Giannis Antetokounmpo Imigran Milenial Paling Terkenal
A
A
A
GIANNIS Antetokounmpo menjadi atlet imigran milenial paling terkenal saat ini. Pebasket NBA berdarah Nigeria kelahiran Yunani ini mampu menyamai popularitas pebasket paling tangguh saat ini, LeBron James.
Giannis Antetokounmpo tidak akan pernah lupa setiap sudut jalan di Athena, Yunani. Dia selalu hafal setiap blok yang ada di kota itu. Setiap harinya Giannis bersama kakaknya, Thanasis, menghabiskan waktu di setiap jalan di Athena.
Dengan perasaan was was, Giannis dan Thanasis berkeliling di jalanan Athena sambil berjualan. Apa saja mereka jual, mulai compact disc, topi, hingga kaus. Saat Giannis sibuk berjualan, mata sang kakak tidak ubah layaknya mata elang mengawasi keadaan.
Dia khawatir polisi meringkus mereka karena berjualan di jalanan. Bagi keduanya, polisi memang sebuah ancaman. Mereka akan dideportasi karena tercatat sebagai imigran ilegal. Meski memiliki nama khas Yunani, Giannis dan Thanasis bukanlah orang Yunani.
Kedua orang tua mereka, Charles dan Veronica, adalah warga Nigeria asli. Keduanya meninggalkan Nigeria pada 1991 demi kehidupan yang lebih baik. Mereka meninggalkan semuanya, kecuali satu anak yang mereka titipkan kepada kedua orang tua mereka, Francis.
Anak yang masih kecil itu terpaksa dititipkan karena Charles dan Veronica harus menempuh perjalanan laut untuk mencapai Yunani. Bukan perjalanan yang mudah jika harus membawa anak sekecil itu.
Begitu sampai di Yunani, Charles dan Veronica tidak langsung mengajukan permohonan status kewarganegaraan. Jangankan untuk mengajukan permohonan, untuk kehidupan sehari-hari keduanya pun harus bekerja serabutan.
Charles mencoba melanjutkan kemampuannya bermain sepak bola di negeri para dewa itu. Sayangnya, tidak ada orang yang mau menerima imigran dengan dokumen pekerjaan yang sah. Begitu juga Veronica yang akhirnya mau tidak mau mencoba membantu Charles bekerja serabutan.
“Mereka melakukan apa saja, mulai berjualan kecil-kecilan hingga menjadi pembantu rumah tangga. Yang penting kami bahagia,” ujar Giannis. Beban ekonomi pasangan Charles dan Veronica memang tidak tanggung-tanggung.
Selama di Yunani, Veronica melahirkan empat anak, yaitu Thanasis, Giannis, Kostas, dan Alex. Beruntung, anak-anak pasangan Charles dan Veronica sama sekali tidak menuntut banyak. Bahkan, Thanasis dan Giannis justru kerap membantu mereka berjualan.
Tentu saja dengan perasaan cemas tertangkap pihak kepolisian yang akan memaksa mereka kembali ke Nigeria. Nasib keluarga Charles dan Veronica berubah ketika mereka mengajak anak-anak mereka bermain di lapangan basket di dekat rumah.
Awalnya Charles mencoba mengajarkan anak-anaknya bermain sepak bola. Mereka kemudian saling berkejaran merebut bola yang dimainkan. Saat itulah ada seorang pemandu basket yang terpesona dengan kemampuan anak-anak Charles dan Veronica.
Dia takjub dengan tinggi badan mereka yang menjulang dan atletis. “Kalau mereka bisa memanfaatkan tinggi badan untuk bermain basket, tentu ini akan menjadi hal yang menguntungkan,” begitu ucapan pemandu bakat itu kepada Charles.
Mendengar tawaran itu, Charles langsung tersadarkan, buat apa dia memaksa anak-anaknya bermain sepak bola kalau memang lebih bagus bermain basket. Sejak itulah Charles mulai melatih Thanasis dan Giannis bermain basket. Berkat keunggulan fisik, Thanasis dan Giannis menjadi raksasa di basket jalanan Yunani.
Semua orang yang bermain basket di jalan gentar dengan kemampuan dua bersaudara itu. Popularitas itulah yang kemudian mencuri perhatian klub profesional basket Yunani, Filathlitikos. Keduanya langsung dikontrak selama satu musim.
Kedatangan Antetokounmpo bersaudara membuat Filathlitikos begitu dominan. Giannis bahkan menjadi salah satu pemain yang paling disegani. Walau postur tubuhnya tinggi, Giannis mampu mengolah bola dengan sangat baik.
Tidak ada kesan lambat karena tubuhnya yang menjulang. Dia begitu lihai mencetak skor dari jarak jauh dan dekat. Anomali inilah yang membuatnya dipanggil The Greek Freak. Dia aneh karena tubuhnya yang menjulang tidak menjadi hambatan untuk bergerak lincah di lapangan.
Meski namanya begitu populer, Giannis justru mengalami masalah dalam status kewarganegaraan. Keluarganya memang berusaha mengajukan permohonan kewarganegaraan. Hanya, permohonan itu datang pada saat yang tidak tepat.
