Saatnya Bintang U-21 Bersinar di Panggung Kompetisi Liga Indonesia
A
A
A
Lima turnamen besar telah dituntaskan sejak pembekuan PSSI pada 2015 lalu. Mulai Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, Piala Jenderal Sudirman, Piala Gubernur Kaltim, sampai Piala Bhayangkara. Dari semua gelaran tersebut, ada satu yang menarik bagi saya.
Bukan siapa tim yang juara, bukan siapa pemain terbaik, bukan juga siapa penyelenggara turnamen. Satu hal yang paling paling inspiratif adalah regulasi turnamen yang mewajibkan tim memakai pemain U-21. Regulasi ini dipakai di Piala Jenderal Sudirman dan Piala Bhayangkara.
Di Piala Jenderal Sudirman, tiap tim diharuskan memakai dua pemain belia tapi tidak mengatur berapa menit mereka berada di lapangan. Regulasi ini masih memunculkan kelemahan karena banyak tim hanya menurunkan pemain mudanya beberapa menit saja di lapangan.
Peraturan yang sempat hilang di Piala Gubernur Kaltim, akhirnya dipakai lagi di Piala Bhayangkara. Di sini ada perbedaan aturan main. Walau hanya mengharuskan tim memakai satu pemain U-21, tapi pemain dengan kategori usia tersebut harus tetap ada di tim hingga laga usai.
Saya memandang regulasi ini sangat inspiratif dan layak diteruskan di kompetisi Liga Indonesia di semua level. Sepak bola Indonesia sudah di ambang fajar setelah melewati masa kegelapan dan kompetisi pun sudah menyingsing. Saat yang tepat operator kompetisi memberikan sebuah sentuhan perubahan positif.
Wajib U-21 menjadi salah satu langkah yang sangat mudah dan murah untuk dijalankan. Dibanding menambah kuota pemain asing, saya rasa regulasi ini jauh lebih penting dan berdampak positif pada masa depan sepak bola Indonesia. Menambah pemain asing hanya akan menyuburkan kantong agen pemain.
Mengamati turnamen demi turnamen, saya senang dan terhibur dengan munculnya nama-nama seperti Ryuji Utomo dan Junda Irawan (Arema Cronus), Yanto Basna (Persib Bandung), Ichsan Kurniawan (Sriwijaya FC), Yabes Roni dkk di Bali United, serta pemain muda di tim lain.
Nama-nama di atas menghiasi partai semifinal dan final Piala Bhayangkara. Coba bayangkan, apakah mereka akan mendapat jatah bermain seperti itu jika tak ada regulasi yang mengikat? Belum tentu. Malah saya percaya jawabnya hampir tidak mungkin, karena berkaitan dengan tuntutan prestasi.
Saya malah tidak percaya Ryuji Utomo dan Junda Irawan bakal bermain di partai final lawan Persib Bandung. Ketika bek kanan Arema Cronus ada Hasim Kipuw dan Benny Wahyudi, tanpa regulasi tersebut Ryuji bakal hanya menjadi cadangan. Saya sangat yakin seperti itu.
Walau tidak bisa meniru, tapi kita bisa terinspirasi oleh revolusi sepak bola Jerman hingga mereka bisa stabil di Piala Dunia. Selama satu dasawarsa di era 2000-an, Jerman mengirimkan scout alias pemandu bakat dan pelatih ke distrik-distrik untuk mencari talenta berbakat. Tim profesional diharuskan mencantumkan pemain-pemain lokal.
Hasilnya, mereka menuai hasil dengan munculnya generasi Mesut Ozil, Manuel Neuer, Thomas Muller, Bastian Schweinsteiger dan banyak pemain bintang lain yang menjadi juara dunia di Brasil. Indonesia masih terlalu muluk untuk bicara seperti itu, karena faktanya menggelar kompetisi saja masih harus sikut-sikutan.
