Joko Driyono, Anak Petani yang Mengemban Amanat Ketua PSSI
A
A
A
Joko Driyono bukan orang baru di PSSI. Sudah 28 tahun, Jokdri berada di lingkaran otoritas sepak bola tertinggi di Indonesia tersebut. Dia menjadi saksi dari instabilitas PSSI mulai periode Ketua Umum Nurdin Halid, Djohar Arifin Husin, La Nyalla Mattalitti, dan Edy Rahmayadi sampai ke dirinya sendiri. Dia menjadi ketua umum setelah Edy mundur pada kongres tahunan PSSI di Bali (20/1).
Dia menerima mandat menjadi ketua umum saat PSSI dilanda badai besar pengaturan skor yang melibatkan anggota eksekutif komite, anggota komisi displin PSSI dan beberapa wasit di Liga 2. Penunjukan Jokdri juga bukan tanpa resistensi. Beberapa pihak meragakuan kemampuan dan komitmen Joko dalam mengelola PSSI.
Di tengah semua tudingan tersebut, Jokdri menerima wartawan KORAN SINDO Maruf dan Abdriandi melakukan wawancara eklusif di kantor PSSI yang baru, di arena FX Senayan. “Kita wawancara di sini saja, pinjam ruangan,” kata Jokdri membuka perbincangan. Wawancara berlangsung selama 90 menit tanpa ada jeda karena pria yang berulang menyebut sebagai anak petani dari dusun terpecil di daerah Ngawi selalu menolak panggilan telpon yang masuk ke handphone agar tak meganggu wawancara.
Anda sudah lama berada di PSSI. Bagaimana Anda menggambarkan PSSI dulu dan sekarang?
Karena federasi ini seperti tak pernah berada pada titik stabil. Ada dua sisi yang harus dikelola dengan baik yakni ekspektasi publik yang sangat tinggi dan performa sepak bola kita yang belum memenuhi ekspektasi. Jika dilihat dari sejarah, sejak 2010 PSSI belum pernah betul-betul mengalami masa yang nyaman menjalankan roda organisasi.
Dalam artian stabil dan konsisten menjalankan semua yang direncanakan dalam kualitas terbaik. Sekarang kita hanya fokus mengejar ketertinggalan. Adanya gap antara ekpektasi dan performance tadi, akhirnya diekspresikan bermacam-macam dan dari beragam elemen mulai pelaku sepak bola, fans, pemerintah, dan jurnalis.
Ini menjadi tantangan dari PSSI menjawab hal tersebut. Jika menilik kebelakang, pada 2013 ada unifikasi lalu kemudian kompetisi terbaik digelar pada 2014 setelah adanya kegaduhan. 2015 merupakan masa sulit karena PSSI dibekukan pemerintah dan di-banned FIFA.
Harapan baru itu ada pada 2016 dengan terpilihnya Edy Rahmayadi. Publik juga harap-harap cemas karena ada dua momen penting yakni Asian Games dan Piala AFF, tim nasional kita gagal mencapai target. Wajar jika publik kecewa yang kemudian diekspresikan dengan bermacam-macam.
Dalam konteks ini, PSSI tidak defense atau excuse karena itu sangat natural. Federasi dalam posisi mencoba mengelola kesulitan tadi dan saya secara pribadi tidak boleh ada keputusasaan dalam mengelola itu. Dengan sumber daya yang terbatas, federasi harus bisa menentukan prioritas. Jangan sampai dalam beberapa tahun ke depan, terjadi penyesalan karena ada hal-hal mendasar yang tidak dikerjakan karena hanya fokus pada isu-isu yang sedang hangat.
Semua hiruk pikuk tentang kegelisahan publik ini sudah dibahas di kongres, kemarin. PSSI ini membuat rancangan pengembangan sepak bola sampai 2045. Kita membaginya dalam tiga tahap yakni periode pertama sekarang sampai 2024 disebut development stage dengan target utama tim junior saat ini tampil di Olimpiade Prancis.
Kedua yakni performance stage dengan periode 2024 sampai 2034 dengan target timnas sudah bisa tampil di Piala Dunia. Ketiga, fase terakhir yakni 2045 yang kita sebut victory stage bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Itu sebabnya, pada periode ini, kita mengalokasikan resources terbanyak pada tiga elemen sumber daya manusia. Totalnya ada USD2 juta untuk caoching, development, dan referre. Kita bahkan sudah mendapat kepercayaan dari AFC menggelar kursus lisensi AFC Pro dan ini pertama kalinya.
Memang, upaya ini belum akan dirasakan saat ini tapi dalam beberapa tahun kedepan. Saat ini, kuantitas dan kualitas kita tertinggal jauh. Coaching instruktur tertinggal jauh, wasit juga demikian dan ini yang menjadi isu sentral.