Saat itu Yunani berada dalam kebangkrutan. Kondisi politik juga tidak stabil karena partai politik ultra kanan sangat populer. Partai ini sangat anti pada imigran seperti keluarga Antetokounmpo. Ini ironis karena Giannis tinggal di negara di mana demokrasi dilahirkan.
Alhasil, status permohonan kewarganegaraan keluarga Giannis tidak mendapatkan jawaban. Masalah inilah yang akhirnya membuat Giannis gagal membela tim nasional basket Yunani di ajang internasional. Lebih dari itu, dia juga terancam gagal bergabung dengan NBA karena tidak memiliki kewarganegaraan.
Beruntung, Giannis dipandang lain oleh Perdana Menteri Yunani waktu itu, Antonis Samaras. Pemimpin Partai New Democracy di Yunani itu justru berani mengambil risiko membela keluarga Giannis.
Pada 2013, dia mengambil langkah kurang populer dengan memberikan status kewarganegaraan di tengah sentimen chauvinisme yang meninggi. “Giannis bukan menjadi warga negara Yunani karena sebuah surat. Dia menjadi seorang Yunani karena perjuangan mendapatkannya.
Dia lahir di sini, sekolah di sini. Dia bisa berbicara Yunani lebih baik daripada orang lain yang saya kenal. Dia melakukannya tanpa diminta. Dia berjuang mendapatkannya dan layak menerimanya. Dia adalah bagian dari kita,” tutur Antonis Samaras.
Berkah inilah yang kemudian menjadi titik balik bagi Giannis. Dia akhirnya mewujudkan mimpinya membela tim nasional basket Yunani dan pergi ke NBA. Saat berhasil bergabung di NBA untuk Milwaukee Bucks, dia langsung mengibarkan bendera yang sudah dia simpan sejak lama, yaitu bendera Yunani.
Kini pria yang lahir pada 6 Desember 1994 itu adalah sosok imigran milenial yang paling terkenal sejagat saat ini. Kiprahnya di NBA begitu menggetarkan berkat kelebihan fisik dan kemampuan bermain basket yang mumpuni. Tidak mengherankan jika di ajang NBA All Star 2019 yang sudah berjalan bulan lalu, dia berhasil menjadi sosok yang fenomenal.
Dia bahkan berhasil membuat pebasket terkenal lainnya, seperti Stephen Curry, Paul George, Blake Griffin, berada dalam satu bendera tim Giannis. Giannis kini tidak perlu lagi waswas berjalan di Athena atau di kota lainnya karena kini dia sudah menjadi sosok yang diterima semua orang di semua negara. (Wahyu Sibarani)
Giannis Antetokounmpo tidak akan pernah lupa setiap sudut jalan di Athena, Yunani. Dia selalu hafal setiap blok yang ada di kota itu. Setiap harinya Giannis bersama kakaknya, Thanasis, menghabiskan waktu di setiap jalan di Athena.
Dengan perasaan was was, Giannis dan Thanasis berkeliling di jalanan Athena sambil berjualan. Apa saja mereka jual, mulai compact disc, topi, hingga kaus. Saat Giannis sibuk berjualan, mata sang kakak tidak ubah layaknya mata elang mengawasi keadaan.
Dia khawatir polisi meringkus mereka karena berjualan di jalanan. Bagi keduanya, polisi memang sebuah ancaman. Mereka akan dideportasi karena tercatat sebagai imigran ilegal. Meski memiliki nama khas Yunani, Giannis dan Thanasis bukanlah orang Yunani.
Kedua orang tua mereka, Charles dan Veronica, adalah warga Nigeria asli. Keduanya meninggalkan Nigeria pada 1991 demi kehidupan yang lebih baik. Mereka meninggalkan semuanya, kecuali satu anak yang mereka titipkan kepada kedua orang tua mereka, Francis.
Anak yang masih kecil itu terpaksa dititipkan karena Charles dan Veronica harus menempuh perjalanan laut untuk mencapai Yunani. Bukan perjalanan yang mudah jika harus membawa anak sekecil itu.
Begitu sampai di Yunani, Charles dan Veronica tidak langsung mengajukan permohonan status kewarganegaraan. Jangankan untuk mengajukan permohonan, untuk kehidupan sehari-hari keduanya pun harus bekerja serabutan.
Charles mencoba melanjutkan kemampuannya bermain sepak bola di negeri para dewa itu. Sayangnya, tidak ada orang yang mau menerima imigran dengan dokumen pekerjaan yang sah. Begitu juga Veronica yang akhirnya mau tidak mau mencoba membantu Charles bekerja serabutan.
“Mereka melakukan apa saja, mulai berjualan kecil-kecilan hingga menjadi pembantu rumah tangga. Yang penting kami bahagia,” ujar Giannis. Beban ekonomi pasangan Charles dan Veronica memang tidak tanggung-tanggung.
