Sloane Stephens, Bukan Suksesor Serena Williams
A
A
A
SLOANE Stephens membuktikan bahwa dunia tenis wanita bak rollercoaster yang naik turun sangat cepat.
Bagaimana upaya dia menaklukkan rollercoaster tersebut hingga mampu menjajarkan namanya di antara petenis wanita elite dunia? Alkisah dalam mitologi Yunani, tersebutlah seorang dewa bernama Hephaestus. Seperti dewa-dewa mitologi Yunani lainnya, Hephaestus adalah anak dari Zeus dan Hera.
Namun, Hephaestus dibuang karena dia tidak rupawan. Jalannya juga tidak normal karena kakinya pincang. Di tengah kekurangannya tersebut, dewadewa yang bersemayam di Olimpus justru memintanya kembali.
Mereka sadar Hephaestus memiliki bakat yang tidak mereka punya, yaitu membuat senjata dan barangbarang sakti mandraguna. Dialah yang membuat baju sakti milik Achilles, helm dan sandal bersayap Hermes, perisai Aigis, korset punya Aphrodite, tongkat Agamemnon, lonceng perunggu Herakles, kereta perang Helios, bahu Pelop, busur dan anak panah Eros, begitu juga kotak yang dimiliki Pandora. Bahkan, petir yang dimiliki Zeus adalah kreasi Hephaestus.
Dan semua dewa kaget karena meski tidak rupawan, Hephaestus malah berhasil menikahi dewi paling cantik sejagat Gunung Olimpus, Aphrodite. Kelihaian Hephaestus dalam menciptakan barang-barang indah dan mandraguna inilah yang membuatnya dipuja hingga kini.
Dia adalah inspirasi bagi semua pandai besi dan kreator barang-barang jadi. Seperti Hephaestus, Sloane Stephens pada tahun lalu mengikuti Amerika Terbuka 2017 dengan kaki yang sedikit pincang akibat operasi kaki.
Cedera kaki yang menderanya membuat Sloane terbuang dari daftar 10 besar petenis dunia ke peringkat ratusan. Di Amerika terbuka dia malah sama sekali tidak masuk dalam daftar unggulan. Tidak heran jika saat itu banyak pengamat yang menutup mata akan kehadiran Sloane.
Mereka lebih memilih petenis Amerika lainnya sebagai pemenang, yakni Madison Keys dan Serena Williams Bagi Sloane, hal tersebut bukanlah masalah penting. Dia hanya mencoba memberikan yang terbaik di rumahnya sendiri.
Bak Hephaestus yang terbuang dari Gunung Olimpus, Sloane mencoba kembali mendaki puncak tertinggi petenis wanita dunia. Ajaibnya, di ajang tersebut, Sloane menorehkan tinta emas. Dia menjadi satusatunya petenis nonunggulan yang berhasil memenangi Grand Slam .
Untuk Amerika, dia menjadi istimewa karena menjadi petenis di luar keluarga Williams (Serena dan Venus) yang biasa memenangi kompetisi. Saat itu seperti Hephaestus, Sloane berhasil mencuri perhatian masyarakat dunia. Namanya jadi pembicaraan penggemar tenis dunia.
Merek-merek internasional sudah antre meminta tanda tangannya untuk memberikan endorsement . Mereka menganggap dialah suksesor Serena Williams. Meski hal tersebut selalu dia bantah. Akhir Agustus ini Sloane kembali ke US Open 2018, tempat dia dulu berhasil mencuri panggung tenis dunia.
Kali ini semuanya berubah 180 derajat. Dia yang dulunya sama sekali tidak diunggulkan, kini masuk dalam daftar unggulan ketiga. Dia yang dulunya cuma figuran, kini memiliki status juara bertahan. Perubahan 180 derajat ini tidak membuat Sloane gelap mata.