Tantangan lain dari faktor wasit adalah terkait pembinaan. Pilihan karier sebagai wasit seolah menjadi nomor tiga bagi pelaku sepak bola. Menjadi wasit tidak bisa terkenal seperti pemain atau terangkat pegawai negeri sipil. Padahal, kita ingin wasit ini memiliki personality yang high level dalam memimpin pertandingan.
Kompetisi saat ini sudah berjalan dengan baik. lalu kemudian ada temuan match fixing dan lain-lain. Meski ini sebenarnya isu lama, tapi apakah faktor ini berperan membuat sepak bola tidak bisa maju?
Untuk match fixing, sejak 2014 FIFA sebenarnya sudah membuat sirkuler instruction. Kita memahami ada tantangan tapi butuh instrumen dimana PSSI tidak bisa bekerja sendiri. Mulai dari langkah preventif yakni regulasi. Lalu ada tahapan indikasi apakah dalam sebuah pertandingan ada dugaan match fixing dan paling sulit adalah investigasi sebelum masuk tahapan penegakan hukum lewat Komisi Disiplin.
Sebelum ini mengemuka, kami sudah berdiskusi dengan Pak Setyo Wasisto (mantan Kepala Divisi Humas Polri) sebagai Sekjen Interpol di Indonesia. Dia sangat memahami betul isu cyber crime dan match fixing yang notabene merupakan kejahatan transnasional. Tapi saat itu belum sampai menjadi kerja sama yang utuh.
Trigger-nya adalah Madura FC dan Banjarnegara FC yang membuat kepolisian bergerak cepat. Kita menganggap ini berkah untuk sepak bola karena di beberapa negara mengatasi match fixing menjadi kolaborasi dari beberapa stakeholder. Kita juga harus rela PSSI menjadi objek dan sangat mengapresisasi langkah kepolisian karena investigasi adalah kunci untuk melakukan itu. Federasi tidak punya instrumen memadai untuk itu.
Lalu jika ini disebut batu sandungan, ada benarnya. Bagi PSSI, semua hal-hal yang melanggar integritas, adalah musuh. Ini seperti penyakit jadi tidak ada alasan untuk tidak sepakat dengan kepolisian dalam menyelesaikan ini.
Kaitannya dengan pengaturan pertandingan, dalam beberapa tahun terakhir mengemuka jika juara Liga sudah ditentukan sejak awal musim atau by design. Apakah itu benar seperti itu?
Inisiatif menang itu esensi utama sepak bola. Tanpa itu, tidak akan ada tantangannya. Play for win not play to lose. Semua tim ingin menang dan itu tidak bisa dihindari. Sekarang, 80% pertandingan Liga 1 bisa dipantau lewat televisi dan diawasi penonton.
Jika dengan kekuasaan bisa mengatur pertandingan, ketua PSSI (Edy Rahyamadi) yang selalu dikaitkan dengan salah satu klub tentu tidak akan degradasi di akhir musim kemarin. Itu fakta yang tidak bisa dibantah. Jangankan mengatur juara liga, untuk membuat gol saja membutuhkan ribuan cara.
Jadi menurut saya, isu juara by design itu hanya kebetulan atau sekadar teori saja. Disaat melihat lawan menang dan dianggap tidak fair kemudian dikaitkan dengan match fixing. Semua direka dan terakumulasi yang kemudian mendekati kesimpulan sehingga dianggap settingan.
Jadi saya tidak percaya karena variabel-nya sangat kompleks. Tapi jika ada error, ada benarnya. Misalnya kesalahan wasit. Apakah faktor intelektualis atau integritas, ini yang jadi tantangan PSSI untuk menjawabnya. Kita tidak bisa mengatakan steril tapi praktik seperti ini harus diperangi.
Perlawanan terhadap match fixing ini sudah lama, sejak era ketua PSSI Azwar Anas era 90-an sudah dibentuk tim dan belum ada sesuatu yang luar biasa. Padahal range waktu sudah sangat lama. Apakah ini memang sulit dihapuskan?
Bisa dihapuskan, tim yang ada saat ini harus membuktikan itu. Apakah sulit? Saya tidak ingin periode ini menjadi pilot. Tentunya dengan memaksimalkan kewenangan saya untuk memastikan sepak bola terjaga integritasnya danzero tolerance dari hal-hal yang melanggar fair play.
Untuk ini, saya tidak akan kampanye dan wajar jika publik tidak percaya. Tapi saya tidak perduli termasuk anggapan orang lama atau sudah satu abad di PSSI. Jika itu dimaknai, tentu menyinggung tokoh lain. Padahal saya baru terlibat penuh pada era Nurdin Halid lalu kemudian disimpulkan sepak bola tergantung apa kata Joko Driyono.
Pernyataan itu sangat merendahkan posisi ketua umum. Itu menyimpulkan sesuatu yang tidak benar. Saya tersanjung tapi juga menyinggung.
Pada kongres kemarin, ada desakan pergantian Exco dan pengurus dengan anggapan harus ada penyegaran. Apa itu membebani atau sebaliknya menjadi stimulus bagi PSSI?
