Demokrasi sepak bola: status quo vs perubahan
A
A
A
Garis final sudah di depan mata. Spanyol, melalui “lotre” alias adu penalti mampu menjungkalkan Portugal dan memantapkan kakinya sebagai salah satu finalis Piala Eropa 2012.
Di semifinal lain, Italia berhasil menjinakkan agresivitas Jerman dengan skor 2-1. Der Panzer harus rela angkat koper. Italia akan bertemu Spanyol di partai final untuk menentukan siapa yang pantas menjadi kampiun sejati Eropa. Penantang baru akan bertarung dengan sang juara bertahan. Sebenarnya Italia pernah berjumpa Spanyol di babak penyisihan Grup C, 10 Juni lalu.
Pertandingan yang berkesudahan 1-1 itu layak dinilai sebagai salah satu pertandingan terbaik di matchday 1 Piala Eropa 2012. Pertandingan yang berkelas walaupun tidak memunculkan pemenang. Karena itu, secara matematis Spanyol dan Italia bukanlah tim lemah. Kedua tim mempunyai catatan pertandingan yang cukup bagus. Dalam semua laga sebelum mencapai titik final, Gli Azzurri mampu membukukan enam gol dan kemasukan tiga gol.
Sementara La Furia Roja mencetak delapan gol dan baru kebobolan satu gol. Titel juara Eropa tinggal selangkah ke depan.Tentu saja kedua finalis tidak akan membuang peluang, terlebih Italia. Squadra Azzura sudah cukup lama tidak menempati kursi puncak sebagai juara Piala Eropa. Italia hanya sekali berhasil menancapkan diri sebagai nomor satu di Eropa, yaitu pada tahun 1968, 44 tahun silam.
Italia mempunyai gaya permainan yang berbeda dengan Spanyol. Dengan formasi 3-5-2 racikan Cesare Prandelli, Italia mampu memadukan cattenaccio—gaya gerendel khas Italia—dengan daya dobrak yang atraktif. Dengan mental juara sekuat baja, Andrea Pirlo dan kawan-kawan bermain secara spartan, kreatif, dan berani merebut bola meski harus berduel satu melawan satu. Gaya permainan Italia terlihat penuh teka-teki. Sementara Spanyol, dengan tiki-taka, berfokus pada penguasaan bola dengan gaya umpan pendek cepat.
STATUS QUO
Spanyol, sang juara bertahan Piala Eropa, menurut mantan pemain Bayern Muenchen Mehmet Scholl, memiliki pola penguasaan bola yang sulit diimbangi tim mana pun. “Melawan Spanyol, semua lawan akan merasa seperti wasit. Anda berlari sepanjang waktu, tapi tidak pernah sukses mendapatkan bola. Lalu, ketika merebut bola, Anda melihat ke depan dan baru tahu gawang lawan (Spanyol) masih berjarak 70 meter ke depan,” ujar Scholl.
Tiki-taka khas Spanyol selama empat tahun terakhir selalu mendapat pujian karena berhasil menghadirkan permainan yang mampu menghibur penonton. Kini, di Piala Eropa 2012, tim asuhan Vicente del Bosque ini dihadapkan dengan kritik. Gaya tiki-taka yang mengantarkan Spanyol meraih Trofi Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010 itu dianggap mulai tak menarik lagi.
Sebab, Spanyol sebagai status quo hanya banyak menguasai bola di lini tengah atau depan kotak penalti lawan, tapi tak mampu menciptakan banyak peluang. Tercatat, ada beberapa media yang secara terang mengomentari mandeknya permainan Cesc Fabregas dan kawan-kawan.
Harian olahraga ternama Italia La Gazetta dello Sport, setelah pertandingan perempat final antara Spanyol melawan Prancis, pada halaman depan menulis, “Spanyol dan Prancis tidak menarik”. La Gazetta menuding Spanyol menyembunyikan bola dengan permainannya. Mereka mempertanyakan bagaimana sepak bola Spanyol menguasai permainan dengan menyembunyikan bola tanpa membahayakan lawan, meskipun punya lima pemain yang berkarakter ofensif.