Walau tak sampai seperti Jerman, minimal bisa dilakukan dari hal terkecil. Saya yakin regulasi wajib U-21 sangat cocok untuk diterapkan di sini. Logikanya, kalau di turnamen saja aturan tersebut bisa berjalan, kenapa di kompetisi tidak bisa. Sesuai dengan niat membangun sepak bola Indonesia, visi ke depan sudah harus dipasang.
Saya menyarankan, atau lebih tepatnya mendesak, Indonesia Soccer Championship (ISC) membatalkan pemakaian empat pemain asing. Mengimpor pemain asing sebanyak itu bukan langkah cerdas menyelamatkan masa depan sepak bola Indonesia. Regulasi wajib U-21 lebih layak diprioritaskan.
Jika positif digelar, ISC akan menjadi kompetisi pembuka setelah setahun vakum. Ini momentum tepat bagi ISC untuk meletakkan pondasi yang kokoh, visi memperbaiki, serta konsep yang berpihak pada pemain muda Indonesia. Mengadopsi regulasi itu akan menjadi keputusan yang brilian.
Saya pilih melihat pemain-pemain muda Indonesia bermain buruk, melakukan kesalahan fatal, atau mungkin mengobral emosi di lapangan, dibandingkan menyaksikan pemain asing itu-itu saja yang sebagian sudah masuk kategori rongsok di kompetisi Indonesia.
Saya lebih melihat Yanto Basna emosional dengan menendang botol ke arah Esteban Vizcarra dan mendapat kartu merah. Itu sesuatu yang wajar. Apa yang dilakukan Yanto Basna adalah proses natural seorang pemain muda dan dia akan terus belajar dari situasi tersebut.
Harus diakui tim-tim besar tidak semuanya memiliki komitmen untuk mengorbitkan talenta-talenta muda. Tuntutan harus mencapai prestasi tinggi, seringkali membuat pelatih khawatir keseimbangan timnya terganggu. Kita juga tak bisa menyalahkan pelatih atau klub.
Menyalahkan tidak akan membawa efek apa pun. Sebab yang dibutuhkan adalah sebuah egulasi yang benar-benar mengikat dan berlaku untuk semua level kompetisi profesional. Saya sangat berharap keberadaan pemain U-21 sepanjang 90 menit akan tetap lestari di sepak bola negeri ini. (*)
Bukan siapa tim yang juara, bukan siapa pemain terbaik, bukan juga siapa penyelenggara turnamen. Satu hal yang paling paling inspiratif adalah regulasi turnamen yang mewajibkan tim memakai pemain U-21. Regulasi ini dipakai di Piala Jenderal Sudirman dan Piala Bhayangkara.
Di Piala Jenderal Sudirman, tiap tim diharuskan memakai dua pemain belia tapi tidak mengatur berapa menit mereka berada di lapangan. Regulasi ini masih memunculkan kelemahan karena banyak tim hanya menurunkan pemain mudanya beberapa menit saja di lapangan.
Peraturan yang sempat hilang di Piala Gubernur Kaltim, akhirnya dipakai lagi di Piala Bhayangkara. Di sini ada perbedaan aturan main. Walau hanya mengharuskan tim memakai satu pemain U-21, tapi pemain dengan kategori usia tersebut harus tetap ada di tim hingga laga usai.
Saya memandang regulasi ini sangat inspiratif dan layak diteruskan di kompetisi Liga Indonesia di semua level. Sepak bola Indonesia sudah di ambang fajar setelah melewati masa kegelapan dan kompetisi pun sudah menyingsing. Saat yang tepat operator kompetisi memberikan sebuah sentuhan perubahan positif.
Wajib U-21 menjadi salah satu langkah yang sangat mudah dan murah untuk dijalankan. Dibanding menambah kuota pemain asing, saya rasa regulasi ini jauh lebih penting dan berdampak positif pada masa depan sepak bola Indonesia. Menambah pemain asing hanya akan menyuburkan kantong agen pemain.