Saya setuju dengan tagline revolusi tapi pada tataran pemikiran bukan personal. Revolusi sikap dan budaya. Sistem sekarang sudah ada dan berjalan seperti bagaimana menghadapi pengaturan skor dan hukumannya atau menggelar pertandingan.
Posisi Exco itu memilih orang dan jabatan politis. Mereka tidak dipilih melalui tes akademi tetap pilihan voters dalam hal ini klub dan Asprov. Ini adalah sistem yang sudah paripurna dan kita harus sepakat kepercayaan dikembalikan. Di kongres kemarin disepakati, mulai dari Exco, pengurus, anggota dan klub sepakat membentuk Komite Ad Hoc Integrity.
Untuk pengurus sekarang, tidak bisa disangkal trust memang rendah. Periode ini saya ibaratkan pertandingan 90 menit dan sekarang half time. Amanah diberikan sejak 2016 lalu dan Pak Edy Rahmayadi sudah mengantarkan di paruh pertama.
Itu merupakan bagian dari reveolusi terutama kinerja dan sangat terbuka dengan semua kritikan. Tapi kita menyadari, untuk selanjutnya tidak harus menunggu babak kedua selesai, sebagai pemain di dalam lapangan, kapanpun voters memanggil keluar, kami harus siap.
Dalam menyikapi situasi sekarang, semua pengurus dan Asprov harus satu suara. Tapi ada kabar, mereka ikut melakukan manuver terutama dala proses mundurnya Edy Rahmayadi. Apakah tim ini sekarang solid?
Sistem manapun, selalu ada dinamika dalam setiap proses transisi. Ini terkait dengan interaksi pikiran banyak kepala. Tapi yang paling utama adalah bagaimana merespons situasi tersebut untuk menciptakan keseimbangan. Pilot harus punya kemampun menggunakan semua elemen dalam sistem untuk menjaga posisi tetap equilibrium. Memang kita akan disorot pihak lain tapi jika itu tidak dilakukan, kita tidak akan pernah mencapai titik stabil dan bisa jadi dipaksa mendarat darurat.
Kapan publik bisa melihat jika PSSI sudah mencapai titik stabil atau apa indikasi yang bisa dilihat itu sudah tercapai?
Ada yang disebut key indicator performance. Dalam sepak bola dibagi dalam lima elemen yakni timnas, liga profesional, development, bisnis, dan yang paling mendasar organisasi. Dalam pelaksanaannya, ada yang hanya peduli pada empat atau tiga saja. Banyak yang beranggapan, liga harus bagus meskipun timnas tidak berprestasi. Contohnya Inggris. Jika sebaliknya seperti negara-negara Afrika, Kamerun, Nigeria, Ghana dimana timnas berprestasi tapi sektor lain tidak dibenahi.
Bagi PSSI, lima elemen ini sama pentingnya dan saling berkaitan dalam pengembangan sepak bola nasional. Komitmen ini yang kemarin disepakti di kongres untuk memastikan semua berjalan seiring. Saya tidak akan pernah lelah dengan ini dan jika harus terusir, ini harus di-maintenance dengan baik.
Ada yang menyebut, Jokdri sudah lama di PSSI dan belum berbuat apa-apa untuk sepak bola Indonesia. Bagaimana Anda melihat pernyataan tersebut?
Saya masuk PSSI lewat jalur PT Liga Indonesia dan baru benar-benar terlibat di era ketua umum Nurdin Halid. Sebelumnya sempat masuk komite normalisasi di penghujung era Agum Gumelar. Kemudian orang melihat saya sudah sangat lama di federasi.
Pertanyaan itu seharusnya ditanyakan pada mereka yang memilih saya. Ini bukan keinginan saya semata-mata berlama-lama. PSSI ini organisasi terbuka dan bukan milik pribadi saya. Seharusnya ada orang-orang hebat yang datang menjadi sparring partner untuk sama-sama memikirkan sepak bola nasional.
Apakah Jokdri tetap di PSSI dalam rangka menjaga stabilitas organisasi mengingat sistem sudah berjalan, atau faktor apa?
Saya punya spirit itu tapi bukan pribadi melainkan sistem yang sudah paripurna. Bagi saya, posisi ini bukan sesaatu kemewahan tapi ujian bagian saya. Untuk menjustifikasi itu, kita harus taat organisasi. Ibarat pesawat, organiasi harus take off dan landing di posisi yang tepat yakni voters.
Sekarang ada yang mendorong Kongres Luar Biasa, itu bagus. Tapi siapapun yang datang, pengurus sekarang layak diberi kesempatan naik kelas. Voters harus diberi kesempatan menjalankan organisasinya sendiri. Organisasi ini jangan dibuat mogok hanya karena ada godaan gerbong baru yang belum tentu aman.
