Pemain Spanyol tidak percaya bisa juara
A
A
A
Sindonews.com - Apa kabar Luis Aragones? Setelah sukses mengakhiri penantian gelar Spanyol selama 44 tahun dengan menjuarai Euro 2008, Aragones kini hidup tenang menikmati masa tua. Dia tidak perlu lagi memikirkan tekanan untuk membawa tim asuhannya menjadi juara.
Namun, kondisi demikian bukan berarti Aragones melupakan Spanyol. Sosok berusia 73 tahun itu antusias menyambut usaha negaranya mempertahankan mahkota Eropa. Seperti apa perjalanannya ketika membantu La Furia Roja, julukan Spanyol, berjaya empat tahun lalu? Mengapa pula Aragones berani mengabaikan para pemain berpengalaman seperti Raul Gonzalez? Berikut petikan wawancara dengan Aragones, dikutip Marca.
Anda mulai menangani tim nasional (timnas) pada 2004. Butuh waktu empat tahun untuk meraih kesuksesan...
Ya, prestasi tidak mungkin dicapai dalam waktu semalam. Semua ada prosesnya. Saya bertugas ketika Spanyol sedang di titik terendah. Timnas baru saja tersingkir di fase grup Euro 2004. Saya menjawab panggilan karena menangani timnas adalah kehormatan besar.
Seperti apa suasana timnas ketika itu?
Pemain sedang menderita. Mereka heran karena gagal merebut gelar di level internasional. Padahal, pemain terbiasa meraih kesuksesan bersama klub masing-masing. Kondisi berlawanan tersebut membuat pemain sering tidak percaya kemampuannya ketika bertanding. Ada pula tekanan dari publik dan pers yang menginginkan kami segera menjadi juara.
Titik balik tentu ada di perempat final Euro 2008 melawan Italia. Di situlah Spanyol menunjukkan kapasitasnya sebagai calon juara...
Betul. Saya ingat betul laga itu. Sebelum laga, terlihat dari wajah Iker Casillas tidak percaya kami bisa menang. Saya memintanya melupakan pikiran itu dan meyakinkannya kalau kami mampu menumbangkan mereka.Kami akhirnya unggul melalui adu penalti.
Menurut Anda, apakah ada timnas generasi sebelumnya yang bisa merebut gelar?
Banyak.Tim Javier Clemente di Piala Dunia 1994 sangat bagus.Kami juga kurang beruntung di Piala Dunia 2002 karena tersingkir kontroversial dari Korea Selatan.
Apa perubahan yang Anda berikan bagi timnas?
Saya membenahi kekurangan yang ada.Pertama,kondisi fisik yang di bawah standar. Saya mulai memanggil pemain yang kebugarannya teruji. Kedua, gaya bermain.Saya ingin kami tidak sekadar menang,melainkan menang dengan tampil indah. Terakhir beban psikologis yang sudah saya sebut. Saya kemudian mengubah gaya berpikir mereka yang tidak percaya bisa meraih trofi. Perubahan itu kini menjadi dasar timnas. Spanyol ini terbiasa menang dan itu penting dalam meraih kesuksesan berikutnya di masa depan.
Mengapa Anda menyingkirkan Santiago Canizares, Michel Salgado, dan terutama Raul?
Tidak begitu. Saya tidak memanggil mereka karena ada pemain lain yang saya rasa dapat memberi kontribusi lebih bagi tim. Menyangkut Raul, contohnya. Saya bukan membenci nya. Saya justru sangat menghormatinya. Bersama Xavi, dia merupakan anggota timnas yang memiliki pengalaman segudang. Tapi, di posisi penyerang ada David Villa dan Fernando Torres. Saya melihat keduanya lebih efektif dari Raul.
Namun, kondisi demikian bukan berarti Aragones melupakan Spanyol. Sosok berusia 73 tahun itu antusias menyambut usaha negaranya mempertahankan mahkota Eropa. Seperti apa perjalanannya ketika membantu La Furia Roja, julukan Spanyol, berjaya empat tahun lalu? Mengapa pula Aragones berani mengabaikan para pemain berpengalaman seperti Raul Gonzalez? Berikut petikan wawancara dengan Aragones, dikutip Marca.
Anda mulai menangani tim nasional (timnas) pada 2004. Butuh waktu empat tahun untuk meraih kesuksesan...
Ya, prestasi tidak mungkin dicapai dalam waktu semalam. Semua ada prosesnya. Saya bertugas ketika Spanyol sedang di titik terendah. Timnas baru saja tersingkir di fase grup Euro 2004. Saya menjawab panggilan karena menangani timnas adalah kehormatan besar.
Seperti apa suasana timnas ketika itu?
Pemain sedang menderita. Mereka heran karena gagal merebut gelar di level internasional. Padahal, pemain terbiasa meraih kesuksesan bersama klub masing-masing. Kondisi berlawanan tersebut membuat pemain sering tidak percaya kemampuannya ketika bertanding. Ada pula tekanan dari publik dan pers yang menginginkan kami segera menjadi juara.
Titik balik tentu ada di perempat final Euro 2008 melawan Italia. Di situlah Spanyol menunjukkan kapasitasnya sebagai calon juara...
Betul. Saya ingat betul laga itu. Sebelum laga, terlihat dari wajah Iker Casillas tidak percaya kami bisa menang. Saya memintanya melupakan pikiran itu dan meyakinkannya kalau kami mampu menumbangkan mereka.Kami akhirnya unggul melalui adu penalti.
Menurut Anda, apakah ada timnas generasi sebelumnya yang bisa merebut gelar?
Banyak.Tim Javier Clemente di Piala Dunia 1994 sangat bagus.Kami juga kurang beruntung di Piala Dunia 2002 karena tersingkir kontroversial dari Korea Selatan.
Apa perubahan yang Anda berikan bagi timnas?
Saya membenahi kekurangan yang ada.Pertama,kondisi fisik yang di bawah standar. Saya mulai memanggil pemain yang kebugarannya teruji. Kedua, gaya bermain.Saya ingin kami tidak sekadar menang,melainkan menang dengan tampil indah. Terakhir beban psikologis yang sudah saya sebut. Saya kemudian mengubah gaya berpikir mereka yang tidak percaya bisa meraih trofi. Perubahan itu kini menjadi dasar timnas. Spanyol ini terbiasa menang dan itu penting dalam meraih kesuksesan berikutnya di masa depan.
Mengapa Anda menyingkirkan Santiago Canizares, Michel Salgado, dan terutama Raul?
Tidak begitu. Saya tidak memanggil mereka karena ada pemain lain yang saya rasa dapat memberi kontribusi lebih bagi tim. Menyangkut Raul, contohnya. Saya bukan membenci nya. Saya justru sangat menghormatinya. Bersama Xavi, dia merupakan anggota timnas yang memiliki pengalaman segudang. Tapi, di posisi penyerang ada David Villa dan Fernando Torres. Saya melihat keduanya lebih efektif dari Raul.
()