Dia sadar bahwa dunia tenis berputar lebih kencang dibandingkan rotasi bumi. Dia yang saat ini berada di atas kariernya bisa saja terhempas dengan kencang dalam hitungan detik. “Tenis itu seperti rollercoaster. Sangat cepat membawa kita ke atas dan sangat keras menghempaskan kita ke bawah,” ujar petenis kelahiran 20 Maret 1993 itu.
Di hadapan Sloane memang begitu banyak bukti yang memperlihatkan bagaimana karier petenis wanita berubah dengan cepat. Sesaat di atas dan kemudian terpuruk di bawah. Inilah mengapa Sloane berusaha mawas diri, tidak hanya di luar lapangan, juga di dalam lapangan.
Di dalam lapangan banyak orang mengkritik dirinya yang tidak menampakkan sisi emosional saat bermain. Ditambah lagi gaya bermainnya yang banyak berdiri di garis pertahanan yang membuat banyak orang bertanya-tanya, kapan dia akan menyerang.
“Banyak orang mengatakan saya tidak terlihat bersemangat saat main. Apakah itu karena saya tidak berteriak dan tidak menghempaskan raket ke lapangan?” tanya Sloane. Bagi Sloane, bersikap emosional saat bermain tenis, bukanlah cara yang terbaik buat dirinya.
Hidup telah mengajarkan bahwa dia harus bersikap lebih bijak dalam menghadapi semua persoalan. Perjalanan hidup Sloane memang tidak mudah. Seperti petenis wanita lainnya, dia sudah mulai mengayunkan raket tenis sejak kecil.
Namun, dukungan yang diberikan keluarganya tidak utuh. Perceraian membuat Sloane sejak kecil tidak mengenal ayah kandungnya yang ternyata seorang atlet NFL, John Stephens. Sosok ayah baru terasa ketika ibu Sloane, Sybil Smith, menikah dengan seorang pria Florida, Sheldon Farrell.
Sybil dan Sheldon sangat mendukung keinginan Sloane untuk bermain tenis. Namun, kebahagiaan itu hanya terasa sesaat. Ketika berumur 14 tahun dan ingin memulai kompetisi tenis profesional, Sloane harus kehilangan Sheldon karena penyakit kanker.
Ruang hati Sloane yang dulunya penuh, kini terasa kosong. Sloane muda benar-benar kehilangan motivasi. Pada saat itu ayah kandungnya, John Stephens, datang di hadapan Sloane. Hadirnya John memang berhasil membuat Sloane kembali bersemangat.
Dia akhirnya mengerti asal-muasal dirinya yang begitu mencintai olahraga. Seperti John, Sloane memiliki semangat kompetisi yang tinggi. Sayang tali keluarga yang mulai tersambung itu justru terputus lagi di tengah jalan. John Stephens meninggal dunia karena kecelakaan mobil.
Tragedi berturut-turut membuat Sloane terluka. Dia begitu membenci tenis karena menghilangkan waktunya dengan sosok ayah yang begitu dia inginkan. “Itu meru pakan masamasa yang suram buat dia karena mengalami tragedi berturut-turut semasa kecil.
Dia butuh semangat yang baru untuk menemukan cinta dengan tenis lagi,” ujar Sybil. Seperti Hepaesthus yang mendengar panggilan dari Gunung Olimpus, Sloane merasa mendengar panggilan ketika dia melihat kakak beradik Venus dan Serena Williams begitu menikmati pertandingan tenis.
“Mereka kakakadik yang sangat bergembira saat bermain. Seperti lapangan adalah taman bermain mereka,” ujarnya. Sloane akhirnya memang jatuh cinta lagi dengan tenis. Dia menyadari lewat tenis dirinya bisa menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Bedanya dia lebih bijaksana dalam menjalani semua kompetisi. Bahkan, secara langsung kepada majalah American Way , dia mengatakan tenis bukanlah karier terakhir.
“Saya ingin mendapatkan gelar akademis. Suatu saat itu (gelar akademik) itu yang akan saya banggakan kepada anak-anak saya. Selebihnya, saya cuma menceritakan kalau ibu mereka pernah melakukan ini-itu,” pungkasnya.