Bagi saya, siapapun yang ingin mengampanyekan diri kepada voters, harus sosok yang high quality dan layak memimpin organisasi. Jangan sampai banyak orang dengan rasa percaya diri mampu hanya karena elemen dalam organisasi gaduh.
Selama ini Jokdri dikenal hanya sebagai second player padahal ada yang menganggap layak menjadi ketua. Memang hanya ingin jadi orang kedua saja atau faktor voters? Atau posisi Anda sekadar menjaga roda organisasi berjalan?
Saya mencintai sepak bola dan negeri ini. Tidak ada yang ingin saya raih selain melihat sepak bola nasional menjadi hebat. Demi ini, pekerjaan saya tinggalkan. Bahkan saya menganggap I married with football and affair with my wife.
Saya memang tidak pernah mencalonkan ketua kecuali pada 2015 lalu dan akhirnya mundur satu hari sebelum pemilihan karena menilia Pak La Nyala Mattalitti lebih layak. Kalau saya boleh memilih, banyak tugas yang belum selesai di manajemen. Saya lebih useful di situ.
Dalam setiap perideo, selalu terjadi instabilitas dimana ketua umum selalu mundur di tengah jalan. Apakahfaktor penyebabnya ada kegaduhan tadi atau materi?
Menurut saya, voters memilih ketua karena 4 alasan. Pertama visi misi, kemudian promise tentang melindungi keinginan pemilik suara karena mereka tentu tidak ingin dipimpin orang ugal-ugalan. Alasan ketiga yakni jangka pendek yakni dekat dengan kekuasaan.
Daripada organisasi tidak jalan, jadi dipilih yang dekat dengan kekuasaan agar kegaduhan bisa diredam. Konteks ini, visi misi sering diabaikan. Alasan keempat yakni politik uang dan sejenisnya. Saya tidak tahu tapi kita punya kultur di elemen itu.
Alasan pertama hingga ketiga sangat penting. Visi dapat, mengerti klub punya planning jangka panjang yang harus diproteksi, dan dekat kekuasaan jadi pertimbangan. Ini elemen paling penting.
Jadi dalam pergantian ketua, saya melihat ada di 4 elemen tadi karena kuncinya di situ. Pertama internal level Exco. Kedua member atau voters, ketiga publik, dan goverment. Ini yang sangat dipantau FIFA dan mereka akan mem-follow up atau hanya menunggu.
Terkait integritas. Ada pertanyaan bagaimana Jokdri berlaku profesional sementara di sisi lain berstatus pemilik saham di Persija Jakarta. Bagaimana tanggapannya?
Saya sudah punya pengalaman melakukan pendampingan pada beberapa klub seperti Arema, Persiba, Persis, dan Persegi Gianyar. Saya terlibat di Persija karena kondisi pada 2016 sangat memprihatinkan, tidak hanya butuh uang tapi juga gagasan.
Saat itu Persija berhutang Rp90 miliar tapi yang menawar tidak lebih dari Rp50 miliar. Saya lalu menawarkan konsep mulai dari struktur kepemilikan, resources mapping, dan profiling Persija. Saya tegaskan, value tim bukan harga yang sekarang tapi 4 atau 5 tahun mendatang.
Mereka lalu setuju dengan konsep saya dan diberi kesempatan berbicara dengan kreditur. Tapi jika hanya menawarkan saja, mereka tidak percaya jadi saya menjaminkan diri. Beberapa pembayaran utang bisa ditunda atau skenario lainnya hutang jadi saham. Tapi saya tegaskan tidak bisa diberikan saat ini karena belum mencapai value Persija sebenarnya yang dikisaran Rp2 triliun.
Dalam proses ini, saya tidak ingin ikut campur dalam manajemen terutama bagaimana mereka mengikuti kompetisi. Lalu ditunjuk Gede Widiade untuk memimpin dan fokus membangun tim di liga. Jadi saya hanya mendampingi Persija dalam proses restrukturisasi sehingga punya aset konkret, stadion dan punya value. Kami berharap bisa secepatnya melakukan IPO.
Jika menilik ke kompetisi, seharusnya orang-orang Persija marah kepada saya. Sebelum hingga Asian Games, mereka menjadi tim nomaden dan berpindah-pindah homebase karena stadion digunakan untuk kepentingan nasional. Ini yang seharusnya dilihat apa benar Jokdri di Persija.
Saya juga kadang kasihan dengan Persija. Gelar juara mereka tereduksi hanya karena dikait-kaitkan dengan nama Joko Driyono. Padahal pemain sudah mati-matian berjuang di sepanjang musim.
Ada suasana berkembang dimana respek terhadap tim juara Liga 1 sangat minim. Bagaimana Anda melihat itu?
Ini memang patut menjadi keprihatinan kita. Siap kalah seolah menjadi barang langka. Sepak bola adalah sebuah peradaban yang ditransaksikan dengan mata uang tunggal bernama kompetisi. Rivalitas adalah harta karun dalam sepak bola.