Selama di Yunani, Veronica melahirkan empat anak, yaitu Thanasis, Giannis, Kostas, dan Alex. Beruntung, anak-anak pasangan Charles dan Veronica sama sekali tidak menuntut banyak. Bahkan, Thanasis dan Giannis justru kerap membantu mereka berjualan.
Tentu saja dengan perasaan cemas tertangkap pihak kepolisian yang akan memaksa mereka kembali ke Nigeria. Nasib keluarga Charles dan Veronica berubah ketika mereka mengajak anak-anak mereka bermain di lapangan basket di dekat rumah.
Awalnya Charles mencoba mengajarkan anak-anaknya bermain sepak bola. Mereka kemudian saling berkejaran merebut bola yang dimainkan. Saat itulah ada seorang pemandu basket yang terpesona dengan kemampuan anak-anak Charles dan Veronica.
Dia takjub dengan tinggi badan mereka yang menjulang dan atletis. “Kalau mereka bisa memanfaatkan tinggi badan untuk bermain basket, tentu ini akan menjadi hal yang menguntungkan,” begitu ucapan pemandu bakat itu kepada Charles.
Mendengar tawaran itu, Charles langsung tersadarkan, buat apa dia memaksa anak-anaknya bermain sepak bola kalau memang lebih bagus bermain basket. Sejak itulah Charles mulai melatih Thanasis dan Giannis bermain basket. Berkat keunggulan fisik, Thanasis dan Giannis menjadi raksasa di basket jalanan Yunani.
Semua orang yang bermain basket di jalan gentar dengan kemampuan dua bersaudara itu. Popularitas itulah yang kemudian mencuri perhatian klub profesional basket Yunani, Filathlitikos. Keduanya langsung dikontrak selama satu musim.
Kedatangan Antetokounmpo bersaudara membuat Filathlitikos begitu dominan. Giannis bahkan menjadi salah satu pemain yang paling disegani. Walau postur tubuhnya tinggi, Giannis mampu mengolah bola dengan sangat baik.
Tidak ada kesan lambat karena tubuhnya yang menjulang. Dia begitu lihai mencetak skor dari jarak jauh dan dekat. Anomali inilah yang membuatnya dipanggil The Greek Freak. Dia aneh karena tubuhnya yang menjulang tidak menjadi hambatan untuk bergerak lincah di lapangan.
Meski namanya begitu populer, Giannis justru mengalami masalah dalam status kewarganegaraan. Keluarganya memang berusaha mengajukan permohonan kewarganegaraan. Hanya, permohonan itu datang pada saat yang tidak tepat.
Saat itu Yunani berada dalam kebangkrutan. Kondisi politik juga tidak stabil karena partai politik ultra kanan sangat populer. Partai ini sangat anti pada imigran seperti keluarga Antetokounmpo. Ini ironis karena Giannis tinggal di negara di mana demokrasi dilahirkan.
Alhasil, status permohonan kewarganegaraan keluarga Giannis tidak mendapatkan jawaban. Masalah inilah yang akhirnya membuat Giannis gagal membela tim nasional basket Yunani di ajang internasional. Lebih dari itu, dia juga terancam gagal bergabung dengan NBA karena tidak memiliki kewarganegaraan.
Beruntung, Giannis dipandang lain oleh Perdana Menteri Yunani waktu itu, Antonis Samaras. Pemimpin Partai New Democracy di Yunani itu justru berani mengambil risiko membela keluarga Giannis.
Pada 2013, dia mengambil langkah kurang populer dengan memberikan status kewarganegaraan di tengah sentimen chauvinisme yang meninggi. “Giannis bukan menjadi warga negara Yunani karena sebuah surat. Dia menjadi seorang Yunani karena perjuangan mendapatkannya.
Dia lahir di sini, sekolah di sini. Dia bisa berbicara Yunani lebih baik daripada orang lain yang saya kenal. Dia melakukannya tanpa diminta. Dia berjuang mendapatkannya dan layak menerimanya. Dia adalah bagian dari kita,” tutur Antonis Samaras.
Berkah inilah yang kemudian menjadi titik balik bagi Giannis. Dia akhirnya mewujudkan mimpinya membela tim nasional basket Yunani dan pergi ke NBA. Saat berhasil bergabung di NBA untuk Milwaukee Bucks, dia langsung mengibarkan bendera yang sudah dia simpan sejak lama, yaitu bendera Yunani.
Kini pria yang lahir pada 6 Desember 1994 itu adalah sosok imigran milenial yang paling terkenal sejagat saat ini. Kiprahnya di NBA begitu menggetarkan berkat kelebihan fisik dan kemampuan bermain basket yang mumpuni. Tidak mengherankan jika di ajang NBA All Star 2019 yang sudah berjalan bulan lalu, dia berhasil menjadi sosok yang fenomenal.
Dia bahkan berhasil membuat pebasket terkenal lainnya, seperti Stephen Curry, Paul George, Blake Griffin, berada dalam satu bendera tim Giannis. Giannis kini tidak perlu lagi waswas berjalan di Athena atau di kota lainnya karena kini dia sudah menjadi sosok yang diterima semua orang di semua negara. (Wahyu Sibarani)
(nfl)