Bahkan, di negara media dari negara La Furia Roja sendiri juga menyebut Spanyol sebagai tim membosankan. “Bagus, tak terkalahkan, super, tapi juara yang membosankan,” itulah yang tertulis di harian olahraga Spanyol Marca dan Harian La Repubblica.
PERUBAHAN
Rasanya menarik untuk dicermati perasaan para penonton, antara kebosanan dan status quo serta perlunya gaya baru yang bisa dinikmati. Apalagi, sepak bola juga sudah menjadi industri hiburan yang mesti memperhatikan faktor psikologis penonton. Lihat saja, tak ternilai jumlahnya iklan yang tersedot dari industri ini, belum lagi dari pendapatan penjualan tiket.
Spanyol adalah simbol status quo yang mesti mendapat perlawanan dari Italia sebagai tim pembaharu. Dengan ekspektasi adanya pembaharuan, final Piala Eropa akan berjalan lebih menarik. Kehidupan sepak bola tak ubahnya seperti kehidupan politik di Tanah Air. Sekadar contoh, jika pemilu 1999 dimenangkan PDI-P, pemilu 2004 oleh Partai Golkar, tapi pemilu 2009 dimenangkan Partai Demokrat.
Itulah demokrasi dalam politik yang tidak berbeda dengan demokrasi sepak bola yang mencuat dalam Piala Eropa. Demokrasi selalu menampilkan sisi lain yang baru. Bagi negara yang stagnan, perubahan harus dilaksanakan agar terlahir kreativitas dan dinamisasi dalam kehidupan. Perubahan mendorong masyarakat lebih optimistis dan partisipatif.Tentu saja perubahan yang dimaksud di sini adalah usaha yang mengarah pada keadaan yang lebih baik.
Perubahan yang lahir dari perjuangan yang sportif, seperti yang diajarkan oleh sepak bola. Kembali ke Piala Eropa 2012, fakta yang terjadi di lapangan adalah pertarungan antara status quo dan pembaharu. Akankah status quo mampu bertahan atau sebaliknya mampu dikalahkan oleh pembaharu? Sungguh menantang untuk kita saksikan! ● ALI MASYKUR MUSA Anggota BPK RI dan Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
Di semifinal lain, Italia berhasil menjinakkan agresivitas Jerman dengan skor 2-1. Der Panzer harus rela angkat koper. Italia akan bertemu Spanyol di partai final untuk menentukan siapa yang pantas menjadi kampiun sejati Eropa. Penantang baru akan bertarung dengan sang juara bertahan. Sebenarnya Italia pernah berjumpa Spanyol di babak penyisihan Grup C, 10 Juni lalu.
Pertandingan yang berkesudahan 1-1 itu layak dinilai sebagai salah satu pertandingan terbaik di matchday 1 Piala Eropa 2012. Pertandingan yang berkelas walaupun tidak memunculkan pemenang. Karena itu, secara matematis Spanyol dan Italia bukanlah tim lemah. Kedua tim mempunyai catatan pertandingan yang cukup bagus. Dalam semua laga sebelum mencapai titik final, Gli Azzurri mampu membukukan enam gol dan kemasukan tiga gol.
Sementara La Furia Roja mencetak delapan gol dan baru kebobolan satu gol. Titel juara Eropa tinggal selangkah ke depan.Tentu saja kedua finalis tidak akan membuang peluang, terlebih Italia. Squadra Azzura sudah cukup lama tidak menempati kursi puncak sebagai juara Piala Eropa. Italia hanya sekali berhasil menancapkan diri sebagai nomor satu di Eropa, yaitu pada tahun 1968, 44 tahun silam.
Italia mempunyai gaya permainan yang berbeda dengan Spanyol. Dengan formasi 3-5-2 racikan Cesare Prandelli, Italia mampu memadukan cattenaccio—gaya gerendel khas Italia—dengan daya dobrak yang atraktif. Dengan mental juara sekuat baja, Andrea Pirlo dan kawan-kawan bermain secara spartan, kreatif, dan berani merebut bola meski harus berduel satu melawan satu. Gaya permainan Italia terlihat penuh teka-teki. Sementara Spanyol, dengan tiki-taka, berfokus pada penguasaan bola dengan gaya umpan pendek cepat.