Esensinya adalah mengalahkan lawan, jika tidak siap kalah, silakan keluar dari komunitas ini. Bukan kalah lalu mencari-cari kesalahan lawan. Jika frame berpikir seperti ini, sepak bola kita tidak akan berkembang.
Dia menerima mandat menjadi ketua umum saat PSSI dilanda badai besar pengaturan skor yang melibatkan anggota eksekutif komite, anggota komisi displin PSSI dan beberapa wasit di Liga 2. Penunjukan Jokdri juga bukan tanpa resistensi. Beberapa pihak meragakuan kemampuan dan komitmen Joko dalam mengelola PSSI.
Di tengah semua tudingan tersebut, Jokdri menerima wartawan KORAN SINDO Maruf dan Abdriandi melakukan wawancara eklusif di kantor PSSI yang baru, di arena FX Senayan. “Kita wawancara di sini saja, pinjam ruangan,” kata Jokdri membuka perbincangan. Wawancara berlangsung selama 90 menit tanpa ada jeda karena pria yang berulang menyebut sebagai anak petani dari dusun terpecil di daerah Ngawi selalu menolak panggilan telpon yang masuk ke handphone agar tak meganggu wawancara.
Anda sudah lama berada di PSSI. Bagaimana Anda menggambarkan PSSI dulu dan sekarang?
Karena federasi ini seperti tak pernah berada pada titik stabil. Ada dua sisi yang harus dikelola dengan baik yakni ekspektasi publik yang sangat tinggi dan performa sepak bola kita yang belum memenuhi ekspektasi. Jika dilihat dari sejarah, sejak 2010 PSSI belum pernah betul-betul mengalami masa yang nyaman menjalankan roda organisasi.
Dalam artian stabil dan konsisten menjalankan semua yang direncanakan dalam kualitas terbaik. Sekarang kita hanya fokus mengejar ketertinggalan. Adanya gap antara ekpektasi dan performance tadi, akhirnya diekspresikan bermacam-macam dan dari beragam elemen mulai pelaku sepak bola, fans, pemerintah, dan jurnalis.
Ini menjadi tantangan dari PSSI menjawab hal tersebut. Jika menilik kebelakang, pada 2013 ada unifikasi lalu kemudian kompetisi terbaik digelar pada 2014 setelah adanya kegaduhan. 2015 merupakan masa sulit karena PSSI dibekukan pemerintah dan di-banned FIFA.
Harapan baru itu ada pada 2016 dengan terpilihnya Edy Rahmayadi. Publik juga harap-harap cemas karena ada dua momen penting yakni Asian Games dan Piala AFF, tim nasional kita gagal mencapai target. Wajar jika publik kecewa yang kemudian diekspresikan dengan bermacam-macam.
Dalam konteks ini, PSSI tidak defense atau excuse karena itu sangat natural. Federasi dalam posisi mencoba mengelola kesulitan tadi dan saya secara pribadi tidak boleh ada keputusasaan dalam mengelola itu. Dengan sumber daya yang terbatas, federasi harus bisa menentukan prioritas. Jangan sampai dalam beberapa tahun ke depan, terjadi penyesalan karena ada hal-hal mendasar yang tidak dikerjakan karena hanya fokus pada isu-isu yang sedang hangat.
Semua hiruk pikuk tentang kegelisahan publik ini sudah dibahas di kongres, kemarin. PSSI ini membuat rancangan pengembangan sepak bola sampai 2045. Kita membaginya dalam tiga tahap yakni periode pertama sekarang sampai 2024 disebut development stage dengan target utama tim junior saat ini tampil di Olimpiade Prancis.
Kedua yakni performance stage dengan periode 2024 sampai 2034 dengan target timnas sudah bisa tampil di Piala Dunia. Ketiga, fase terakhir yakni 2045 yang kita sebut victory stage bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Itu sebabnya, pada periode ini, kita mengalokasikan resources terbanyak pada tiga elemen sumber daya manusia. Totalnya ada USD2 juta untuk caoching, development, dan referre. Kita bahkan sudah mendapat kepercayaan dari AFC menggelar kursus lisensi AFC Pro dan ini pertama kalinya.
Memang, upaya ini belum akan dirasakan saat ini tapi dalam beberapa tahun kedepan. Saat ini, kuantitas dan kualitas kita tertinggal jauh. Coaching instruktur tertinggal jauh, wasit juga demikian dan ini yang menjadi isu sentral.
Tantangan lain dari faktor wasit adalah terkait pembinaan. Pilihan karier sebagai wasit seolah menjadi nomor tiga bagi pelaku sepak bola. Menjadi wasit tidak bisa terkenal seperti pemain atau terangkat pegawai negeri sipil. Padahal, kita ingin wasit ini memiliki personality yang high level dalam memimpin pertandingan.