Bagaimana upaya dia menaklukkan rollercoaster tersebut hingga mampu menjajarkan namanya di antara petenis wanita elite dunia? Alkisah dalam mitologi Yunani, tersebutlah seorang dewa bernama Hephaestus. Seperti dewa-dewa mitologi Yunani lainnya, Hephaestus adalah anak dari Zeus dan Hera.
Namun, Hephaestus dibuang karena dia tidak rupawan. Jalannya juga tidak normal karena kakinya pincang. Di tengah kekurangannya tersebut, dewadewa yang bersemayam di Olimpus justru memintanya kembali.
Mereka sadar Hephaestus memiliki bakat yang tidak mereka punya, yaitu membuat senjata dan barangbarang sakti mandraguna. Dialah yang membuat baju sakti milik Achilles, helm dan sandal bersayap Hermes, perisai Aigis, korset punya Aphrodite, tongkat Agamemnon, lonceng perunggu Herakles, kereta perang Helios, bahu Pelop, busur dan anak panah Eros, begitu juga kotak yang dimiliki Pandora. Bahkan, petir yang dimiliki Zeus adalah kreasi Hephaestus.
Dan semua dewa kaget karena meski tidak rupawan, Hephaestus malah berhasil menikahi dewi paling cantik sejagat Gunung Olimpus, Aphrodite. Kelihaian Hephaestus dalam menciptakan barang-barang indah dan mandraguna inilah yang membuatnya dipuja hingga kini.
Dia adalah inspirasi bagi semua pandai besi dan kreator barang-barang jadi. Seperti Hephaestus, Sloane Stephens pada tahun lalu mengikuti Amerika Terbuka 2017 dengan kaki yang sedikit pincang akibat operasi kaki.
Cedera kaki yang menderanya membuat Sloane terbuang dari daftar 10 besar petenis dunia ke peringkat ratusan. Di Amerika terbuka dia malah sama sekali tidak masuk dalam daftar unggulan. Tidak heran jika saat itu banyak pengamat yang menutup mata akan kehadiran Sloane.
Mereka lebih memilih petenis Amerika lainnya sebagai pemenang, yakni Madison Keys dan Serena Williams Bagi Sloane, hal tersebut bukanlah masalah penting. Dia hanya mencoba memberikan yang terbaik di rumahnya sendiri.
Bak Hephaestus yang terbuang dari Gunung Olimpus, Sloane mencoba kembali mendaki puncak tertinggi petenis wanita dunia. Ajaibnya, di ajang tersebut, Sloane menorehkan tinta emas. Dia menjadi satusatunya petenis nonunggulan yang berhasil memenangi Grand Slam .
Untuk Amerika, dia menjadi istimewa karena menjadi petenis di luar keluarga Williams (Serena dan Venus) yang biasa memenangi kompetisi. Saat itu seperti Hephaestus, Sloane berhasil mencuri perhatian masyarakat dunia. Namanya jadi pembicaraan penggemar tenis dunia.
Merek-merek internasional sudah antre meminta tanda tangannya untuk memberikan endorsement . Mereka menganggap dialah suksesor Serena Williams. Meski hal tersebut selalu dia bantah. Akhir Agustus ini Sloane kembali ke US Open 2018, tempat dia dulu berhasil mencuri panggung tenis dunia.
Kali ini semuanya berubah 180 derajat. Dia yang dulunya sama sekali tidak diunggulkan, kini masuk dalam daftar unggulan ketiga. Dia yang dulunya cuma figuran, kini memiliki status juara bertahan. Perubahan 180 derajat ini tidak membuat Sloane gelap mata.
Dia sadar bahwa dunia tenis berputar lebih kencang dibandingkan rotasi bumi. Dia yang saat ini berada di atas kariernya bisa saja terhempas dengan kencang dalam hitungan detik. “Tenis itu seperti rollercoaster. Sangat cepat membawa kita ke atas dan sangat keras menghempaskan kita ke bawah,” ujar petenis kelahiran 20 Maret 1993 itu.
