Nilai-Nilai Peradaban Sepak Bola
A
A
A
Tiga hari lagi, dunia akan dilanda virus Piala Eropa. Kesibukan tidak hanya terlihat di Polandia dan Ukraina yang menjadi sahibul bait, tapi juga di hampir seluruh ujung dunia.
Sangat bisa dimaklumi. Sampai saat ini Eropa masih menjadi kiblat sepak bola dunia. Tanpa mengecilkan prestasi negara-negara di benua lainnya, negara-negara Eropa masih mendominasi kampiun Piala Dunia. Klub-klub di Eropa masih yang terbesar.
Pemain sepak bola kelas wahid dari Asia, Afrika, Australia, dan Amerika bersaing ketat di Liga Primer, Ligue 1, Seri A, Primera Liga, dan Eredivisie. Pendek kata, Eropa adalah ajang pembuktian dan pencapaian menjadi yang terbaik.
Jika tidak pernah merasakan panasnya kompetisi di Eropa, pemain sehebat apa pun tidak akan bersinar menjadi pesepak bola terbaik dunia. Di Eropa, sepak bola tidak sekadar olahraga. Kemahiran memainkan si kulit bundar di lapangan hijau selama 90 menit itu menjelma menjadi sebuah kekuatan multidimensi.
Sepak bola adalah industri yang menggiurkan para investor kelas kakap. Para pebisnis tidak segan menggelontorkan dana triliunan rupiah demi membeli klub-klub sepak bola raksasa. Pemain sepak bola profesional menjadi miliarder muda.
Publikasi media yang begitu luas menjadikan mereka selebriti yang digandrungi semua usia, laki-laki dan wanita. Di tengah keterpurukan ekonomi yang melanda Eropa, industri sepak bola tidak pernah surut, bahkan menjadi salah satu penyelamat. Dimensi lain sepak bola adalah nasionalisme. Selama satu musim membela masing-masing klub, para pemain kini harus melakukan aksi bela negara. Mereka harus berseteru ”melawan” sahabat dalam satu tim.
Cepat atau lambat, Cristiano Ronaldo akan bersaing dengan rekanrekan satu tim di Real Madrid dan membobol gawang Iker Casillas yang berdiri di bawah mistar timnas Spanyol. Dilema yang sama akan dialami Karim Benzema sebagai striker timnas Prancis jika bertemu Spanyol.
Robin van Persie akan berjibaku membela timnas Belanda melawan rekan-rekannya di Arsenal yang mengibarkan panji-panji Inggris. Piala Eropa adalah ujian profesionalisme dan nasionalisme pesepak bola Eropa. Sepak bola adalah persoalan peradaban. Sportivitas bukan semata-mata persoalan kebugaran, tapi nilai-nilai peradaban.
Sepak bola sarat dengan nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Di dalam sepak bola terdapat nilai egalitarianisme, persamaan antarmanusia. Melalui sepak bola, dunia menyaksikan Eropa yang berubah. Eropa tidak lagi menjadi ”Benua Biru”. Banyak pemain keturunan Afrika yang menjadi pemain andalan timnas Italia, Inggris, Belanda, dan Prancis. Aroma rasisme memang belum benar-benar sirna. Di dalam semangat fair-play terkandung nilai-nilai keadilan, kesatria, dan perjuangan.
Di dalam sejarah Piala Eropa belum pernah ada satu negara yang menjadi juara berturut-turut.Tidak ada jaminan negara yang bertabur pemain bintang dengan kompetisi domestik yang sangat baik melenggang mudah ke tangga juara. Banyak timnas unggulan yang gugur di babak kualifikasi.
Adalah fakta ketika Yunani yang ekonominya tertatihtatih dan nyaris tidak memiliki pemain bintang bisa mengangkat Trofi Piala Eropa 2004. Denmark adalah sebuah negara kecil di Eropa.Tapi, dengan kerja sama tim, kekompakan dan semangat yang tak pernah penat, Denmark menorehkan tinta emas sebagai jawara Eropa 1992.
Tidak ada yang mustahil dalam sepak bola. Semua serbamungkin. Sepak bola adalah pertandingan yang penuh kejutan. Inilah mengapa penggemar bola akan menonton pertandingan, menyaksikan setiap keajaiban sampai wasit benar-benar meniup peluit panjang.
Virus Piala Eropa sudah sangat terasa di Indonesia. Lewat layar kaca, para pemirsa akan menyaksikan pertandingan yang tidak hanya menjadi tontonan dan hiburan, tapi juga tuntunan dan pelajaran kehidupan.