Kompetisi saat ini sudah berjalan dengan baik. lalu kemudian ada temuan match fixing dan lain-lain. Meski ini sebenarnya isu lama, tapi apakah faktor ini berperan membuat sepak bola tidak bisa maju?
Untuk match fixing, sejak 2014 FIFA sebenarnya sudah membuat sirkuler instruction. Kita memahami ada tantangan tapi butuh instrumen dimana PSSI tidak bisa bekerja sendiri. Mulai dari langkah preventif yakni regulasi. Lalu ada tahapan indikasi apakah dalam sebuah pertandingan ada dugaan match fixing dan paling sulit adalah investigasi sebelum masuk tahapan penegakan hukum lewat Komisi Disiplin.
Sebelum ini mengemuka, kami sudah berdiskusi dengan Pak Setyo Wasisto (mantan Kepala Divisi Humas Polri) sebagai Sekjen Interpol di Indonesia. Dia sangat memahami betul isu cyber crime dan match fixing yang notabene merupakan kejahatan transnasional. Tapi saat itu belum sampai menjadi kerja sama yang utuh.
Trigger-nya adalah Madura FC dan Banjarnegara FC yang membuat kepolisian bergerak cepat. Kita menganggap ini berkah untuk sepak bola karena di beberapa negara mengatasi match fixing menjadi kolaborasi dari beberapa stakeholder. Kita juga harus rela PSSI menjadi objek dan sangat mengapresisasi langkah kepolisian karena investigasi adalah kunci untuk melakukan itu. Federasi tidak punya instrumen memadai untuk itu.
Lalu jika ini disebut batu sandungan, ada benarnya. Bagi PSSI, semua hal-hal yang melanggar integritas, adalah musuh. Ini seperti penyakit jadi tidak ada alasan untuk tidak sepakat dengan kepolisian dalam menyelesaikan ini.
Kaitannya dengan pengaturan pertandingan, dalam beberapa tahun terakhir mengemuka jika juara Liga sudah ditentukan sejak awal musim atau by design. Apakah itu benar seperti itu?
Inisiatif menang itu esensi utama sepak bola. Tanpa itu, tidak akan ada tantangannya. Play for win not play to lose. Semua tim ingin menang dan itu tidak bisa dihindari. Sekarang, 80% pertandingan Liga 1 bisa dipantau lewat televisi dan diawasi penonton.
Jika dengan kekuasaan bisa mengatur pertandingan, ketua PSSI (Edy Rahyamadi) yang selalu dikaitkan dengan salah satu klub tentu tidak akan degradasi di akhir musim kemarin. Itu fakta yang tidak bisa dibantah. Jangankan mengatur juara liga, untuk membuat gol saja membutuhkan ribuan cara.
Jadi menurut saya, isu juara by design itu hanya kebetulan atau sekadar teori saja. Disaat melihat lawan menang dan dianggap tidak fair kemudian dikaitkan dengan match fixing. Semua direka dan terakumulasi yang kemudian mendekati kesimpulan sehingga dianggap settingan.
Jadi saya tidak percaya karena variabel-nya sangat kompleks. Tapi jika ada error, ada benarnya. Misalnya kesalahan wasit. Apakah faktor intelektualis atau integritas, ini yang jadi tantangan PSSI untuk menjawabnya. Kita tidak bisa mengatakan steril tapi praktik seperti ini harus diperangi.
Perlawanan terhadap match fixing ini sudah lama, sejak era ketua PSSI Azwar Anas era 90-an sudah dibentuk tim dan belum ada sesuatu yang luar biasa. Padahal range waktu sudah sangat lama. Apakah ini memang sulit dihapuskan?
Bisa dihapuskan, tim yang ada saat ini harus membuktikan itu. Apakah sulit? Saya tidak ingin periode ini menjadi pilot. Tentunya dengan memaksimalkan kewenangan saya untuk memastikan sepak bola terjaga integritasnya danzero tolerance dari hal-hal yang melanggar fair play.
Untuk ini, saya tidak akan kampanye dan wajar jika publik tidak percaya. Tapi saya tidak perduli termasuk anggapan orang lama atau sudah satu abad di PSSI. Jika itu dimaknai, tentu menyinggung tokoh lain. Padahal saya baru terlibat penuh pada era Nurdin Halid lalu kemudian disimpulkan sepak bola tergantung apa kata Joko Driyono.
Pernyataan itu sangat merendahkan posisi ketua umum. Itu menyimpulkan sesuatu yang tidak benar. Saya tersanjung tapi juga menyinggung.
Pada kongres kemarin, ada desakan pergantian Exco dan pengurus dengan anggapan harus ada penyegaran. Apa itu membebani atau sebaliknya menjadi stimulus bagi PSSI?
Saya setuju dengan tagline revolusi tapi pada tataran pemikiran bukan personal. Revolusi sikap dan budaya. Sistem sekarang sudah ada dan berjalan seperti bagaimana menghadapi pengaturan skor dan hukumannya atau menggelar pertandingan.
