Vijaya Fitriyasa Bicara Soal Manajemen Suporter di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Vijaya Fitriyasa menilai PSSI butuh treatment untuk mengubah wajah sepak bola Indonesia jadi lebih baik. Keyakinan itu membuatnya bersaing di bursa calon ketua umum PSSI.
Dikenal sebagai pengusaha di bidang minyak dan gas, Vijaya bukan orang baru di dunia sepak bola. Pria kelahiran Jakarta 15 Oktober 1974 merupakan pemilik klub yang tercatat sebagai anggota Asprov PSSI DKI Jakarta yakni Jakarta United Football Club.
Dia juga memiliki pengalaman memimpin berbagai perusahaan dan mengakuisisi 70% saham perusahaan Persis Solo, yakni PT Persis Solo Saestu (PSS). Bersentuhan dengan dunia sepak bola membuat Vijaya berkeinginan mengubah wajah sepak bola Indonesia semaju klub dan timnas di luar negeri.
Wawancara dengan Vijaya dimuat SINDOnews dengan judul Vijaya Fitriyasa Siap Kelola PSSI Lebih Transparan dan Profesional . Berikut lanjutan petikan wawancara tersebut:
Bagaimana membuat PSSI lebih profesional?
Profesional artinya semua orang-orang yang duduk di PSSI harus profesional, semua digaji. Pengurus PSSI digaji, staff digaji, Exco PSSI digaji, Asprov digaji. Supaya kerjanya fokus, dedicated, serta tanggung jawab. Jadi tidak bisa lagi nanti, karena ini dianggap sebagai kerja sukarelawan, kemudian tidak bisa dipertanggung jawabkan pekerjaannya. Makanya kalau saya jadi ketua umum PSSI saya ingin semua itu digaji, dan harusnya dengan uang yang ada di PSSI sekarang bisa melakukan itu.
Futsal bagian dari PSSI, bagaimana komitmen Anda jika terpilih?
Futsal kan relatif baru olahraganya. Baru berkembang tahun 90an ke sini. Nah PSSI didirikan oleh klub sepak bola. Jadi yang memang utamanya bola. Tapi futsal kan bisa menghasilkan bibit-bibit muda sepak bola. Memang harusnya ada perhatian lebih. Misalnya tidak menutup kemungkinan dibuat liga futsal seperti halnya liga sepak bola. Saya berkomitmen kalau saya terpilih jadi ketua PSSI saya bisa diskusi dengan Ketua Asosiasi Futsal. Ada saatnya PSSI juga memikirkan futsal.
Tentang kedewasaan suporter klub dan timnas?
Kita harus lihat bagaimana Liga Inggris mengelola suporter. Dulu suporter Inggris brutal, tapi kenapa sekarang lebih tertib? Karena FA dan klub melakukan pembinaan dengan suporter. Kita lihat sekarang Viking (Persib), Jakmania (Persija), Pasopati (Persis Solo) itu independen, bukan dikelola oleh klub, walaupun klub mengakui itu. Nah harusnya klub melakukan pembinaan terhadap suporter independen itu. Kalau di Inggris ada namanya Association Independent Supporter. Jadi satu klub kan suporter ada banyak, di Persis Solo ada Surakartan, Pasopati, ada Ultras, nah ini semua harus dibina. Caranya diorganisir oleh klub. Misalnya member didata oleh klub, dan klub bisa ambil iuran tahunan. Nanti suporter bisa dapat diskon kalau beli tiket. Dan mereka tempat duduknya di stadion tidak berubah: di situ-situ saja. Keuntungannya, bisa lebih mudah dimonitor. Kalau ada rusuh-rusuh lebih mudah diketahui.
Klub juga harus menyediakan layar lebar di luar stadion, untuk mengakomodasi suporter yang tidak kebagian tiket. Jadi tidak rusuh. Kuncinya suporter harus bisa diorganisasi dengan baik.
Apakah mungkin semua klub go public?
Sangat mungkin. Pada saat semua klub go public, suporter kan bisa ikut beli saham klub. Satu lembar saham kan Rp175,- waktu pertama IPO Initial public offering (penawaran saham perdana, red) sekarang Rp366,- suporter bisa beli misalnya seribu lembar, tinggal nanti di-organize. Itu cara yang paling elegan, karena itu yang dibenarkan menurut aturan Undang-Undang Pasar Modal. Kalau klub menggalan uang suporter tanpa mekanisme IPO, harus ada ijin lagi ke OJK karena menghimpun dana dari masyarakat -pasti secara aturan berbeda lagi. Salah satu cara paling mudah adalah IPO. Bayangkan kalau 1 suporter beli saham Rp150 ribu dikali 10 ribu suporter.