Di hadapan Sloane memang begitu banyak bukti yang memperlihatkan bagaimana karier petenis wanita berubah dengan cepat. Sesaat di atas dan kemudian terpuruk di bawah. Inilah mengapa Sloane berusaha mawas diri, tidak hanya di luar lapangan, juga di dalam lapangan.
Di dalam lapangan banyak orang mengkritik dirinya yang tidak menampakkan sisi emosional saat bermain. Ditambah lagi gaya bermainnya yang banyak berdiri di garis pertahanan yang membuat banyak orang bertanya-tanya, kapan dia akan menyerang.
“Banyak orang mengatakan saya tidak terlihat bersemangat saat main. Apakah itu karena saya tidak berteriak dan tidak menghempaskan raket ke lapangan?” tanya Sloane. Bagi Sloane, bersikap emosional saat bermain tenis, bukanlah cara yang terbaik buat dirinya.
Hidup telah mengajarkan bahwa dia harus bersikap lebih bijak dalam menghadapi semua persoalan. Perjalanan hidup Sloane memang tidak mudah. Seperti petenis wanita lainnya, dia sudah mulai mengayunkan raket tenis sejak kecil.
Namun, dukungan yang diberikan keluarganya tidak utuh. Perceraian membuat Sloane sejak kecil tidak mengenal ayah kandungnya yang ternyata seorang atlet NFL, John Stephens. Sosok ayah baru terasa ketika ibu Sloane, Sybil Smith, menikah dengan seorang pria Florida, Sheldon Farrell.
Sybil dan Sheldon sangat mendukung keinginan Sloane untuk bermain tenis. Namun, kebahagiaan itu hanya terasa sesaat. Ketika berumur 14 tahun dan ingin memulai kompetisi tenis profesional, Sloane harus kehilangan Sheldon karena penyakit kanker.
Ruang hati Sloane yang dulunya penuh, kini terasa kosong. Sloane muda benar-benar kehilangan motivasi. Pada saat itu ayah kandungnya, John Stephens, datang di hadapan Sloane. Hadirnya John memang berhasil membuat Sloane kembali bersemangat.
Dia akhirnya mengerti asal-muasal dirinya yang begitu mencintai olahraga. Seperti John, Sloane memiliki semangat kompetisi yang tinggi. Sayang tali keluarga yang mulai tersambung itu justru terputus lagi di tengah jalan. John Stephens meninggal dunia karena kecelakaan mobil.
Tragedi berturut-turut membuat Sloane terluka. Dia begitu membenci tenis karena menghilangkan waktunya dengan sosok ayah yang begitu dia inginkan. “Itu meru pakan masamasa yang suram buat dia karena mengalami tragedi berturut-turut semasa kecil.
Dia butuh semangat yang baru untuk menemukan cinta dengan tenis lagi,” ujar Sybil. Seperti Hepaesthus yang mendengar panggilan dari Gunung Olimpus, Sloane merasa mendengar panggilan ketika dia melihat kakak beradik Venus dan Serena Williams begitu menikmati pertandingan tenis.
“Mereka kakakadik yang sangat bergembira saat bermain. Seperti lapangan adalah taman bermain mereka,” ujarnya. Sloane akhirnya memang jatuh cinta lagi dengan tenis. Dia menyadari lewat tenis dirinya bisa menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Bedanya dia lebih bijaksana dalam menjalani semua kompetisi. Bahkan, secara langsung kepada majalah American Way , dia mengatakan tenis bukanlah karier terakhir.
“Saya ingin mendapatkan gelar akademis. Suatu saat itu (gelar akademik) itu yang akan saya banggakan kepada anak-anak saya. Selebihnya, saya cuma menceritakan kalau ibu mereka pernah melakukan ini-itu,” pungkasnya.
(don)