum bisa disebut sebagai regenerasi Singo Edan.

Tanpa menghitung keduanya, rataan usia pemain Arema yang menjadi kekuatan inti di Piala Jenderal Sudirman adalah 30 tahun. Sekali lagi bicara kekuatan inti, pemain termuda adalah Johan Alfarizie yang justru sudah berusia 25 tahun. Sedangkan lainnya sudah berkepala tiga dan ada beberapa yang mendekati 30-an.

Saya rasa ini bukan fakta yang menggembirakan. Arema adalah tim yang terus memgembangkan akademinya, bahkan memiliki 'cabang' hingga Tulungagung. Seharusnya klub ini memberikan sebuah daya tawar atau bukti bahwa mereka sangat prospektif untuk pemain-pemain muda.

Artinya, pelatih maupun manajemen memiliki tanggungjawab moril untuk menunjukkan bahwa akademi tersebut tak sekadar belajar sepak bola, namun juga ada jenjang bagi pemain muda ke tim senior. Kenyataannya Singo Edan terlampau gemar dengan pemain uzur.

Saya memahami bahwa ini berhubungan langsung dengan ambisi. Arema ingin terus meraup trofi sebanyak mungkin, dan itu lebih berpeluang dicapai dengan kekuatan yang sarat pengalaman dan skill mumpuni. Tapi sebenarnya tidak mutlak harus mengandalkan pemain tua.

Ingat di era Robert Rene Albert saat membawa Arema Indonesia juara Indonesia Super League (2009-2010). Rataan usia pemain jauh lebih muda dibanding yang ada sekarang ini. Nyatanya mampu meraih juara dan bahkan pemainnya masih top hingga sekarang.

Ahmad Bustomi, Kurnia Meiga, Juan Revi, Hermawan, Benny Wahyudi, adalah beberapa hasil polesan Robert yang saat itu masih berusia muda. Saya khawatir ambisi Arema justru berimplikasi negatif pada perkembangan talenta-talenta belia, terutama soal kesempatan promosi ke tim utama.

Arema sepertinya sangat ketakutan ketika memainkan pemain mudanya di lapangan. Sebuah ketakutan yang jujur saja belum pernah terlihat sebelumnya dan sama sekali bukan tipikal Singo Edan. Inisiatif di Piala Jenderal Sudirman sudah menegaskan hal itu.

Saya juga tak melihat tanda-tanda Dio Permana dan Junda Irawan akan mendapatkan menit bermain lebih lama di lapangan. Saya pikir keduanya tak perlu terlalu berharap juga. Tensi Arema terus meningkat dan situasinya semakin tidak berpihak kepada pemain belia tersebut.

Ketika Arema Cronus menghadapi Persegres Gresik United dan Persipasi Bandung Raya, keduanya cuma sebentar di lapangan karena Arema ingin mengoleksi poin di laga awal. Setelah mengalahkan Sriwijaya FC, maka misi otomatis berubah dan Arema ingin juara grup.

Setelah menuntaskan fase grup, Arema tentunya akan menghadapi misi-misi lain yang lebih berat di fase knock out. Tantangan akan semakin membesar dan saya tidak melihat ada prospek positif bagi Dio Permana maupun Junda Irawan untuk lebih lama di atas rumput Kanjuruhan.

Plus, Arema merasa masih menanggung hutang setelah gagal di Piala Presiden lalu. Itu semakin menghimpit tim ini dan tak pernah leluasa memainkan pemain yunior dengan menit yang lebih banyak selama turnamen Piala Jenderal Sudirman.

Oh ya, ada yang beranggapan mereka bermain di PJS sudah untung walau minim menit bermain. Saya rasa di sini bukan soal untung atau buntung, juga bukan melulu soal pemain yang bersangkutan. Tapi bagaimana membangun kepercayaan diri klub agar lebih yakin dengan kemampuan pemain mudanya.

Joko Susilo sendiri dulu pernah menangani Akademi Arema semasa masih dikelola PT Bentoel Prima. Saya berharap pressure untuk meraih trofi tak memberangus nalurinya memoles pemain muda dan mempromosikannya ke tim utama. Toh, Arema pernah meraih trofi yang lebih bergengsi dengan komposisi lebih muda.

Sebenarnya bukan sekarang saja Arema kurang begitu percaya pada skuad mudanya. Sejak menjelma menjadi Arema Cronus, tim ini kurang bisa memanfaatkan aset muda dan satu demi satu meninggalkan Kanjuruhan. Menurut saya ini problem serius bagi Arema.

Sebagai tim besar dengan kemampuan mengelola akademi, semestinya ada hal yang lebih besar untuk dilakukan untuk mengorbitkan talenta muda. Tak hanya sekadar menunjuk pemain yang berkostum klub lain sembari berkata, "Itu jebolan Arema." Bukan, sama sekali bukan seperti itu. Tapi bagaimana klub berperan langsung pada perkembangan mereka tahap demi tahap.
(bbk)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4471 seconds (0.1#10.140)