Mengamati turnamen demi turnamen, saya senang dan terhibur dengan munculnya nama-nama seperti Ryuji Utomo dan Junda Irawan (Arema Cronus), Yanto Basna (Persib Bandung), Ichsan Kurniawan (Sriwijaya FC), Yabes Roni dkk di Bali United, serta pemain muda di tim lain.
Nama-nama di atas menghiasi partai semifinal dan final Piala Bhayangkara. Coba bayangkan, apakah mereka akan mendapat jatah bermain seperti itu jika tak ada regulasi yang mengikat? Belum tentu. Malah saya percaya jawabnya hampir tidak mungkin, karena berkaitan dengan tuntutan prestasi.
Saya malah tidak percaya Ryuji Utomo dan Junda Irawan bakal bermain di partai final lawan Persib Bandung. Ketika bek kanan Arema Cronus ada Hasim Kipuw dan Benny Wahyudi, tanpa regulasi tersebut Ryuji bakal hanya menjadi cadangan. Saya sangat yakin seperti itu.
Walau tidak bisa meniru, tapi kita bisa terinspirasi oleh revolusi sepak bola Jerman hingga mereka bisa stabil di Piala Dunia. Selama satu dasawarsa di era 2000-an, Jerman mengirimkan scout alias pemandu bakat dan pelatih ke distrik-distrik untuk mencari talenta berbakat. Tim profesional diharuskan mencantumkan pemain-pemain lokal.
Hasilnya, mereka menuai hasil dengan munculnya generasi Mesut Ozil, Manuel Neuer, Thomas Muller, Bastian Schweinsteiger dan banyak pemain bintang lain yang menjadi juara dunia di Brasil. Indonesia masih terlalu muluk untuk bicara seperti itu, karena faktanya menggelar kompetisi saja masih harus sikut-sikutan.
Walau tak sampai seperti Jerman, minimal bisa dilakukan dari hal terkecil. Saya yakin regulasi wajib U-21 sangat cocok untuk diterapkan di sini. Logikanya, kalau di turnamen saja aturan tersebut bisa berjalan, kenapa di kompetisi tidak bisa. Sesuai dengan niat membangun sepak bola Indonesia, visi ke depan sudah harus dipasang.
Saya menyarankan, atau lebih tepatnya mendesak, Indonesia Soccer Championship (ISC) membatalkan pemakaian empat pemain asing. Mengimpor pemain asing sebanyak itu bukan langkah cerdas menyelamatkan masa depan sepak bola Indonesia. Regulasi wajib U-21 lebih layak diprioritaskan.
Jika positif digelar, ISC akan menjadi kompetisi pembuka setelah setahun vakum. Ini momentum tepat bagi ISC untuk meletakkan pondasi yang kokoh, visi memperbaiki, serta konsep yang berpihak pada pemain muda Indonesia. Mengadopsi regulasi itu akan menjadi keputusan yang brilian.
Saya pilih melihat pemain-pemain muda Indonesia bermain buruk, melakukan kesalahan fatal, atau mungkin mengobral emosi di lapangan, dibandingkan menyaksikan pemain asing itu-itu saja yang sebagian sudah masuk kategori rongsok di kompetisi Indonesia.
Saya lebih melihat Yanto Basna emosional dengan menendang botol ke arah Esteban Vizcarra dan mendapat kartu merah. Itu sesuatu yang wajar. Apa yang dilakukan Yanto Basna adalah proses natural seorang pemain muda dan dia akan terus belajar dari situasi tersebut.
Harus diakui tim-tim besar tidak semuanya memiliki komitmen untuk mengorbitkan talenta-talenta muda. Tuntutan harus mencapai prestasi tinggi, seringkali membuat pelatih khawatir keseimbangan timnya terganggu. Kita juga tak bisa menyalahkan pelatih atau klub.
Menyalahkan tidak akan membawa efek apa pun. Sebab yang dibutuhkan adalah sebuah egulasi yang benar-benar mengikat dan berlaku untuk semua level kompetisi profesional. Saya sangat berharap keberadaan pemain U-21 sepanjang 90 menit akan tetap lestari di sepak bola negeri ini. (*)
(aww)