Buntut Kegagalan SEA Games 2017; Berapa Dana untuk Olahraga?

Kamis, 31 Agustus 2017 - 10:26 WIB
Buntut Kegagalan SEA Games 2017; Berapa Dana untuk Olahraga?
Buntut Kegagalan SEA Games 2017; Berapa Dana untuk Olahraga?
A A A
"NANGKAP paus kok pake cacing!". Ungkapan sindiran ini sering diucapkan orang untuk mereka yang ingin mencapai hasil besar, tapi usaha yang dilakukan sangat sederhana. Malah ada lagi sindiran lain yang nyinyir. Berharap mencapai bulan, padahal yang dinaikin cuma sepeda.

Mungkin itulah kalimat sindiran yang bisa dialamatkan untuk kegagalan kontingen Indonesia di SEA Games XXIX, 19-30 Agustus 2017, Kuala Lumpur Malaysia. Target Prima seperti kita ketahui 55 medali emas dan peringkat empat. Memperbaiki raihan SEAG XXVIII, Singapura dua tahun silam, 47 emas dan peringkat lima.

Namun hingga sehari menjelang penutupan, Selasa (29/8/2017), kontingen Indonesia baru mengantongi 36 emas, 62 perak, 75 perungu, dan menempati urutan ke-5. Di atas kita, Singapura, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Baik perolehan medali maupun posisi di klasemen, tidak akan berubah lagi.

Wakil Presiden Jusuf Kala seperti dilansir media-media online, merasa kecewa. Apalagi, Presiden Jokowi yang sempat berharap kontingen kita menjadi juara umum untuk ke-11 kali. "Kita pernah jadi juara umum sepuluh kali. Rakyat kita paling banyak, sepantasnya kita jadi juara umum lagi!" kata Jokowi saat pelepasan kontingen, Senin (7/8/2017) pagi di Istana Negara.

Kedua pemimpin bangsa tidak salah jika kecewa. Sebagai kepala pemerintahan, keduanya tentu ingin keberhasilan. Apalagi, bangsa kita bukan hanya paling luas geografi serta paling banyak rakyatnya. Bangsa kita juga memiliki kejayaan dalam dunia keolahragaan. Ketika rakyat Malaysia, Singapura masih terseok-seok, dan rakyat Vietnam masih berkubang darah dalam perang saudara, bangsa kita sudah berjaya dalam Asian Games ke-4, 1962 di Jakarta.

Atlet Tidak Salah

Jadi, kecewa boleh, tapi jangan salahkan atlet, pelatih, atau pembina. Mereka sudah bertarung dengan gagah berani. Mereka telah mengorbankan segalanya. Jika hasilnya seperti ini, coba kita tanyakan pada diri kita sendiri. Ada apa dan mengapa?

Di atas saya menuliskan dua kalimat sindiran, coba kita cermati. Lalu, kita bandingkan dengan dua negeri jiran kita: Malaysia dan Singapura.

Atlet-atlet, pelatih-pelatih, dan para pembina mereka tak mengalami kendala apapun. Semua persyaratan untuk meningkatkan prestasi, sudah terpenuhi sejak dua tahun silam. Dana yang disiapkan oleh kedua negara itu khusus untuk SEAG ke-29, tidak kurang dari Rp 1 triliun rupiah.

Tak heran, tak terdengar sedikit pun keluhan dari para atlet dan para pelatih mereka. Bahkan, berulang kita dengar atlet mereka melakukan uji coba ke mana saja. Begitu pula dengan Vietnam. Meski anggaran olahraganya tidak sebesar Malaysia dan Singapura, tapi angkanya dapat dipastikan 3 sampai 4 kali lebih besar dari angka untuk kontingen kita. Angka kontingen kita ke SEAG Kuala Lumpur hanya sebesar Rp 43 miliar. Itu pun datangnya saat injury-time.

Jadi, jika masih ada orang yang mau menyalahkan para atlet, pelatih, dan pembina, saya berani menyebut mereka: Terlalu. Para pejuang olahraga kita itu sudah mengorbankan segalanya. "Kalau bukan karena merah-putih, kami sudah pergi!" tukas beberapa atlet ketika ditanyakan pendapatnya terkait tunggakan selama tujuh bulan. Padahal itu hak mereka, padahal mereka sedang dipacu untuk mengharumkan nama bangsa.

"Standar minimal saja tidak kami peroleh. Uji coba penting tidak bisa kami lakukan. Peralatan, sangat minimal!" tukas beberapa pelatih.

Seriuskah Kita?

Tanpa harus menyalahkan siapa pun, kegagalan kita itu harus jadi cambuk untuk kemajuan. Kegagalan itu harus kita lawan. Seperti tertulis dalam Al-Quran, surah Ash-Sharf (melapangkan), ayat 5 dan 6: "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."

Pertanyaannya, maukah kita jadikan kegagalan ini sebagai momentum kebangkitan? Semua tentu berpulang pada kita para praktisi olahraga di satu pihak dan pemerintah di pihak lainnya.

Jika kita sepakat, yang pertama harus dilakukan adalah menempatkan dunia olahraga di posisi terhormat. Dengan begitu, jangan lagi membiarkan atlet, pelatih, dan pembina berhutang lantaran hak mereka tertunggak lebih dari setengah tahun. Jangan biarkan lagi program teknis mengikuti anggaran.

Pemerintah, eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus mau bahu-membahu membela kepentingan dunia olahraga. Anggaran Kemenpora harus dinaikan jika perlu hingga lima kali lipat. Tentu harus dengan sistem pengawasan yang ekstra keras agar anggaran itu tidak bocor. Tanpa itu semua, maka jangan mimpi jargon Bung Karno: Membangun olahraga, Membangun bangsa. Jangan juga kecewa jika jargon Pak Harto: Memasyarakatkan olahraga, Mengolahragakan masyarakat bisa terlaksana.

Bukan hanya itu, peran KONI selaku pembina sebagaimana fakta sejarah, kembali dilibatkan. Sejak terbit dan berlakunya UU-SKN no.3 tahun 2005, KONI dimandulkan. KONI dijadikan penonton, padahal begitu banyak kemampuan bersemayam di sana. Sementara KOI sendiri tidak memiliki (sesuai UU-SKN) tangan hingga ke bawah.

Dualisme ini harus dan mutlak dihentikan. Dua lembaga itu harus disatukan kembali. Tentu saja UU-SKN harus diamandemen. Cabor-cabor harus digairahkan. Tanpa itu semua, tak pantas kita kecewa!

Jadi jika ingin menangkap paus, pakailah umpan yang besar pula. Jika ingin ke bulan, pakailah roket. Semoga selalu ada jalan keluar...

* M. Nigara

Wartawan Olahraga Senior
(bbk)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 5.1015 seconds (0.1#10.140)