Posisi Exco itu memilih orang dan jabatan politis. Mereka tidak dipilih melalui tes akademi tetap pilihan voters dalam hal ini klub dan Asprov. Ini adalah sistem yang sudah paripurna dan kita harus sepakat kepercayaan dikembalikan. Di kongres kemarin disepakati, mulai dari Exco, pengurus, anggota dan klub sepakat membentuk Komite Ad Hoc Integrity.
Untuk pengurus sekarang, tidak bisa disangkal trust memang rendah. Periode ini saya ibaratkan pertandingan 90 menit dan sekarang half time. Amanah diberikan sejak 2016 lalu dan Pak Edy Rahmayadi sudah mengantarkan di paruh pertama.
Itu merupakan bagian dari reveolusi terutama kinerja dan sangat terbuka dengan semua kritikan. Tapi kita menyadari, untuk selanjutnya tidak harus menunggu babak kedua selesai, sebagai pemain di dalam lapangan, kapanpun voters memanggil keluar, kami harus siap.
Dalam menyikapi situasi sekarang, semua pengurus dan Asprov harus satu suara. Tapi ada kabar, mereka ikut melakukan manuver terutama dala proses mundurnya Edy Rahmayadi. Apakah tim ini sekarang solid?
Sistem manapun, selalu ada dinamika dalam setiap proses transisi. Ini terkait dengan interaksi pikiran banyak kepala. Tapi yang paling utama adalah bagaimana merespons situasi tersebut untuk menciptakan keseimbangan. Pilot harus punya kemampun menggunakan semua elemen dalam sistem untuk menjaga posisi tetap equilibrium. Memang kita akan disorot pihak lain tapi jika itu tidak dilakukan, kita tidak akan pernah mencapai titik stabil dan bisa jadi dipaksa mendarat darurat.
Kapan publik bisa melihat jika PSSI sudah mencapai titik stabil atau apa indikasi yang bisa dilihat itu sudah tercapai?
Ada yang disebut key indicator performance. Dalam sepak bola dibagi dalam lima elemen yakni timnas, liga profesional, development, bisnis, dan yang paling mendasar organisasi. Dalam pelaksanaannya, ada yang hanya peduli pada empat atau tiga saja. Banyak yang beranggapan, liga harus bagus meskipun timnas tidak berprestasi. Contohnya Inggris. Jika sebaliknya seperti negara-negara Afrika, Kamerun, Nigeria, Ghana dimana timnas berprestasi tapi sektor lain tidak dibenahi.
Bagi PSSI, lima elemen ini sama pentingnya dan saling berkaitan dalam pengembangan sepak bola nasional. Komitmen ini yang kemarin disepakti di kongres untuk memastikan semua berjalan seiring. Saya tidak akan pernah lelah dengan ini dan jika harus terusir, ini harus di-maintenance dengan baik.
Ada yang menyebut, Jokdri sudah lama di PSSI dan belum berbuat apa-apa untuk sepak bola Indonesia. Bagaimana Anda melihat pernyataan tersebut?
Saya masuk PSSI lewat jalur PT Liga Indonesia dan baru benar-benar terlibat di era ketua umum Nurdin Halid. Sebelumnya sempat masuk komite normalisasi di penghujung era Agum Gumelar. Kemudian orang melihat saya sudah sangat lama di federasi.
Pertanyaan itu seharusnya ditanyakan pada mereka yang memilih saya. Ini bukan keinginan saya semata-mata berlama-lama. PSSI ini organisasi terbuka dan bukan milik pribadi saya. Seharusnya ada orang-orang hebat yang datang menjadi sparring partner untuk sama-sama memikirkan sepak bola nasional.
Apakah Jokdri tetap di PSSI dalam rangka menjaga stabilitas organisasi mengingat sistem sudah berjalan, atau faktor apa?
Saya punya spirit itu tapi bukan pribadi melainkan sistem yang sudah paripurna. Bagi saya, posisi ini bukan sesaatu kemewahan tapi ujian bagian saya. Untuk menjustifikasi itu, kita harus taat organisasi. Ibarat pesawat, organiasi harus take off dan landing di posisi yang tepat yakni voters.
Sekarang ada yang mendorong Kongres Luar Biasa, itu bagus. Tapi siapapun yang datang, pengurus sekarang layak diberi kesempatan naik kelas. Voters harus diberi kesempatan menjalankan organisasinya sendiri. Organisasi ini jangan dibuat mogok hanya karena ada godaan gerbong baru yang belum tentu aman.
Bagi saya, siapapun yang ingin mengampanyekan diri kepada voters, harus sosok yang high quality dan layak memimpin organisasi. Jangan sampai banyak orang dengan rasa percaya diri mampu hanya karena elemen dalam organisasi gaduh.
