Sang Juara British Open, Georgia Hall Incar Nomor 1 Dunia
A
A
A
BOURNEMOUTH - Georgia Hall memiliki target besar pada musim 2019. Pegolf putri asal Inggris itu mengincar peringkat 1 dunia setelah memenangkan Turnamen British Open pada Agustus lalu.
Di event tersebut, Hall berhasil mengumpulkan 17 pukulan di bawah par atau unggul dua pukulan dari pegolf Thailand Pornanong Phatlum yang menempati posisi runner-updi turnamen mayor tersebut. Hebatnya, kemenangan itu mem buatnya menembus posisi 10 besar dunia.
Kini, dia bertengger di peringkat 8 dan memastikan tampil di kejuaraan dunia di Singapura tahun depan. Pegolf berusia 22 tahun itu sebenarnya butuh perjuangan keras untuk bisa mencapai prestasinya saat ini.
Pasalnya, Hall hanya memiliki keluarga yang biasa-biasa saja dan bukan dari kalangan yang berada. Hal tersebut membuatnya harus berjuang keras mengumpulkan uang untuk bisa tampil di turnamen besar.
Kini, hidupnya jauh lebih mudah setelah menerima cek sebesar USD651.000 (Rp9,5 miliar) seusai menjadi juara di Royal Lytham & St Annes Golf Club. Dengan begitu, Hall sudah memiliki modal yang cukup untuk bisa mewujudkan ambisinya tersebut.
Apalagi, dia sudah menetapkan lima target pada musim 2019. Pertama, memenangkan turnamen. Kedua, bermain dengan baik di Turnamen Mayor dan memenangkannya. Selain itu, dia ingin masuk 50 besar dan kemudian 20 besar. Namun, itu sudah dilakukannya dengan hebat.
Daftar terakhir ternyata adalah bisa menempati posisi teratas dunia. Apalagi, Hall juga tidak kecewa hanya menempati posisi kedua untuk pegolf rookie of the year di Tur LPGA atau di belakang pegolf Korea Selatan Ko Jin-young.
“Tidak apa-apa. Saya mendapatkan semua target yang lain. Saya belum menetapkan targetku untuk tahun depan. Tapi, saya sudah tahu bahwa nomor satu dunia adalah yang pertama dalam daftar,” paparnya.
Yang jelas, hidup Hall sudah sangat berbeda. Keberhasilan menjadi juara di British Open adalah berkah perjuangannya selama 15 tahun dengan situasi keuangan yang tidak berkecukupan. Pasalnya, ayahnya, Wayne Hall, hanya seorang kuli bangunan, sedangkan ibunya seorang penata rambut di sebuah salon.
“Ketika kedua orang tuaku bermain golf dan membawa saya ke driving range lokal, saya masih berusia tujuh tahun. Saya kemudian bergabung dengan klub anak-anak dan saya adalah satu-satunya perempuan.
Ada tujuh tingkatan dan saya mencapai tingkat teratas dengan cepat. Saya mengalahkan semua anak lakilaki yang dulu membenci saya. Saya akhirnya bangga dengan hasil yang diraih,” ungkap Hall.
Di event tersebut, Hall berhasil mengumpulkan 17 pukulan di bawah par atau unggul dua pukulan dari pegolf Thailand Pornanong Phatlum yang menempati posisi runner-updi turnamen mayor tersebut. Hebatnya, kemenangan itu mem buatnya menembus posisi 10 besar dunia.
Kini, dia bertengger di peringkat 8 dan memastikan tampil di kejuaraan dunia di Singapura tahun depan. Pegolf berusia 22 tahun itu sebenarnya butuh perjuangan keras untuk bisa mencapai prestasinya saat ini.
Pasalnya, Hall hanya memiliki keluarga yang biasa-biasa saja dan bukan dari kalangan yang berada. Hal tersebut membuatnya harus berjuang keras mengumpulkan uang untuk bisa tampil di turnamen besar.
Kini, hidupnya jauh lebih mudah setelah menerima cek sebesar USD651.000 (Rp9,5 miliar) seusai menjadi juara di Royal Lytham & St Annes Golf Club. Dengan begitu, Hall sudah memiliki modal yang cukup untuk bisa mewujudkan ambisinya tersebut.
Apalagi, dia sudah menetapkan lima target pada musim 2019. Pertama, memenangkan turnamen. Kedua, bermain dengan baik di Turnamen Mayor dan memenangkannya. Selain itu, dia ingin masuk 50 besar dan kemudian 20 besar. Namun, itu sudah dilakukannya dengan hebat.
Daftar terakhir ternyata adalah bisa menempati posisi teratas dunia. Apalagi, Hall juga tidak kecewa hanya menempati posisi kedua untuk pegolf rookie of the year di Tur LPGA atau di belakang pegolf Korea Selatan Ko Jin-young.
“Tidak apa-apa. Saya mendapatkan semua target yang lain. Saya belum menetapkan targetku untuk tahun depan. Tapi, saya sudah tahu bahwa nomor satu dunia adalah yang pertama dalam daftar,” paparnya.
Yang jelas, hidup Hall sudah sangat berbeda. Keberhasilan menjadi juara di British Open adalah berkah perjuangannya selama 15 tahun dengan situasi keuangan yang tidak berkecukupan. Pasalnya, ayahnya, Wayne Hall, hanya seorang kuli bangunan, sedangkan ibunya seorang penata rambut di sebuah salon.
“Ketika kedua orang tuaku bermain golf dan membawa saya ke driving range lokal, saya masih berusia tujuh tahun. Saya kemudian bergabung dengan klub anak-anak dan saya adalah satu-satunya perempuan.
Ada tujuh tingkatan dan saya mencapai tingkat teratas dengan cepat. Saya mengalahkan semua anak lakilaki yang dulu membenci saya. Saya akhirnya bangga dengan hasil yang diraih,” ungkap Hall.
(don)