Piala Eropa bukanlah sekadar begadang di malam buta dan kesiangan berangkat kerja. Piala Eropa hendaknya menjadi virus positif tentang teknik-teknik bermain sepak bola, tapi pelajaran dan makna kehidupan tentang kesehatan, sportivitas, profesionalisme, nasionalisme, persaudaraan, kemanusiaan, dan kerja keras untuk meraih kejayaan. ●
Abdul Mu’ti
Sekretaris PP Muhammadiyah
Sangat bisa dimaklumi. Sampai saat ini Eropa masih menjadi kiblat sepak bola dunia. Tanpa mengecilkan prestasi negara-negara di benua lainnya, negara-negara Eropa masih mendominasi kampiun Piala Dunia. Klub-klub di Eropa masih yang terbesar.
Pemain sepak bola kelas wahid dari Asia, Afrika, Australia, dan Amerika bersaing ketat di Liga Primer, Ligue 1, Seri A, Primera Liga, dan Eredivisie. Pendek kata, Eropa adalah ajang pembuktian dan pencapaian menjadi yang terbaik.
Jika tidak pernah merasakan panasnya kompetisi di Eropa, pemain sehebat apa pun tidak akan bersinar menjadi pesepak bola terbaik dunia. Di Eropa, sepak bola tidak sekadar olahraga. Kemahiran memainkan si kulit bundar di lapangan hijau selama 90 menit itu menjelma menjadi sebuah kekuatan multidimensi.
Sepak bola adalah industri yang menggiurkan para investor kelas kakap. Para pebisnis tidak segan menggelontorkan dana triliunan rupiah demi membeli klub-klub sepak bola raksasa. Pemain sepak bola profesional menjadi miliarder muda.
Publikasi media yang begitu luas menjadikan mereka selebriti yang digandrungi semua usia, laki-laki dan wanita. Di tengah keterpurukan ekonomi yang melanda Eropa, industri sepak bola tidak pernah surut, bahkan menjadi salah satu penyelamat. Dimensi lain sepak bola adalah nasionalisme. Selama satu musim membela masing-masing klub, para pemain kini harus melakukan aksi bela negara. Mereka harus berseteru ”melawan” sahabat dalam satu tim.
Cepat atau lambat, Cristiano Ronaldo akan bersaing dengan rekanrekan satu tim di Real Madrid dan membobol gawang Iker Casillas yang berdiri di bawah mistar timnas Spanyol. Dilema yang sama akan dialami Karim Benzema sebagai striker timnas Prancis jika bertemu Spanyol.
Robin van Persie akan berjibaku membela timnas Belanda melawan rekan-rekannya di Arsenal yang mengibarkan panji-panji Inggris. Piala Eropa adalah ujian profesionalisme dan nasionalisme pesepak bola Eropa. Sepak bola adalah persoalan peradaban. Sportivitas bukan semata-mata persoalan kebugaran, tapi nilai-nilai peradaban.
Sepak bola sarat dengan nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Di dalam sepak bola terdapat nilai egalitarianisme, persamaan antarmanusia. Melalui sepak bola, dunia menyaksikan Eropa yang berubah. Eropa tidak lagi menjadi ”Benua Biru”. Banyak pemain keturunan Afrika yang menjadi pemain andalan timnas Italia, Inggris, Belanda, dan Prancis. Aroma rasisme memang belum benar-benar sirna. Di dalam semangat fair-play terkandung nilai-nilai keadilan, kesatria, dan perjuangan.
Di dalam sejarah Piala Eropa belum pernah ada satu negara yang menjadi juara berturut-turut.Tidak ada jaminan negara yang bertabur pemain bintang dengan kompetisi domestik yang sangat baik melenggang mudah ke tangga juara. Banyak timnas unggulan yang gugur di babak kualifikasi.
Adalah fakta ketika Yunani yang ekonominya tertatihtatih dan nyaris tidak memiliki pemain bintang bisa mengangkat Trofi Piala Eropa 2004. Denmark adalah sebuah negara kecil di Eropa.Tapi, dengan kerja sama tim, kekompakan dan semangat yang tak pernah penat, Denmark menorehkan tinta emas sebagai jawara Eropa 1992.
Tidak ada yang mustahil dalam sepak bola. Semua serbamungkin. Sepak bola adalah pertandingan yang penuh kejutan. Inilah mengapa penggemar bola akan menonton pertandingan, menyaksikan setiap keajaiban sampai wasit benar-benar meniup peluit panjang.
Virus Piala Eropa sudah sangat terasa di Indonesia. Lewat layar kaca, para pemirsa akan menyaksikan pertandingan yang tidak hanya menjadi tontonan dan hiburan, tapi juga tuntunan dan pelajaran kehidupan.
Piala Eropa bukanlah sekadar begadang di malam buta dan kesiangan berangkat kerja. Piala Eropa hendaknya menjadi virus positif tentang teknik-teknik bermain sepak bola, tapi pelajaran dan makna kehidupan tentang kesehatan, sportivitas, profesionalisme, nasionalisme, persaudaraan, kemanusiaan, dan kerja keras untuk meraih kejayaan. ●
Abdul Mu’ti
Sekretaris PP Muhammadiyah
(aww)