Kalau saya jadi ketua PSSI kita akan mendorong, kita bikin pelatihan, bagaimana konsultasi menuju IPO. Semua klub di luar negeri juga suporter punya saham klub.
Dikenal sebagai pengusaha di bidang minyak dan gas, Vijaya bukan orang baru di dunia sepak bola. Pria kelahiran Jakarta 15 Oktober 1974 merupakan pemilik klub yang tercatat sebagai anggota Asprov PSSI DKI Jakarta yakni Jakarta United Football Club.
Dia juga memiliki pengalaman memimpin berbagai perusahaan dan mengakuisisi 70% saham perusahaan Persis Solo, yakni PT Persis Solo Saestu (PSS). Bersentuhan dengan dunia sepak bola membuat Vijaya berkeinginan mengubah wajah sepak bola Indonesia semaju klub dan timnas di luar negeri.
Wawancara dengan Vijaya dimuat SINDOnews dengan judul Vijaya Fitriyasa Siap Kelola PSSI Lebih Transparan dan Profesional . Berikut lanjutan petikan wawancara tersebut:
Bagaimana membuat PSSI lebih profesional?
Profesional artinya semua orang-orang yang duduk di PSSI harus profesional, semua digaji. Pengurus PSSI digaji, staff digaji, Exco PSSI digaji, Asprov digaji. Supaya kerjanya fokus, dedicated, serta tanggung jawab. Jadi tidak bisa lagi nanti, karena ini dianggap sebagai kerja sukarelawan, kemudian tidak bisa dipertanggung jawabkan pekerjaannya. Makanya kalau saya jadi ketua umum PSSI saya ingin semua itu digaji, dan harusnya dengan uang yang ada di PSSI sekarang bisa melakukan itu.
Futsal bagian dari PSSI, bagaimana komitmen Anda jika terpilih?
Futsal kan relatif baru olahraganya. Baru berkembang tahun 90an ke sini. Nah PSSI didirikan oleh klub sepak bola. Jadi yang memang utamanya bola. Tapi futsal kan bisa menghasilkan bibit-bibit muda sepak bola. Memang harusnya ada perhatian lebih. Misalnya tidak menutup kemungkinan dibuat liga futsal seperti halnya liga sepak bola. Saya berkomitmen kalau saya terpilih jadi ketua PSSI saya bisa diskusi dengan Ketua Asosiasi Futsal. Ada saatnya PSSI juga memikirkan futsal.
Tentang kedewasaan suporter klub dan timnas?
Kita harus lihat bagaimana Liga Inggris mengelola suporter. Dulu suporter Inggris brutal, tapi kenapa sekarang lebih tertib? Karena FA dan klub melakukan pembinaan dengan suporter. Kita lihat sekarang Viking (Persib), Jakmania (Persija), Pasopati (Persis Solo) itu independen, bukan dikelola oleh klub, walaupun klub mengakui itu. Nah harusnya klub melakukan pembinaan terhadap suporter independen itu. Kalau di Inggris ada namanya Association Independent Supporter. Jadi satu klub kan suporter ada banyak, di Persis Solo ada Surakartan, Pasopati, ada Ultras, nah ini semua harus dibina. Caranya diorganisir oleh klub. Misalnya member didata oleh klub, dan klub bisa ambil iuran tahunan. Nanti suporter bisa dapat diskon kalau beli tiket. Dan mereka tempat duduknya di stadion tidak berubah: di situ-situ saja. Keuntungannya, bisa lebih mudah dimonitor. Kalau ada rusuh-rusuh lebih mudah diketahui.
Klub juga harus menyediakan layar lebar di luar stadion, untuk mengakomodasi suporter yang tidak kebagian tiket. Jadi tidak rusuh. Kuncinya suporter harus bisa diorganisasi dengan baik.
Apakah mungkin semua klub go public?
Sangat mungkin. Pada saat semua klub go public, suporter kan bisa ikut beli saham klub. Satu lembar saham kan Rp175,- waktu pertama IPO Initial public offering (penawaran saham perdana, red) sekarang Rp366,- suporter bisa beli misalnya seribu lembar, tinggal nanti di-organize. Itu cara yang paling elegan, karena itu yang dibenarkan menurut aturan Undang-Undang Pasar Modal. Kalau klub menggalan uang suporter tanpa mekanisme IPO, harus ada ijin lagi ke OJK karena menghimpun dana dari masyarakat -pasti secara aturan berbeda lagi. Salah satu cara paling mudah adalah IPO. Bayangkan kalau 1 suporter beli saham Rp150 ribu dikali 10 ribu suporter.
Kalau saya jadi ketua PSSI kita akan mendorong, kita bikin pelatihan, bagaimana konsultasi menuju IPO. Semua klub di luar negeri juga suporter punya saham klub.
(bbk)