Selama ini Jokdri dikenal hanya sebagai second player padahal ada yang menganggap layak menjadi ketua. Memang hanya ingin jadi orang kedua saja atau faktor voters? Atau posisi Anda sekadar menjaga roda organisasi berjalan?
Saya mencintai sepak bola dan negeri ini. Tidak ada yang ingin saya raih selain melihat sepak bola nasional menjadi hebat. Demi ini, pekerjaan saya tinggalkan. Bahkan saya menganggap I married with football and affair with my wife.
Saya memang tidak pernah mencalonkan ketua kecuali pada 2015 lalu dan akhirnya mundur satu hari sebelum pemilihan karena menilia Pak La Nyala Mattalitti lebih layak. Kalau saya boleh memilih, banyak tugas yang belum selesai di manajemen. Saya lebih useful di situ.
Dalam setiap perideo, selalu terjadi instabilitas dimana ketua umum selalu mundur di tengah jalan. Apakahfaktor penyebabnya ada kegaduhan tadi atau materi?
Menurut saya, voters memilih ketua karena 4 alasan. Pertama visi misi, kemudian promise tentang melindungi keinginan pemilik suara karena mereka tentu tidak ingin dipimpin orang ugal-ugalan. Alasan ketiga yakni jangka pendek yakni dekat dengan kekuasaan.
Daripada organisasi tidak jalan, jadi dipilih yang dekat dengan kekuasaan agar kegaduhan bisa diredam. Konteks ini, visi misi sering diabaikan. Alasan keempat yakni politik uang dan sejenisnya. Saya tidak tahu tapi kita punya kultur di elemen itu.
Alasan pertama hingga ketiga sangat penting. Visi dapat, mengerti klub punya planning jangka panjang yang harus diproteksi, dan dekat kekuasaan jadi pertimbangan. Ini elemen paling penting.
Jadi dalam pergantian ketua, saya melihat ada di 4 elemen tadi karena kuncinya di situ. Pertama internal level Exco. Kedua member atau voters, ketiga publik, dan goverment. Ini yang sangat dipantau FIFA dan mereka akan mem-follow up atau hanya menunggu.
Terkait integritas. Ada pertanyaan bagaimana Jokdri berlaku profesional sementara di sisi lain berstatus pemilik saham di Persija Jakarta. Bagaimana tanggapannya?
Saya sudah punya pengalaman melakukan pendampingan pada beberapa klub seperti Arema, Persiba, Persis, dan Persegi Gianyar. Saya terlibat di Persija karena kondisi pada 2016 sangat memprihatinkan, tidak hanya butuh uang tapi juga gagasan.
Saat itu Persija berhutang Rp90 miliar tapi yang menawar tidak lebih dari Rp50 miliar. Saya lalu menawarkan konsep mulai dari struktur kepemilikan, resources mapping, dan profiling Persija. Saya tegaskan, value tim bukan harga yang sekarang tapi 4 atau 5 tahun mendatang.
Mereka lalu setuju dengan konsep saya dan diberi kesempatan berbicara dengan kreditur. Tapi jika hanya menawarkan saja, mereka tidak percaya jadi saya menjaminkan diri. Beberapa pembayaran utang bisa ditunda atau skenario lainnya hutang jadi saham. Tapi saya tegaskan tidak bisa diberikan saat ini karena belum mencapai value Persija sebenarnya yang dikisaran Rp2 triliun.
Dalam proses ini, saya tidak ingin ikut campur dalam manajemen terutama bagaimana mereka mengikuti kompetisi. Lalu ditunjuk Gede Widiade untuk memimpin dan fokus membangun tim di liga. Jadi saya hanya mendampingi Persija dalam proses restrukturisasi sehingga punya aset konkret, stadion dan punya value. Kami berharap bisa secepatnya melakukan IPO.
Jika menilik ke kompetisi, seharusnya orang-orang Persija marah kepada saya. Sebelum hingga Asian Games, mereka menjadi tim nomaden dan berpindah-pindah homebase karena stadion digunakan untuk kepentingan nasional. Ini yang seharusnya dilihat apa benar Jokdri di Persija.
Saya juga kadang kasihan dengan Persija. Gelar juara mereka tereduksi hanya karena dikait-kaitkan dengan nama Joko Driyono. Padahal pemain sudah mati-matian berjuang di sepanjang musim.
Ada suasana berkembang dimana respek terhadap tim juara Liga 1 sangat minim. Bagaimana Anda melihat itu?
Ini memang patut menjadi keprihatinan kita. Siap kalah seolah menjadi barang langka. Sepak bola adalah sebuah peradaban yang ditransaksikan dengan mata uang tunggal bernama kompetisi. Rivalitas adalah harta karun dalam sepak bola.
Esensinya adalah mengalahkan lawan, jika tidak siap kalah, silakan keluar dari komunitas ini. Bukan kalah lalu mencari-cari kesalahan lawan. Jika frame berpikir seperti ini, sepak bola kita tidak akan berkembang.
(don)