STATUS QUO
Spanyol, sang juara bertahan Piala Eropa, menurut mantan pemain Bayern Muenchen Mehmet Scholl, memiliki pola penguasaan bola yang sulit diimbangi tim mana pun. “Melawan Spanyol, semua lawan akan merasa seperti wasit. Anda berlari sepanjang waktu, tapi tidak pernah sukses mendapatkan bola. Lalu, ketika merebut bola, Anda melihat ke depan dan baru tahu gawang lawan (Spanyol) masih berjarak 70 meter ke depan,” ujar Scholl.
Tiki-taka khas Spanyol selama empat tahun terakhir selalu mendapat pujian karena berhasil menghadirkan permainan yang mampu menghibur penonton. Kini, di Piala Eropa 2012, tim asuhan Vicente del Bosque ini dihadapkan dengan kritik. Gaya tiki-taka yang mengantarkan Spanyol meraih Trofi Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010 itu dianggap mulai tak menarik lagi.
Sebab, Spanyol sebagai status quo hanya banyak menguasai bola di lini tengah atau depan kotak penalti lawan, tapi tak mampu menciptakan banyak peluang. Tercatat, ada beberapa media yang secara terang mengomentari mandeknya permainan Cesc Fabregas dan kawan-kawan.
Harian olahraga ternama Italia La Gazetta dello Sport, setelah pertandingan perempat final antara Spanyol melawan Prancis, pada halaman depan menulis, “Spanyol dan Prancis tidak menarik”. La Gazetta menuding Spanyol menyembunyikan bola dengan permainannya. Mereka mempertanyakan bagaimana sepak bola Spanyol menguasai permainan dengan menyembunyikan bola tanpa membahayakan lawan, meskipun punya lima pemain yang berkarakter ofensif.
Bahkan, di negara media dari negara La Furia Roja sendiri juga menyebut Spanyol sebagai tim membosankan. “Bagus, tak terkalahkan, super, tapi juara yang membosankan,” itulah yang tertulis di harian olahraga Spanyol Marca dan Harian La Repubblica.
PERUBAHAN
Rasanya menarik untuk dicermati perasaan para penonton, antara kebosanan dan status quo serta perlunya gaya baru yang bisa dinikmati. Apalagi, sepak bola juga sudah menjadi industri hiburan yang mesti memperhatikan faktor psikologis penonton. Lihat saja, tak ternilai jumlahnya iklan yang tersedot dari industri ini, belum lagi dari pendapatan penjualan tiket.
Spanyol adalah simbol status quo yang mesti mendapat perlawanan dari Italia sebagai tim pembaharu. Dengan ekspektasi adanya pembaharuan, final Piala Eropa akan berjalan lebih menarik. Kehidupan sepak bola tak ubahnya seperti kehidupan politik di Tanah Air. Sekadar contoh, jika pemilu 1999 dimenangkan PDI-P, pemilu 2004 oleh Partai Golkar, tapi pemilu 2009 dimenangkan Partai Demokrat.
Itulah demokrasi dalam politik yang tidak berbeda dengan demokrasi sepak bola yang mencuat dalam Piala Eropa. Demokrasi selalu menampilkan sisi lain yang baru. Bagi negara yang stagnan, perubahan harus dilaksanakan agar terlahir kreativitas dan dinamisasi dalam kehidupan. Perubahan mendorong masyarakat lebih optimistis dan partisipatif.Tentu saja perubahan yang dimaksud di sini adalah usaha yang mengarah pada keadaan yang lebih baik.
Perubahan yang lahir dari perjuangan yang sportif, seperti yang diajarkan oleh sepak bola. Kembali ke Piala Eropa 2012, fakta yang terjadi di lapangan adalah pertarungan antara status quo dan pembaharu. Akankah status quo mampu bertahan atau sebaliknya mampu dikalahkan oleh pembaharu? Sungguh menantang untuk kita saksikan! ● ALI MASYKUR MUSA Anggota BPK RI dan Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
(aww)